Paradoks Kebahagiaan: Kekayaan, Spiritualitas, dan Bayang-Bayang Bunuh Diri

Paradoks Kebahagiaan: Kekayaan, Spiritualitas, dan Bayang-Bayang Bunuh Diri
Soegianto

Oleh: Soegianto@fst.unair.ac.id

Kebahagiaan sering dianggap sebagai tujuan akhir kehidupan, namun ternyata tidak selalu berjalan seiring dengan ketenangan batin. Di satu sisi, ada negara-negara kaya dengan penduduk yang hidup dalam kesejahteraan, dinobatkan sebagai yang paling bahagia di dunia, namun justru bergulat dengan tingkat bunuh diri yang tinggi—tanda bahwa kebahagiaan mereka tidak selalu membawa ketenangan. Di sisi lain, ada negara-negara miskin yang penduduknya menghadapi kesulitan besar, tetapi memiliki ketenangan jiwa yang menjaga mereka dari keputusasaan. Melalui kisah negara-negara Nordik yang makmur dan negara-negara Muslim berpenghasilan rendah, kita akan menjelajahi paradoks ini, menggali bagaimana kekayaan, spiritualitas, dan perbedaan antara kebahagiaan dan ketenangan membentuk kesehatan mental masyarakat.

Cahaya Nordik: Kebahagiaan Tinggi, Pendapatan Melimpah, dan Tantangan Mental

Bayangkan hidup di Finlandia, Denmark, Islandia, Swedia, Belanda, Norwegia, atau Luksemburg—negara-negara yang dianggap paling bahagia di dunia. Finlandia memimpin dengan skor kebahagiaan tertinggi, diikuti Denmark, Islandia, Swedia, Belanda, Norwegia, dan Luksemburg. Pendapatan per kapita di sini luar biasa: Luksemburg mencapai sekitar $131,000 per tahun, Norwegia sekitar $89,690, Belanda $78,103, dan Finlandia, yang “terendah” di grup ini, masih memiliki pendapatan sekitar $54,160 per orang. Kekayaan ini mendanai kehidupan yang nyaman: pendidikan gratis, layanan kesehatan universal, dan jaminan sosial yang membuat hidup terasa aman. Budaya seperti hygge di Denmark, yang menekankan kenyamanan sederhana, atau lagom di Swedia, yang mencari keseimbangan, menciptakan suasana harmoni. Rendahnya ketimpangan pendapatan dan kepercayaan tinggi terhadap pemerintah membuat masyarakat merasa puas dengan hidup mereka.

Namun, kebahagiaan ini ternyata tidak selalu berarti ketenangan. Di balik kilau kehidupan yang tampak sempurna, tingkat bunuh diri di negara-negara ini tinggi. Finlandia mencatat sekitar 13,4 kematian bunuh diri per 100.000 penduduk, Swedia 12,4, Belanda 11,8, Islandia 11,7, Norwegia 11,5, Denmark 11,4, dan Luksemburg 11,3—semuanya jauh di atas rata-rata global, yang berkisar antara 6 hingga 9 per 100.000. Fenomena ini, sering disebut “Paradoks Nordik,” menunjukkan bahwa kebahagiaan yang diukur melalui kesejahteraan materi, dukungan sosial, atau harapan hidup tidak selalu mencerminkan ketenangan batin. Musim dingin yang panjang dan gelap memicu depresi musiman, terutama di Finlandia dan Islandia. Isolasi sosial di daerah pedesaan Norwegia atau Islandia memperburuk keadaan, sementara tekanan untuk memenuhi ekspektasi sosial dalam masyarakat yang “sukses” menciptakan kegelisahan tak kasat mata. Konsumsi alkohol yang tinggi di beberapa negara ini juga meningkatkan risiko. Meskipun program pencegahan seperti hotline kesehatan mental telah menurunkan angka bunuh diri secara signifikan selama dua dekade terakhir, tingginya angka ini menunjukkan bahwa kebahagiaan tanpa ketenangan batin bisa rapuh, seperti kaca yang berkilau namun mudah pecah.

Negara Muslim Berpenghasilan Rendah: Ketabahan di Tengah Kemiskinan

Sekarang, beralih ke dunia yang sangat berbeda: negara-negara Muslim mayoritas seperti Afghanistan, Yemen, Niger, Somalia, Sierra Leone, Mali, Gambia, Chad, Burkina Faso, dan Comoros. Kehidupan di sini penuh tantangan. Pendapatan per kapita sangat rendah—Afghanistan dan Yemen hanya sekitar $409 dan $417 per tahun, diikuti Niger dengan $751, Somalia $766, dan lainnya di bawah $2,000. Konflik bersenjata, bencana alam, dan ketergantungan pada pertanian subsisten membuat kemiskinan menjadi kenyataan sehari-hari. Afghanistan bergulat dengan dampak perang selama puluhan tahun, sementara Yemen menghadapi krisis kemanusiaan yang parah. Akses ke layanan kesehatan, terutama kesehatan mental, hampir tidak ada, dan kehidupan sering kali terasa seperti perjuangan untuk bertahan hidup.

Namun, di tengah kesulitan ini, tingkat bunuh diri sangat rendah, mencerminkan ketenangan batin yang luar biasa. Somalia memiliki angka tertinggi di grup ini, sekitar 8,0 per 100.000, diikuti Chad dengan 6,3, Sierra Leone 6,1, dan Comoros 6,0. Negara lain seperti Afghanistan (4,7), Yemen (4,2), Niger (4,5), Mali (5,2), Gambia (4,8), dan Burkina Faso (4,9) bahkan lebih rendah, jauh di bawah rata-rata global. Apa rahasianya? Ketenangan jiwa yang berasal dari agama dan budaya memainkan peran besar. Dalam Islam, bunuh diri dianggap terlarang, menciptakan stigma kuat yang mendorong pencegahan. Komunitas yang erat, doa bersama, dan nilai-nilai seperti sabar dan tawakal memberikan kekuatan emosional, bahkan di tengah trauma perang atau kelaparan. Jaringan keluarga yang kokoh menjadi penyangga, membantu individu menghadapi tekanan hidup tanpa jatuh ke keputusasaan. Meski angka ini mungkin kurang akurat karena banyak kasus tidak dilaporkan akibat stigma sosial atau hukum, rendahnya tingkat bunuh diri menunjukkan bahwa ketenangan batin—yang lahir dari spiritualitas dan solidaritas—dapat menahan badai kehidupan, meskipun tanpa kemewahan materi.

Pelajaran dari Kontras: Menyeimbangkan Jiwa dan Harta

Perbandingan ini mengungkapkan sebuah kebenaran mendalam: kebahagiaan dan ketenangan adalah dua hal yang berbeda. Negara-negara Nordik, dengan kebahagiaan tinggi yang didukung oleh kekayaan dan kesejahteraan, sering kali kekurangan ketenangan batin. Tekanan untuk mempertahankan kesuksesan, musim dingin yang gelap, dan isolasi sosial menciptakan kegelisahan yang mendorong tingkat bunuh diri lebih tinggi dari rata-rata global. Kebahagiaan mereka, yang diukur melalui kenyamanan hidup dan dukungan sosial, tampak bersinar di permukaan, tetapi tidak selalu menjangkau kedalaman jiwa. Upaya pencegahan, seperti program kesehatan mental dan kampanye kesadaran, menunjukkan langkah maju, tetapi tantangan ini mengingatkan kita bahwa kebahagiaan tanpa ketenangan bisa seperti rumah megah dengan fondasi yang rapuh.

Sebaliknya, negara-negara Muslim berpenghasilan rendah menunjukkan bahwa ketenangan batin dapat tumbuh bahkan di tengah kemiskinan. Nilai-nilai agama, solidaritas komunitas, dan pandangan hidup yang berfokus pada ketabahan memberikan kekuatan untuk menghadapi penderitaan tanpa kehilangan harapan. Rendahnya tingkat bunuh diri mencerminkan ketenangan yang berakar pada spiritualitas dan ikatan sosial, meskipun tantangan seperti perang dan kelaparan terus mengintai. Namun, rendahnya angka ini juga menyoroti perlunya data yang lebih akurat dan akses ke layanan kesehatan mental, karena stigma sosial sering menyembunyikan skala masalah sebenarnya.

Apa yang bisa kita pelajari dari kedua dunia ini? Kebahagiaan yang sejati membutuhkan keseimbangan antara kesejahteraan materi dan ketenangan batin. Negara-negara Nordik mengajarkan bahwa kekayaan dan sistem sosial yang kuat harus diimbangi dengan perhatian pada kesehatan mental dan hubungan antarmanusia yang autentik. Sementara itu, negara-negara Muslim berpenghasilan rendah menunjukkan bahwa spiritualitas dan solidaritas dapat menjadi penyelamat, bahkan ketika harta langka. Untuk membangun masyarakat yang benar-benar sejahtera, kita perlu menggabungkan yang terbaik dari kedua sisi: investasi dalam kesejahteraan materi seperti di Nordik, dipadukan dengan kekuatan spiritual dan komunitas seperti di negara-negara Muslim. Hanya dengan menyatukan kebahagiaan dan ketenangan, kita dapat menciptakan dunia di mana jiwa manusia tidak hanya berkilau di permukaan, tetapi juga kokoh di dalam, mampu menghadapi badai kehidupan dengan penuh harapan dan ketabahan.

Soegianto @Unair

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K