Pencitraan, Cara Pejabat Menarik Simpati Rakyat

Pencitraan, Cara Pejabat Menarik Simpati Rakyat
Ilustrasi: Tokoh Petruk dalam pewayangan Jawa, dalam fragmen "Petruk Dadi Ratu"

Oleh: Nano, Wartawan Senior

Dalam dunia politik modern, pencitraan telah menjadi instrumen utama dalam membangun kedekatan emosional antara pejabat publik dan rakyat. Fenomena ini semakin menonjol di era media sosial, ketika setiap gerak-gerik pemimpin bisa langsung terekam, tersebar, dan dikomentari publik dalam hitungan detik. Salah satu contoh paling gamblang adalah Joko Widodo atau Jokowi, yang dengan gaya kepemimpinannya yang sederhana dan blusukan berhasil menaklukkan hati rakyat hingga menduduki kursi Presiden Republik Indonesia selama dua periode.

Pencitraan Jokowi bukan sekadar retorika atau panggung sandiwara. Ia muncul dari pengalaman nyata di pemerintahan lokal—dari Wali Kota Solo, Gubernur DKI Jakarta, hingga akhirnya menjadi Presiden. Jokowi sadar betul bahwa rakyat menginginkan pemimpin yang dekat, bukan hanya secara administratif, tetapi juga secara emosional dan simbolik. Masuk ke dalam gorong-gorong, naik motor di gang sempit, atau memantau harga cabai langsung di pasar, menjadi bagian dari narasi “pemimpin merakyat” yang melekat kuat dalam benak masyarakat.

Strategi ini bukan tanpa risiko. Ada yang menyebut itu gimmick. Ada yang menyindirnya sebagai akrobat politik. Namun, efeknya sangat terasa. Pencitraan menjadi kunci pembuka persepsi positif publik, yang kemudian menjadi jembatan bagi legitimasi politik. Tanpa pencitraan yang kuat dan konsisten, seorang pemimpin akan sulit diterima di tingkat nasional, apalagi dalam masyarakat yang masih kuat menjadikan simbol sebagai ukuran kerja nyata.

Kini, strategi serupa terlihat kembali dalam diri Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi. Mantan Bupati Purwakarta itu membangun kekuatan narasi publik melalui pendekatan yang lebih lokal, lebih tradisional, dan menyentuh aspek kultural masyarakat Jawa Barat. Dedi, seperti halnya Jokowi, mengerti kekuatan simbol.

Ia tidak ragu turun ke kampung-kampung, menyapa masyarakat dengan logat Sunda yang kental, membela petani kecil, bahkan rela menempuh jalan-jalan rusak hanya untuk menunjukkan bahwa pemerintah hadir. Dalam video-videonya yang viral di media sosial, Dedi kerap muncul membagikan bantuan, menyambangi orang sakit, dan mendengarkan keluhan masyarakat secara langsung—semua dengan gaya khasnya yang bersahabat dan tanpa sekat.

Ini bukan sekadar dokumentasi kegiatan, melainkan bentuk konsistensi naratif yang dirancang untuk menciptakan “ikatan batin” antara pemimpin dan rakyat. Dalam beberapa survei terbaru, popularitas Dedi Mulyadi berada di posisi atas untuk Pilpres maupun Pilkada Jabar. Angka elektabilitasnya tak lepas dari gaya komunikasinya yang populis dan pencitraan sebagai pemimpin yang dekat dan membumi.

Namun di sinilah tantangan terbesar seorang pejabat publik. Apakah pencitraan itu diikuti dengan kinerja nyata atau sekadar menjadi topeng politik? Rakyat kini mulai semakin cerdas dalam menilai. Mereka tidak lagi cukup hanya disuguhi visualisasi empati, tetapi juga menuntut dampak konkret dari kebijakan.

Dalam kasus Jokowi, keberhasilan dalam infrastruktur menjadi pembenaran bahwa pencitraan bukanlah ilusi. Jalan tol, bendungan, dan kereta cepat menjadi bukti fisik dari narasi yang dibangun sejak lama. Dedi Mulyadi pun perlu menyeimbangkan antara pencitraan dan keberhasilan program-program strategis di Jawa Barat. Pencitraan tanpa pencapaian hanya akan berumur pendek dan bisa berbalik menjadi bumerang politik.

Media sosial menjadi instrumen vital dalam penyebaran pencitraan ini. Tidak bisa dimungkiri, masyarakat lebih banyak mengenal pejabatnya bukan dari berita resmi pemerintah, tetapi dari potongan video yang viral, dari cuplikan pidato yang menyentuh hati, atau dari narasi kemanusiaan yang tersebar di TikTok, Instagram, dan YouTube.

Dalam konteks ini, pemimpin masa kini bukan hanya harus mampu memimpin, tapi juga harus mampu “tampil”. Harus bisa bercerita, harus memiliki gaya komunikasi yang mampu menjangkau semua lapisan masyarakat. Dedi Mulyadi, yang kerap disebut “Ki Sunda Modern”, tampaknya menguasai panggung ini dengan sangat baik.

Pencitraan bukanlah musuh dalam politik, selama ia dibarengi dengan niat dan kinerja nyata. Jokowi telah menunjukkan bagaimana strategi itu bisa mengantarkannya menjadi pemimpin nasional. Kini Dedi Mulyadi tampaknya sedang meniti jalan yang sama. Namun tantangan yang ia hadapi tidak ringan. Di era keterbukaan informasi, pencitraan bisa menjadi senjata bermata dua.

Rakyat kini tidak bisa terus-menerus diberi citra, tetapi juga membutuhkan rasa aman, harga bahan pokok yang stabil, lapangan kerja, dan pendidikan yang berkualitas. Pencitraan bisa menjadi gerbang, tetapi kinerja tetap menjadi fondasi utama kepercayaan publik.

Dan bagi wartawan seperti saya, yang sudah mengamati politik Indonesia selama tiga dekade lebih, saya bisa katakan: pemimpin dengan pencitraan kuat ibarat aktor hebat, tapi tanpa naskah dan aksi nyata, pentasnya akan segera sepi penonton.

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K