Pengakuan Kesalahan Oleh Amien Rais Dalam Amandemen Undang‑Undang Dasar 1945

Pengakuan Kesalahan Oleh Amien Rais Dalam Amandemen Undang‑Undang Dasar 1945
Sidang Umum MPR

JAKARTA – Mantan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR) periode 1999-2004, Amien Rais, secara terbuka menyatakan bahwa dirinya telah melakukan sebuah kesalahan strategis saat memimpin proses amandemen UUD 1945 antara tahun 1999-2002.

Dalam pernyataannya, ia mengakui bahwa optimisme soal pemilihan langsung presiden dan wakil presiden — yang kemudian dimasukkan ke dalam UUD hasil amandemen — ternyata keliru karena praktik “politik uang” (money politics) dalam Pilpres makin besar dan nyata.

Latar Belakang dan Pengakuan

Pada masa reformasi pasca 1998, proses amandemen UUD 1945 dilakukan hingga empat kali oleh MPR.

Amien Rais yang memimpin MPR waktu itu menjelaskan bahwa perubahan sistem pemilihan presiden yang semula melalui MPR, menjadi langsung oleh rakyat, didorong oleh semangat demokrasi. Ide dasarnya adalah bahwa rakyat memilih langsung maka akan mengurangi dominasi lembaga tertinggi negara dan memperkuat kedaulatan rakyat.

Namun, ia kemudian menyatakan bahwa perhitungan mereka saat itu “agak naif”. Ia mengungkap:

“Dulu kita mengatakan kalau dipilih langsung one man one vote mana mungkin ada orang mau menyogok 127 juta pemilih, mana mungkin, perlu ratusan triliun, ternyata mungkin, itu luar biasa kita ini.”

Dengan kata lain, Amien Rais menyesalkan bahwa keyakinan awal bahwa politik uang skala besar tidak akan muncul, ternyata terbukti salah di lapangan Pemilu dan Pilpres. Ia juga meminta maaf karena ikut melucuti posisi MPR sebagai lembaga tertinggi negara yang memilih presiden dan wakil presiden.

Isu “Orang Indonesia Asli” dan Syarat Presiden

Salah satu poin yang ia soroti dalam pengakuan adalah perubahan frasa syarat kewarganegaraan untuk menjadi presiden. Dalam UUD 1945 asli, terdapat istilah “orang Indonesia asli” sebagai syarat. Dalam hasil amandemen, frasa tersebut menjadi “warga negara Indonesia”. Beberapa pihak menganggap perubahan ini menghapus makna historis “pribumi”. Amien Rais menyebut bahwa hal ini adalah satu dari sejumlah hal yang ia rasa keliru.

Ia pun menyatakan terbuka terhadap gagasan untuk kembali kepada “UUD 1945 naskah asli” sebagai salah satu opsi untuk memperbaiki sistem ketatanegaraan yang menurutnya kini terjebak dalam dominasi uang politik dan oligarki.

Reaksi dan Dampak

Pernyataan Amien Rais mendapat apresiasi dari berbagai pihak, termasuk AA LaNyalla Mahmud Mattalitti yang menyebut bahwa pengakuan ini menjadi momentum untuk kembali memperkuat nilai-nilai negara berdasarkan rumusan pendiri bangsa.

Selain itu, banyak pengamat menyebut bahwa amandemen 1999-2002 memang terjadi dalam suasana terburu-buru dan tanpa kajian akademik memadai.

Catatan Kritis

Walaupun pengakuan Amien Rais mencetak langkah refleksi penting, ada beberapa catatan kritis:

Walau ia menyebut “kesalahan”, praktek politik uang dan oligarki bukan semata-masalah amandemen, tetapi juga persoalan pelaksanaan demokrasi dan independensi lembaga pemilihan.

Ide untuk “kembali ke naskah asli” UUD 1945 juga menuai pro-kontra karena beberapa perubahan dianggap penting untuk memperkuat hak asasi manusia, otonomi daerah, dan sistem demokrasi.

Penyederhanaan bahwa politik uang timbul semata dari pemilihan langsung bukanlah sepenuhnya tepat — walau sistem langsung menghadirkan ruang transaksi besar, akar masalah tata kelola politik, partai, kampanye, dan regulasi juga berperan.

Penutup

Dengan pengakuannya, Amien Rais secara terbuka menegaskan bahwa semangat reformasi yang mendorong amandemen UUD 1945 ternyata memiliki konsekuensi yang tidak terduga seperti skala politik uang yang besar dan perubahan institusi negara yang menurutnya “terlalu jauh” dari rumusan pendiri. Apakah langkah berikutnya akan berupa amandemen ulang atau reformasi lembaga yang lebih mendalam, akan menjadi bagian dari debat konstitusional masyarakat Indonesia.

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K