Peran Penting Sejarah Dalam Menyusun UUD 1945 Yang Disahkan Pada 18 Agustus 1945 (Bagian 5)

Peran Penting Sejarah Dalam Menyusun UUD 1945 Yang Disahkan Pada 18 Agustus 1945 (Bagian 5)
Batara R Hutagalung

Catatan Batara R. Hutagalung
Ketua Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Sejarah (FKMPS)

 

Perubahan Undang-Undang Dasar 1945

Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) periode 1999 – 2004, dari tahun 1999 – 2002 telah empat kali melakukan perubahan Undang-Undang Dasar RI. Ini sebagai realisasi dari sebagian tuntutan reformasi yang digulirkan oleh para mahasiswa pada bulan Mei 1998.

Pada waktu itu ribuan mahasiswa melakukan unjuk-rasa damai yang dikenal sebagai People Power (Kekuatan rakyat). Mereka menduduki Gedung DPR/MPR RI selama beberapa hari, menuntut pengunduran diri Presiden Suharto yang baru dilantik untuk ketujuh kali. Presiden Suharto tunduk pada tuntutan rakyat yang diwakili oleh para mahasiswa dan pada 21 Mei 1998 menyatakan berhenti sebagai presiden.

Di samping menuntut pengunduran diri Presiden Suharto, mahasiswa juga menuntut perubahan UUD ’45 Pasal 7 tentang masa jabatan presiden. Di Pasal 7 UUD ’45 yang disahkan pada 18 Agustus 1945 disebut: “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali.”

Kalimat ini dianggap kurang jelas dan tidak tegas sehingga diinterpretasikan, bahwa seseorang dapat menjabat sebagai presiden lebih dari dua kali dan tanpa batas. Hal ini berdasarkan pengalaman di era Orde Baru, di mana seorang presiden menjabat lebih dari 32 tahun.

***

Dalam kampanye pemilihan umum pertama tahun 1999 setelah lengsernya penguasa Orde Baru, tercatat hanya dua partai politik yang mencantumkan agenda perubahan UUD dalam programnya, dan hanya satu yang berhasil masuk ke DPR/MPR RI periode 1999 – 2004. Namun setelah para anggota DPR RI terpilih dan kemudian terbentuk MPR RI, diagendakan untuk dilakukannya perubahan UUD ’45 secara besar-besaran. Dipandang dari sudut demokrasi dan hak rakyat untuk mengetahui program Partai Politik, maka MPR RI 1999 – 2004 tidak memiliki legitimasi untuk mengadakan perubahan UUD ’45. Seharusnya partai-partai politik mencantumkan dalam rencana programnya mengenai pasal dan ayat akan diubah atau ditambahkan, sehingga rakyat, terutama kalangan akademisi dan kaum intelektual dapat mengetahui serta ikut membahas rencana perubahan tersebut.

Pada waktu dimulai pembahasan-pembahasan terlihat ada pihak yang yang bekerjasama dengan pihak asing, telah menyiapkan rencana perubahan UUD RI yang sangat mendasar dengan tujuan membuat Undang-Undang Dasar Baru untuk Republik Indonesia, bukan hanya sekadar sebagai Adendum atau Amandemen.

Sehubungan dengan hal ini, patut dipertanyakan peran organisasi-organisasi asing, baik dalam pendanaan maupun dalam penyusunan isi perubahan UUD. Hal ini memberi kesan, bahwa perubahan UUD ’45 adalah “pesanan asing,” terutama mengubah pasal 6 ayat 1 mengenai Presiden ialah orang Indonesia ASLI, dan menambahkan ayat 4 dan 5 di Pasal 33, yang merupakan pintu masuk untuk mengeksploitasi kekayaan SDA Indonesia dan liberalisasi perdagangan. Organisasi asing tersebut a.l. National Democratic Institute (NDI), satu Organisasi non-pemerintah (NGO) dari Amerika Serikat. NDI adalah organisasi di bawah Partai Demokrat AS, yang waktu itu sedang berkuasa tahun 1996 – 2000.

Dalam buku ‘Bahan Tayang Materi Sosialisasi Empat Pilar’ yang diterbitkan MPR RI pada bulan Maret 2005 (cetakan pertama), tercantum Kesepakatan Dasar Perubahan UUD 1945, yaitu:

1. Tidak mengubah Pembukaan UUD 1945.
2. Tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia,
3. Mempertegas sistem presidensial,
4. Penjelasan UUD 1945 yang memuat hal-hal normatif akan dimasukkan ke dalam pasal-pasal,
5. Perubahan dilakukan dengan cara Adendum.

Selain kesepakatan2 yang telah dicantumkan, sebelum pembahasan tahun 1999 ada kesepakatan antara pimpinan MPR RI dengan tokoh-tokoh masyarakat, yaitu Batang Tubuh UUD 1945 yang terdiri dari 16 Bab dan 37 Pasal tidak akan diubah.

Perubahan dilakukan sebanyak empat kali, yaitu tahun 1999, 2000, 2001 dan 2002. Setelah keempat perubahan tersebut ditetapkan pada 10 Agustus 2002 dan kemudian diumumkan ke masyarakat, berbagai pihak menyoroti prosedur dan hasil-hasil perubahan UUD tersebut.

Selain masalah prosedur untuk perubahan UUD yang dinilai cacat hukum, juga terlihat sangat banyak penambahan materi dalam pasal-pasal dan jumlah ayat yang mencapai 89% serta ada ayat-ayat yang tidak sesuai, bahkan bertentangan dengan Pembukaan UUD ’45 dan jiwa serta semangat UUD ’45 yang disahkan pada 18 Agustus 1945. Juga terlihat telah terjadi penyimpangan dari kesepakatan, yaitu perubahan-perubahan tersebut dimasukkan sebagai Amandemen, bukan sebagai Adendum seperti kesepakatan semula.

Secara keseluruhan, perubahan-perubahan UUD tersebut telah menyimpang dari dasar dan tujuan para pendiri negara dan bangsa Indonesia.

Sebagaimana telah ditulis di atas, mengenai Struktur UUD ditulis dalam Bahan Tayang Materi Sosialisai Empat “Pilar” MPR sebagai berikut.[11]
Sebelum perubahan, UUD terdiri dari:

1. Pembukaan,
2. Batang Tubuh
– 16 Bab,
– 37 Pasal,
– 49 Ayat,
– 4 Pasal Aturan Peralihan,
– 2 Ayat Aturan Tambahan
3. Penjelasan

Setelah perubahan:
1. Pembukaan,
2. Pasal-Pasal,
– 21 Bab,
– 73 Pasal,
– 179 Ayat
– 2 Pasal Aturan Peralihan,
– 2 Pasal Aturan Tambahan

Perubahan yang sangat mendasar adalah yang sehubungan dengan Kedaulatan Rakyat. Dalam UUD ’45 ASLI Pasal 1 ayat 2 disebut:
“Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.”

Mengenai hal ini ditulis dalam Penjelasan Tentang UUD ’45:
“Kedaulatan rakyat dipegang oleh suatu Badan, bernama “Majelis Permusyawaratan Rakyat” sebagai penjelmaan seluruh Rakyat Indonesia (Vertrettungsorgan des Willens des Staatvolkes). Majelis ini menetapkan Undang-undang Dasar dan menetapkan garis-garis besar haluan Negara. Majelis ini mengangkat Kepala Negara (Presiden) dan wakil Kepala Negara (Wakil Presiden). Majelis inilah yang memegang kekuasaan Negara yang tertinggi, sedang Presiden harus menjalankan haluan Negara menurut garis-garis besar yang telah ditetapkan oleh Majelis.”

Dalam UUD 2002, diganti menjadi:
“Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.”

Namun dalam Undang-Undang Dasar tidak ada satu Pasal atau ayat yang mengatur mengenai bagaimana melaksanakan kedaulatan rakyat tersebut. Juga ada ayat yang luar biasa anehnya, yaitu Pasal 28 G ayat 2 yang berbunyi:
“Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain (perubahan kedua).”

Kalimat terakhir ini menunjukkan, bahwa Negara, dalam hal ini adalah Pemerintah, TNI dan POLRI serta seluruh aparat penegak hukum, gagal melindungi bangsanya, sehingga orang Indonesia tersebut diberi hak untuk meminta suaka politik dari negara lain, yang dapat melindungi orang Indonesia. Dalam alinea keempat Pembukaan UUD ’45, terdapat kalimat:
“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia …”

Demikian juga penjelasan mengenai UUD ’45 ASLI, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari UUD yang disahkan pada 18 Agustus 1945, juga dihilangkan. ‘Penjelasan Tentang Undang-Undang Dasar’ sangat penting untuk diketahui oleh para penyelenggara Negara, terutama yang ingin melakukan perubahan UUD. Di dalam penjelasan a.l. disebut:

I. Undang-undang Dasar, sebagian dari hukum dasar.
Undang-undang Dasar suatu Negara ialah hanya sebagian dari hukumnya dasar Negara itu. Undang-undang Dasar ialah hukum dasar yang tertulis, sedang disampingnya Undang-undang Dasar itu berlaku juga hukum dasar yang tidak tertulis, ialah aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan Negara, meskipun tidak ditulis.

Memang untuk menyelidiki hukum dasar (droit constitutionnel) suatu negara, tidak cukup hanya menyelidiki pasal-pasal Undang-undang Dasarnya (loi constituionnelle) saja, akan tetapi harus menyelidiki juga sebagaimana prakteknya dan sebagaimana suasana kebatinannya (geistlichen Hintergrund) dari Undang-undang Dasar itu.

Undang-undang Dasar Negara manapun tidak dapat dimengerti, kalau hanya dibaca teksnya saja. Untuk mengerti sungguh-sungguh maksudnya Undang-undang Dasar dari suatu Negara, kita harus mempelajari juga bagaimana terjadinya teks itu, harus diketahui, keterangan-keterangannya dan juga harus diketahui dalam suasana apa teks itu dibikin.
Dengan demikian kita dapat mengerti apa maksudnya Undang-undang yang kita pelajari aliran pikiran apa yang menjadi dasar Undang-undang itu.

Menghilangkan Penjelasan mengenai UUD ’45 yang disahkan pada 18 Agustus 1945, sama dengan menghilangkan penjelasan mengenai latar belakang sejarah disusunnya UUD ’45 ASLI.

Undang-Undang yang disahkan pada 10 Agustus 2002 kemudian dinyatakan sebagai Undang-Undang Dasar ’45. Penamaan UUD yang disahkan pada bulan Agustus 2002 sebagai UUD ’45 tentu mendapat tentangan dari banyak pihak yang menilai, bahwa UUD yang disahkan pada 10 Agustus 2002 tidak patut dikatakan sebagai UUD ’45, karena banyaknya perubahan-perubahan yang mendasar dan bahkan ada yang isinya bertentangan dengan UUD ’45 Asli dan Pancasila.

Juga adanya BAB yang isinya dihapus, yaitu BAB IV mengenai Dewan Pertimbangan Agung (DPA), namun BABnya tetap dicantumkan sehingga apabila tidak diteliti dengan cermat, maka secara sepintas tampaknya UUD yang disahkan pada 10 Agustus 2002 juga sama dengan UUD ’45 ASLI, yaitu terdiri dari 16 BAB. Padahal sebenarnya hanya terdiri dari 15 BAB. Oleh karena itu, kalau tetap dinyatakan sebagai UUD ’45, maka beberapa kalangan menyebut bahwa ini adalah UUD ’45 PALSU. Seharusnya UUD yang disahkan pada 10 Agustus 2002 dinamakan UUD 2002, sesuai tahun ditetapkannya.

BERSAMBUNG

BACA JUGA:

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K