Perkaderan Informal

Perkaderan Informal

Oleh: Ahmad Cholis Hamzah

Ahmad Cholis Hamzah

Kalau kita melihat sejarah para pemimpin dan pendiri bangsa, mereka berhasil menjadi pemimpin yang tangguh adalah karena rutinnya mereka mengikuti pelatihan atau perkaderan informal. Sebut saja Presiden pertama Indonesia Ir. Ahmad Soekarno yang lebih dikenal dengan sebutan Bung Karrno. Beliau sejak sekolah SMA di Surabaya indekos ditempat salah satu pahlawan nasional yaitu HOS. Tjokroaminoto di kampung Peneleh Surabaya. Selama enam tahun Bung Karno muda selalu mendengar percakapan diskusi tentang politik antara HOS Tjokroaminoto dengan berbagai kalangan.

Selama tinggal di rumah indekos itu, Sukarno belajar banyak dari teman-teman satu atapnya. Kala itu, ia menjadi anak kecil yang memasang telinga lebar-lebar ketika para pemuda sedang berbincang mengenai nasib orang-orang bumiputra. Perkaderan informal juga terjadi di pendidikan pesantren, dimana para santri selalu berdekatan dengan Kiai, mendengarkan petuah-petuahnya tentang ajaran agama Islam maupun tentang akhlak yang baik dsb. Cara pengajaran di pesantren seperti ini yang menyebabkan para santri banyak memperoleh ilmu yang bermanfaat.

Soal sistim perkaderan informal bagi kaum muda saya pakai contoh perkaderan dikalangan HMI Surabaya/Jawa Timur karena saya pernah menjadi aktivis HMI tahun 1970 an. Saya mendapatkan banyak memberi ilmu yang penting bagi para kader HMI dan dalam perkaderan informal ini kami dapat: Melontarkan pertanyaan-pertanyaan atas isu-isu yang terjadi dan kami tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang isu-isu tersebut. Mengamati, mendengar para senior berargumentasi, memberikan wawasan dan informasi. Ikut berpartisipasi menyelesaikan masalah – problem solving. Menumbuhkan motivasi untuk berorganisasi’ Menumbuhkan sifat kepemimpinan dan Menambah wawasan

Memang perkaderan yang bersifat informal harus dilakukan tandem dengan yang bersifat formal – tidak boleh terpisah-pisah. Namun harus disadari bahwa perkaderan yang informal memberikan dampak yang lebih luas dan efektif. Sistem pengajaran di perguruan tinggipun menunjukkan bahwa dosen hanyalah memberikan ikhtisar atau guidance suatu ilmu, dan mahasiswa dituntut untuk tidak hanya tergantung dengan apa yang diberikan dosen dikelas, namun harus banyak membaca buku, melakukan research di perpustakaan dan banyak berdiskusi dengan dosen dan teman sejawat.

Saya merasa memiliki sikap kesederhanaan misalnya, itu karena saya dipengaruhi oleh sikap kesederhanaan yang ditunjukkan beberapa senior didepan mata kami, dan itu merupakan bentuk perkaderan informal dari para senior itu yang mengajarkan agar kami para kader HMI itu hidup tangguh, disiplin dengan penuh kesederhanaan, tidak menjadi orang yang arogan.

Sering kali kalau kami melihat ada kader yang “lupa jati dirinya” maka kami berguman “wong iki gak tau turu ndek Jalan Sumatra” atau “gak tau mangan jambu ndek jalan Sumatra“ (“orang ini tidak pernah tidur di Jalan Sumatra” atau “tidak pernah makan buah jambu di jalan Sumatra”) dimana mengalami penempaan hidup yang keras.
Jalan Sumatra Surabaya, tepatnya jalan Sumatra no 36A adalah kantor cabang HMI Surabaya yang lama, ada pohon jambu didalamnya yang buka selama 24 jama- dimana banyak anak-anak HMI dari berbagai perguruan tinggi di Surabaya bahkan dari luar kota dan luar pulau sering tidur di kantor itu untuk mendapatkan wejangan soal nilai-nilai perjuangan, nilai hidup sebagai seorang Muslim dari para senior yang juga rutin menyambangi kantor HMI itu bahkan ada yang pernah tidur disitu. Para senior HMI seperti Akbar Tanjung, almarhum Cak Nur dsb juga sering tidur di kantor PB HMI Jalan Diponegoro Jakarta.

Bagi kader HMI untuk memperoleh perkaderan informal itu banyak caranya antara lain dengan melakukan silaturahim ke senior agar memperoleh pendidikan karakter kepribadian yang luhur; memperoleh pendidikan bagaimana melakukan analisa yang bagus. Dan ini merupakan tradisi perkaderan yang informal.

Saya dan teman-teman seangkatan di HMI (dan generasi sebelum saya) disamping mengikuti perkaderan formal yang dilakukan HMI juga secara ruting melakukan silaturahim ke para senior dari berbagai ragam latar belakang salah satunya almarhum Cak Amin. Silaturahim itu kadang terjadi di acara-acara yang diselenggarakan HMI Komisariat, Korkom maupun Cabang; tapi yang lebih sering adalah bersilaturahim ke rumah para senior itu. Tujuan silaturahim para aktivis HMI memang bermacam-macam, antara lain meminta donasi kepada senior yang sudah mapan untuk kegiatan HMI; juga memang bersilaturahim karena niatnya untuk menimba ilmu. Perkaderan informal dengan cara silaturahim itu tidak hanya di Surabaya tapi juga di Malang, Jember, Semarang, Bandung, Jakarta dsb. Kami-kami waktu itu naik bus ke Jember dan Malang untuk bertemu dengan para senior di kota itu.

Lalu saya sedih mendengar berita bahwa kantor HMI Cabang Surabaya di jalan Pucang Surabaya dengan gedung yang lebih bagus dibandingkan dengan gedung kecil di Jalan Sumatra 36A dulu – tidak buka 24 jam dan ada yang memberi informasi kalau kantor baru ini sering tutup. Sebagai senior saya sedih mendengar kenyataan itu karena hal itu bisa menyebabkan terhentinya tujuan “character building” dikalangan anak-anak muda wabilhusus anak-anak HMI.

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K