Oleh: Kholiq Anhar
Salah satu kalimat yang sering dikutip dalam pidato dan diskusi publik adalah: “Dua puluh persen populasi menguasai delapan puluh persen kekayaan nasional.”
Artinya, mayoritas rakyat Indonesia—sekitar 80% populasi—hanya berputar di sekitar 20% aset nasional. Namun, bila kita cermati lebih jeli, struktur itu sesungguhnya jauh lebih kompleks.
Dari kelompok 20% penguasa kekayaan nasional itu, terdapat dua lapisan besar. Lapisan pertama, 10% teratas, menguasai sekitar dua pertiga atau 66% kekayaan nasional. Kita sebut mereka sebagai Elite Ekonomi—kelompok konglomerasi besar yang mengendalikan modal, sumber daya, dan arah kebijakan ekonomi. Lapisan kedua, 10% berikutnya, menguasai sekitar 16% aset nasional—kita sebut sebagai kelas menengah produktif, yang sebagian besar adalah pelaku UMKM dan wirausahawan formal.
Sisa kekayaan sebesar 20% diperebutkan oleh 80% populasi akar rumput—petani, nelayan, buruh, pedagang kaki lima, warung, dan warkop rakyat. Mereka adalah fondasi kehidupan sehari-hari, namun sering kali hidup dalam ketidakpastian ekonomi.
PERAN BUMN DALAM STRUKTUR KEKAYAAN NASIONAL
Jika kita memasukkan BUMN sebagai entitas ekonomi negara, maka posisi kekayaan BUMN—sekitar Rp 10.890 triliun—perlu kita tempatkan dalam konteks keseluruhan kekayaan nasional yang (secara ilustratif) mencapai Rp 100.000 triliun (tidak ada data resmi total kekayaan nasional).
Artinya, kekayaan BUMN hanya sekitar 11% dari total kekayaan nasional, atau sekitar 17% dari total kekayaan kelompok elite ekonomi yang memegang kendali ekonomi sebesar Rp 66.000 triliun.
Dengan kata lain, kekuatan ekonomi negara (melalui BUMN) sebenarnya hanya seperlima dari kekuatan elite ekonomi swasta. Padahal, secara ideal, BUMN seharusnya menjadi penyeimbang dan pelindung ekonomi rakyat. Namun, kenyataannya, posisi BUMN kini justru berada dalam ‘orbit yang serumpun’ dengan kelompok elite—bukan sebagai jembatan ke akar rumput.
ANATOMI EKONOMI INDONESIA
Bayangkan Indonesia sebagai “Hutan Ekonomi”. Dalam hutan itu, 20% populasi adalah pohon-pohon raksasa—pohon jati, kelapa, beringin—yang menjulang tinggi. Di antaranya terdapat “pohon BUMN”, besar tapi mulai keropos di dalam.
Sekitar 10% lainnya adalah pohon menengah, pohon turi, singkong, terong, tomat dan cabe—simbol kelas menengah yang produktif tapi rapuh menghadapi cuaca pasar.
Sementara 80% populasi lainnya adalah rumput dan semak belukar: tumbuh-mati, lalu tumbuh lagi seiring musim. Saat musim kemarau panjang, mereka kering dan mati; saat musim hujan, mereka kembali hijau—tapi tetap tak pernah tumbuh menjadi pohon besar.
Jika kita melihat peta ekonomi ini sebagai postur ekinimi bangsa, maka kepala (elite ekonomi) tampak sangat besar.
BUMN sebagai badan negara menempati posisi tengah, sedangkan kaki—akar rumput—menjadi penopang yang kurus dan lemah. Bila kita hitung: BUMN (17%) + kelas menengah (16%) = 33%, sedangkan elite swasta menguasai 66%. Maka tubuh ekonomi Indonesia terlihat seperti manusia berkepala besar, tubuh kecil, dan kaki rapuh.
Tak heran bila setiap guncangan ekonomi global segera terasa sebagai getaran sosial: kemarahan, protes, dan demonstrasi di berbagai daerah. Postur ekonomi seperti ini rawan badai, baik badai ekonomi maupun badai politik. Terlebih, korupsi di tubuh BUMN menandakan pohon besar negara itu sudah lama keropos dari dalam.
BADAI EKONOMI
Darimana datangnya ‘Badai Ekonimi’ ?. Untuk menjawab dan memahami ancaman “badai ekonomi”, kita perlu menoleh pada sejarah global.
Pada 1989, Perestroika dan Glasnost di Uni Soviet mengubah peta politik dunia. Perang Dingin berakhir, dan potensi Perang Dunia III meredup.
Beberapa tahun kemudian, sekitar 1996, fenomena Equinox menandai penataan ulang grid magnet bumi. Perubahan besar pada struktur medan magnet bumi membawa efek domino: cuaca ekstrem, perubahan iklim, pencairan gletser di kutub, dan lahirnya internet-sebagai fondasi era digital.
Dunia pun bergeser dari Perang Dingin menuju Perang Digital, yang oleh banyak kalangan disebut “Perang Asimetris”.
Jika puncak Perang Dingin yang ditakuti adalah penggunaan senjata nuklir, maka dalam Perang Digital, ancaman lebih seru, heboh dan mematikan, yakni “Senjata Plasma”—senjata non-fisik berbasis hukum-hukum kuantum, jauh lebih dahsyat dari nuklir. Bila nuklir memusnahkan ruang fisik, plasma menyerang dimensi metafisika: kesadaran, sistem data, bahkan algoritma pengendali ekonomi global.
PERANG EKONOMI DAN PEMINDAHAN ASET
Inti dari perang saat ini bukan lagi perebutan wilayah, melainkan siapa yang menguasai kehidupan dunia melalui pengendalian ekonomi digital.
Lihatlah peristiwa Covid-19: di balik narasi wabah dan kesehatan, sesungguhnya terjadi perpindahan besar-besaran kepemilikan aset global.
Banyak usaha kecil kolaps, sementara segelintir korporasi teknologi dan farmasi melonjak kekayaannya.
Di mana semua uang itu bermuara? Kita tak tahu pasti—karena uang kini tak berwujud kertas, melainkan data yang berdiam di “server-server uang” yang tak terlihat.
Covid hanyalah uji coba awal dari senjata plasma digital—sebuah sistem yang bekerja seperti sihir modern, sulit dijangkau logika sains konvensional.
BELAJAR DARI TANDA-TANDA ALAM
Alam memberi petunjuk lewat fenomenanya. Perubahan grid magnet bumi menimbulkan badai, kebakaran, banjir, dan cuaca ekstrem dibanyak belahan bumi.
Itu bukan sekadar fenomena alam, melainkan refleksi dari ketidakseimbangan kehidupan—termasuk ketimpangan ekonomi.
Jika pohon-pohon di jalan-jalan dan di hutan tumbang oleh hujan badai, maka pada waktunya, “pohon-pohon ekonomi” yang terlalu tinggi juga akan dihantam badai dengan wajah yang berbeda.
Senyap tapi pasti, badai itu akan datang—badai ekonomi digital. Ia bergerak bergerak seperti intelijen, senyap. Seperti arus magnet yang menembus jaringan data, menghantam sistem finansial, mengguncang kepercayaan, dan menumbangkan “pohon-pohon angkuh” yang terlalu lama hidup dari rente dan monopoli.
Pohon BUMN yang rapuh karena banyak korup, yang kehilangan akar spirit bangsa- itu adalah sasaran badai yang pertama.
Ketika BUMN dihantam badai ekonomi global, satu per satu rantai ekonomi yang bergantung padanya akan porak poranda.
MENYIAPKAN DIRI MENGHADAPI BADAI
Jika benar Indonesia adalah Hutan Ekonomi yang kaya raya, maka penyelamatan hutan tidak bisa dilakukan dengan menebang pohon besar. Itu bisa menimbulkan rebolusi. Salah satunya dengan menyehatkan ‘tanah spiritualnya’.
Akar rumput—yang 80% itu—harus diperkuat dengan kesadaran identitas sebagai bangsa, ekonomi lokal, dan spiritualitas kerja.
Kelas menengah perlu dilindungi agar tidak roboh sebelum berbuah. BUMN harus direformasi menjadi pohon besar yang teduh, bukan pohon keropos yang rakus. Maka Indonesia memerlukan ‘Senimam Ekonomi’ dan sekaligus ‘Dokter Ekonomi’. Seniman Ekonomi yang akan menata ulang, memperindah wajah hutan ekonomi Indonesia. Dokter Ekonomi yang akan mendiagnosis dan mengoperasi untuk menyembuhkan ‘Pohon BUMN. Seniman Ekonomi yang akan menciptakan ‘tarian baru’, sehingga Elite Ekonomi, kelas menengah dan sebagian akar rumput mau menari bersama demi ‘pesta besar’ Indonesia. Jika hari ini, kita melihat dokternya itu adalah Purbaya…Maka kita tunggu siapa Seniman yang dikirim oleh langit.
Sebab badai pasti datang, entah dari langit global atau dari alam pikiran pikiran manusia-manusia yang sedang hidup di negeri ini saat ini.
Oh negeri yang dilandasi berkah dan rahmat, kini kau sedang dalam.tantangan terbesar dari zaman.
Alaska, 5 Nopember 2025
EDITOR: REYNA
Related Posts

Prof. Djohermansyah Djohan: Biaya Politik Mahal Jadi Akar Korupsi Kepala Daerah

Muhammad Taufiq Buka Siapa Boyamin Sebenarnya: Kalau Siang Dia LSM, Kalau Malam Advokad Profesional

Purbaya Dimakan “Buaya”

Pengakuan Kesalahan Oleh Amien Rais Dalam Amandemen Undang‑Undang Dasar 1945

Menemukan Kembali Arah Negara: Dari Janji Besar ke Bukti Nyata

Informaliti

Pasang Badan

Relawan Sedulur Jokowi Tegaskan Tetap Loyal Kepada Jokowi

Bobibos: Energi Merah Putih Dari Sawah Nusantara Yang Siap Guncang Dunia

Puisi Kholik Anhar: Benih Illahi



No Responses