Prabowo Akan Bayar Utang Kereta Cepat, Habib Umar Alhamid: Apakah Semua Korupsi Era Jokowi Ditanggung Negara?

Prabowo Akan Bayar Utang Kereta Cepat, Habib Umar Alhamid: Apakah Semua Korupsi Era Jokowi Ditanggung Negara?
Habib Umar Alhamid, Panglima Generasi Cinta Negeri (Gentari)

JAKARTA – Pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang menyebut dirinya siap menanggung dan menyelesaikan pembayaran utang proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) atau Whoosh, menuai reaksi keras dari berbagai kalangan. Salah satunya datang dari Ketua Umum Generasi Cinta Negeri (Gentari) Habib Umar Alhamid, yang menilai langkah itu justru menimbulkan tanda tanya besar soal akuntabilitas dan keberanian pemerintah menegakkan hukum terhadap dugaan korupsi proyek warisan era mantan Presiden Joko Widodo.

” Terus terang saya kaget mendengar pernyataan Prabowo yang seolah-olah siap ‘menanggung’ beban keuangan dari proyek yang sejak awal penuh kontroversi itu. Bukan itu saja saya juga bingung, kenapa Prabowo mau bertanggung jawab atas proyek yang sejak awal diduga kuat bermasalah dan berbau korupsi? Apakah semua korupsi di era Jokowi akan ditanggung negara?” ujarnya dalam keterangan kepada wartawan, Kamis (6/11/2025).

Habib Umar mengingatkan publik bahwa proyek kereta cepat Whoosh sudah lama disebut-sebut sarat dengan penyimpangan. Ia bahkan mengutip pernyataan Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan beberapa waktu lalu yang mengakui bahwa proyek ini “busuk sejak awal.”

“Kalau Luhut sendiri pernah bilang proyek ini busuk dari awal, berarti ada sesuatu yang tidak beres. Tapi kenapa sekarang pemerintah malah menanggung bebannya, bukan menuntut pertanggungjawaban hukum?” tegas Habib Umar.

Menurutnya, jika proyek yang jelas-jelas tidak efisien, membengkak biayanya, dan menimbulkan utang yang signifikan itu dibayarkan begitu saja oleh negara, maka hal itu sama saja dengan mengesahkan korupsi sebagai beban publik.

“Uang negara itu uang rakyat. Kalau utang proyek bermasalah dibayar dengan APBN, artinya rakyat yang tidak tahu apa-apa yang dipaksa menanggung akibat korupsi pejabat. Ini sangat tidak adil,” ujarnya.

Habib Umar menilai, pernyataan Prabowo berpotensi menimbulkan preseden berbahaya dalam tata kelola pemerintahan. Menurutnya, tanggung jawab seorang presiden memang penting, namun tanggung jawab itu tidak boleh menutup ruang hukum dan pemeriksaan atas penyimpangan masa lalu.

“Presiden boleh saja bilang ingin menanggung, tapi jangan lupa: negara hukum itu berdiri di atas asas pertanggungjawaban, bukan belas kasihan. Kalau semua proyek bermasalah era Jokowi ditanggung tanpa audit dan proses hukum, lalu buat apa ada KPK dan BPK?” sindirnya.

Habib Umar menambahkan, jika logika ini diteruskan, maka ribuan proyek lain di era Jokowi yang juga diduga bermasalah—mulai dari pembangunan tol, bendungan, IKN, hingga BUMN yang merugi—bisa saja semua ditanggung oleh negara tanpa penyelidikan. “Bayangkan, kalau seribu proyek seperti ini ditanggung APBN, maka rakyat bukan hanya dibebani pajak, tapi juga dipaksa membayar korupsi orang lain. Ini dosa struktural,” jelasnya.

Habib Umar menegaskan bahwa seharusnya pemerintah Prabowo tidak buru-buru menanggung utang, tetapi terlebih dahulu membuka penyelidikan terhadap potensi korupsi yang melibatkan pejabat dan perusahaan pelaksana proyek KCJB. “Negara harus tegas: audit dulu, periksa siapa yang bermain, siapa yang diuntungkan. Kalau bersih, baru kita bayar. Kalau busuk, seret ke pengadilan. Jangan dibalik,” tegasnya.

Ia mengingatkan bahwa prinsip keadilan sosial tidak bisa ditegakkan jika negara justru menjadi tameng bagi korupsi masa lalu. “Ini bukan soal politik balas dendam, tapi soal moral dan tanggung jawab. Kalau yang salah tidak dihukum, yang jujur akan kehilangan kepercayaan,” katanya.

Habib Umar menilai, jika Prabowo ingin dikenang sebagai pemimpin yang adil dan tegas, ia harus berani membuka tabir korupsi proyek-proyek era Jokowi, termasuk KCJB. “Jangan hanya menanggung, tapi juga bersihkan. Kalau Prabowo mau jaga nama baiknya, ini saatnya membuktikan bahwa beliau tidak menoleransi yang namanya korupsi, siapa pun pelakunya harus di tindak dan di penjarakan,” tegasnya.

Di akhir pesannya, Habib Umar mengingatkan bahwa pembangunan tidak boleh dijadikan dalih untuk menutup penyimpangan. “Pembangunan yang baik itu bukan hanya beton dan rel kereta, tapi juga moral dan keadilan. Kalau yang busuk tidak dibersihkan, rakyat akan terus menjadi korban,” tuturnya.

Habib Umar menegaskan kembali bahwa negara wajib memisahkan antara tanggung jawab politik dan tanggung jawab hukum. “Negara boleh menanggung proyek yang benar, tapi tidak boleh menanggung dosa korupsi. Kalau itu terjadi, berarti korupsi telah menjadi kebijakan resmi,” pungkasnya. (Nn)

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K