Oleh: M. Isa Ansori
Kolumnis dan Akademsi, Mengajar Psikologi Komunikasi
Sejak awal pemerintahannya, Prabowo Subianto dan kabinetnya menghadapi tantangan besar dalam membangun narasi yang menegaskan keberpihakan kepada rakyat. Alih-alih menunjukkan karakter pemerintahan yang berbeda dengan rezim sebelumnya, Prabowo justru tersandera oleh bayang-bayang Jokowi. Hal ini semakin diperparah dengan komunikasi politik yang tidak hanya gagal merangkul rakyat, tetapi juga menegasikan arus besar ketidakpuasan publik, terutama dari kalangan mahasiswa dan Gen Z.
Sikap Prabowo yang tetap mengafirmasi peran Jokowi dalam kemenangannya serta seruan “Hidup Jokowi!” yang ia lontarkan, menunjukkan bahwa pemerintahan ini tidak mampu membaca dinamika politik dan psikologi rakyat. Padahal, gerakan mahasiswa dan generasi muda saat ini jelas menunjukkan kekecewaan mendalam terhadap Jokowi yang mereka nilai telah melakukan banyak kesalahan selama 10 tahun terakhir, mulai dari kebijakan ekonomi yang pro-oligarki hingga proyek strategis nasional yang merampas hak rakyat seperti kasus Rempang dan pemagaran laut.
Namun, alih-alih merespons aspirasi ini dengan dialog terbuka, beberapa menteri dalam kabinet Prabowo justru memperkeruh situasi dengan komunikasi yang arogan dan menyakitkan. Bahlil Lahadalia mempertanyakan nasionalisme mahasiswa yang mengkritik pemerintah, seolah-olah mereka adalah musuh negara. Noel, salah satu pendukung Prabowo yang saat ini juga menjadi wamennaker, bahkan dengan enteng menyarankan mahasiswa yang tidak puas untuk “kabur saja dan tidak usah kembali.” Lebih parah lagi, Luhut Binsar Pandjaitan dengan lantang menuding mahasiswa sebagai pihak yang “gelap,” seakan mengabaikan realitas keresahan rakyat yang mereka suarakan.
Komunikasi yang didominasi oleh emosi, bukannya empati, semakin menunjukkan wajah pemerintahan yang anti-kritik dan cenderung fasis. Pemerintahan Prabowo seharusnya belajar dari sejarah bahwa kekuatan mahasiswa dan generasi muda adalah energi perubahan yang tidak bisa diremehkan. Mereka bukan sekadar pengkritik, tetapi bagian dari rakyat yang mencintai negeri ini dan menginginkan perbaikan.
Sayangnya, alih-alih merangkul dan membangun komunikasi yang lebih konstruktif, kabinet Prabowo justru menutup diri dan semakin mengukuhkan citra bahwa pemerintahannya adalah kelanjutan dari Jokowi, bukan pemerintahan yang baru dengan visi yang lebih pro-rakyat. Jika komunikasi seperti ini terus berlanjut, maka pemerintahan Prabowo tidak hanya akan kehilangan legitimasi moral di mata rakyat, tetapi juga semakin mempercepat ketidakpercayaan publik yang bisa berujung pada gelombang perlawanan yang lebih besar.
Kemarahan Prabowo yang terekam dalam kata “ndasmu” terhadap para pengkritiknya justru menunjukkan betapa lemahnya pendekatan komunikasi yang dilakukan. Bukannya merespons dengan kebijakan yang lebih membumi dan pro-rakyat, Prabowo dan kabinetnya justru memperlihatkan reaksi emosional yang semakin menjauhkan mereka dari kepercayaan rakyat. Jika tidak ada perbaikan dalam komunikasi dan kebijakan yang lebih berpihak kepada rakyat, maka pemerintahan ini berisiko besar menghadapi delegitimasi lebih awal dari yang mereka perkirakan.
Akibat dari kegagalan komunikasi ini, Menteri Sekretaris Negara dan KSP yang mencoba merespons aksi dan gerakan mahasiswa serta kaum muda yang bertagar “Kabur Aja Dulu” dan “ Indonesia gelap “ dengan mengajak dialog justru mendapatkan penolakan dari mahasiswa. Mereka terkesan sudah tak percaya lagi dengan pemerintah. Bagi mereka, Prabowo tak lebih dari kepanjangan tangan Jokowi. Pembakaran foto Prabowo-Gibran dan Sekretaris Kabinet Teddy adalah indikasi kemarahan rakyat akibat tontonan aksi arogansi pemerintahan Prabowo.
Sementara itu, di sisi lain, Megawati Soekarnoputri dengan semakin terang benderang mengibarkan bendera oposisi terhadap pemerintahan Prabowo. Instruksi tegas kepada seluruh kepala daerah dari PDIP untuk tidak mengikuti retreat yang diadakan oleh Menteri Dalam Negeri menjadi sinyal bahwa PDIP secara terbuka mengambil posisi berseberangan dengan pemerintahan ini. Padahal selama prabowo dilantik menjadi Presiden, sikap Megawati dan PDIP terlihat menjaga komunikasi dengan Prabowo. Sikap PDIP dan Megawati ini bisa diduga dipicu oleh sikap Prabowo yang dianggap jelas jelas melindungi Jokowi, padahal saat ini Jokowi adalah “musuh besar” Megawati dan PDIP. Hal ini semakin mempertegas bahwa Prabowo telah kehilangan dukungan dari salah satu kekuatan politik utama di Indonesia, yang semakin memperkuat persepsi bahwa pemerintahan ini hanya perpanjangan dari rezim sebelumnya dan bukan pemerintahan yang mandiri serta berpihak pada rakyat. Jika Prabowo tidak segera melakukan koreksi besar dalam komunikasi dan kebijakan, maka ia akan menghadapi oposisi yang semakin solid, baik dari rakyat maupun dari partai politik yang kecewa dengan arah pemerintahannya.
Prabowo Harus Segera Memperbaiki Tim Komunikasinya
Analisis Perspektif Eric Berne dan Transactional Analysis
Dalam persepektif komunikasi yang merangkul serta cenderung sebagai solusi, Prabowo bisa mengadopsi bagaimana Anies Baswedan membangun komunikasi ketika memimpin Jakarta. Bagaimana Anies menanggapi sikap para pengkritiknya dengan sikap santun. Anies menjaga komunikasinya dengan menempatkan diri sebagai orang dewasa ( adult ).
Dalam teori Transactional Analysis (TA) Eric Berne, komunikasi manusia terbagi dalam tiga ego state: Parent (Orang Tua), Adult (Dewasa), dan Child (Anak). Kegagalan komunikasi Prabowo dan kabinetnya bisa dianalisis dalam konteks ini:
Pertama, Komunikasi Parent-Child
Prabowo dan menteri-menterinya cenderung berbicara dengan nada otoritatif (Critical Parent), seolah-olah rakyat, terutama mahasiswa dan Gen Z, harus tunduk tanpa pertanyaan.
Respon emosional seperti “ndasmu” atau tudingan “nasionalisme mahasiswa dipertanyakan” menunjukkan dominasi Critical Parent, yang memicu reaksi Rebellious Child (pemberontakan mahasiswa dan aksi turun ke jalan).
Kedua, Kurangnya Komunikasi Adult-Adult
Pemerintahan Prabowo gagal menerapkan komunikasi rasional berbasis solusi, yang seharusnya mengedepankan empati dan pemahaman terhadap keresahan rakyat.
Dialog yang dilakukan oleh KSP dan Menteri Sekretaris Negara terlambat dan tidak dipercaya, karena sejak awal komunikasi yang dibangun bukanlah dari posisi Adult, melainkan Critical Parent.
Apa yang Harus Dilakukan Prabowo?
Pertama, Membentuk Tim Komunikasi yang Berbasis Empati
Mengganti strategi komunikasi kabinet dari Critical Parent ke Adult, yaitu dengan mendengar, memahami, dan menawarkan solusi konkret.
Menghindari sikap emosional dan pernyataan arogan yang bisa memperburuk citra pemerintahan.
Kedua, Menunjukkan Keberpihakan Nyata kepada Rakyat
Mengambil jarak yang lebih jelas dari kebijakan Jokowi yang menyengsarakan rakyat, seperti proyek strategis nasional yang merugikan masyarakat kecil.
Menghadirkan kebijakan yang benar-benar pro rakyat untuk membangun legitimasi baru.
Ketiga, Membuka Ruang Dialog yang Lebih Jujur
Menunjukkan bahwa pemerintah bersedia mendengar kritik dan menjawabnya dengan kebijakan, bukan sekadar retorika atau serangan balik.
Melibatkan mahasiswa dan generasi muda dalam kebijakan nyata, bukan hanya sekadar forum diskusi tanpa hasil.
Jika langkah-langkah ini tidak segera diambil, maka pemerintahan Prabowo akan terus kehilangan dukungan dan menghadapi delegitimasi lebih cepat dari yang diperkirakan.
EDITOR: REYNA
Related Posts

Ach. Sayuti: Soeharto Layak Sebagai Pahlawan Nasional Berkat Jasa Besarnya Dalam Fondasi Pembangunan Bangsa

SPPG POLRI Lebih Baik Dibanding Yang Lain Sehingga Diminati Sekolah

Pak Harto Diantara Fakta Dan Fitnah

Surat Rahasia Bank Dunia: “Indonesia Dilarang Membangun Kilang Minyak Sendiri”

Mantan Dirut Pertamina Karen Agustiawan Mengaku Ditekan 2 Tokoh (PY) dan (HR) Untuk Memperhatikan Perusahaan Riza Chalid

Prabowo Melawan Akal Sehat atas Dugaan Ijazah Palsu Jokowi dan Kereta Cepat Whoosh

Pangan, Energi dan Air

Penasehat Hukum RRT: Penetapan Tersangka Klien Kami Adalah Perkara Politik Dalam Rangka Melindungi Mantan Presiden Dan Wakil Presiden Incumbent

Negeri di Bawah Bayang Ijazah: Ketika Keadilan Diperintah Dari Bayangan Kekuasaan

NKRI Sesungguhnya Telah Bubar



No Responses