Oleh: Agus Wahid
Penulis: analis politik
Projo alias Pro Jokowi – melalui “kongres”nya – menyatakan sikap: mendukung penuh pemerintahan Prabowo, tanpa menyebut nama Gibran Rakabuming Raka. Bahkan, menyatakan siap bergabung dengan Partai Gerindra. Kita perlu membaca manuver Ketua Umum Projo, Budi Arie itu: ke mana arah politik sebenarnya?
Sebagai loyalis Jokowi yang berhaluan ekstri atau garis keras tak mudah melepaskan junjungannya yang selama ini telah membesarkan dirinya dengan bergudang fasilitas negara, termasuk perlindungan politik dan hukum. Secara naluriah manusia biasa, sikap politik Budi Arie merupakan ketidakmungkinan. Tapi, hal ini bukan bicara naluriah manusia biasa, tapi panggung politik praktis. Teorinya jelas: tak ada sahabat yang abadi dalam politik. Yang abadi adalah kepentingan.
Karena itu, sikap dan langkah politik Budi Arie tak lepas dari praktik politik praktis. Meski demikian, kita tak bisa memandang secara telanjang tentang lepasnya Budi Arie dan atau Projo secara keseluruhan sebagai manifetasi politik praktis. Kita perlu menelisik makna substatif di balik manuver itu.
Ada satu pernyataan Budi Arie yang layak kita garis-bawahi. “Untuk hal-hal tertentu terkait dengan masalah pribadi Jokowi, Projo tetap akan bersikap. Membelanya semaksimal mungkin”, ujar Budi Arie. Statemen itu menggambarkan sikap dan isi hati yang sesungguhnya: Jokowi masih ada di hatinya.
Yang menarik untuk kita telaah lebih jauh, apa yang mendorong Budi Arie dengan gerbong relawan Projo mengambil sikap melepaskan diri dari ikatan emosional politik bersama Jokowi?
Setidaknya, ada dua variabel yang dapat kita baca. Pertama, Budi Arie sesungguhnya ada dalam radar ancaman hukum, terkait judi online (judol), bahkan potensi kasus lainnya. Untuk menyelamatkan diri, Ketum Projo akan lebih aman jika segera merapat ke Prabowo dan sekalian masuk ke Gerindra. Maka, motif personal lebih menonjol atau dominan.
Kedua, ada sinyal kuat bahwa Jokowi dan menantunya (Bobby Nasution) akan segera terproses secara hukum. Pintu masuknya – bagi Jokowi – terkait persoalan Whoosh. Sebagai pintu masuk, ada kemungkinan akan melebar ke praktik abuse of power selama 10 tahun kekuasaannya, tidak hanya dugaan korupsi, tapi juga kejahatan kemanusiaan lainnya. Sementara, Bobby Nasution akan segera menjadi “pesakitan” karena dugaan kuatpenyalahgunaan kekusaan pada kebijakan pembangunan infrastruktut selama menjabat Walikota Medan, di samping kemungkinan illegal export of mining melalui bendera Blok Medan yang beroperasi di Maluku Utara.
Proses dan atau tindakan hukum terhadap kasus Jokowi dan Bobby Nasution praktis akan memperlemah posisi politik dan hukum Jokowi. Karena itu, Budi Arie dan Projo secara keseluruhan menjadi lemah posisinya. Karenanya, di mata Budi Arie dan Projo, Jokowi and his family are the past. Sebuah masa lalu yang sudah kropos. Tak bisa diandalkan dan menjadi sandaran.
Ada pendapat menarik dari Rocky Gerung (RG), perpindahan Budi Arie dan gerbongnya (Projo) merupakan sogokan politik Jokowi kepada Prabowo. Pernyataan RG bisa dinilai tepat jika positioning politik Budi Arie dan gerbongnya masih punya kekuatan strategis. Sementara, realitas menunjukkan, posisi mereka sebenarnya justru sedang mencari perlindungan agar aman dan selamat dari kejaran hukum.
Dengan membaca data keloyoan positioning Budi Arie dan gerbongnya, maka tidak pada tempatnya Prabowo bersikap welcome terhadap mereka yang siap full support terhadap pemerintahan Prabowo. Pihak Partai Gerindra pun harus tegas untuk menscreening Budi Arie dan kaum Projo yang ingin bergabung ke partainya.
Harus dicatat, pribahasa “musang berbulu domba” atau diksi lainnya adalah pengkhianat tak sepantasnya diterima dengan “karpet merah”. Sebab, manusia seperti itu tetaplah tak akan melepaskan diri dari karakter “brutusnya”. Mereka pasti menghitung: jika waktunya memungkinkan, pasti dilakukan pengkhianatan itu.
Itulah pribahasa yang sesungguhnya berangkat dari realitas sosiologis yang harus diwaspadai. Karena itu, Prabowo dan seluruh jajaran elit Gerindra tak selayaknya menanggapi positif atas manuver Budi Arie dan gerombolannya yang seolah-olah memperkuat positioning politik Prabowo saat ini.
Sebagai sosok yang cerdas dan ahli strategi, sungguh aneh jika Prabowo menilai baik atas keinginan Budi Arie dan para kader Projo itu. Yang perlu dicatat, jika Prabowo dan atau Gerindra memberi “karpet merah”, maka – di depan mata – yang bakal terjadi adalah memperkuat keberadaan Gibran, meski deklarasi politiknya “mendukung sepenuhnya terhadap Prabowo” dan sama sekali tidak menyebut Gibran. Ini sikap politik bro….
Pernyataan itu harus diwaspadai. Sangat krusial. Sebab, jika berhasil memasuki lingkaran kakusaan, yang pasti diperkuat adalah sosok Gibran, meski perlahan. Karena itu, Gibran dan atau Partai Solidaritas Indonesia (PSI) cicing wae, mendel mawon, diam seribu bahasa and no command. Penguatan ini akan dibaca dengan jelas dalam agenda utamanya. Yaitu, melindungi Gibran ketika muncul suara kencang pemakzulan Gibran dari kursinya. Atau, sebaliknya: meneropong kemungkinan Prabowo tak bisa menjalankan tugas kenegaraannya. Jika kemungkinan itu muncul, maka Budi Arie dan Projo akan langsung ambil langkah nyata: mempersiapkan Gibran, naik menjadi RI-1.
Sketsa politi itu menggambarkan, Prabowo dan atau Gerindra sedang memelihara macan. Meski terlihat manut-lembut, tapi ketika rasa laparnya mulai terasa dan diperlihatkan, akan muncullah karakter aslinya: ganas. Ia dan mereka siap menerkam majikannya dan siapapun yang ada di sekitarnya. Karena itu, tak ada kata lain bagi Prabowo harus tetap waspada terhadap musang berbulu domba itu. Langkah yang paling taktis adaah tak memberi sinyal sedikitpun yang bersifat manis kata dan tindakan terhadap Budi Arie dan Projo.
Secara hukum dan politik, mereka problem maker. Potensinya sangat besar untuk dimasukkan dalam proses hukum yang berkeadilan. Problem yang dihinggapnya menjadikan mereka akan menjadi beban politik Prabowo, bahkan Gerindra. At least, Prabowo akan terhalangi langkah-langkahnya terkait penegakan hukum anti korupsi yang sudah mulai ditunjukkan. Juga, proses recovery ekonomi yang sudah dilakukan Menteri Keuangan Purbaya. Jangan sampai, langkah-langkah hukum yang ditunggu rakyat dan gebrakan Purbaya terkendala hanya karena Budi Arie dan Projo masuk dalam lingkaran kekuasaan Prabowo saat ini, meski bukan dalam jabatan formal kekuasaan.
Akhir kata, kita harus mencatat, Budi Arie dan Projo is nothing now. They are powerless. Memang, pada 26 – 30 Agustus lalu, mereka diduga kuat punya andil dalam kekacauan nasional. Tapi, semua itu telah terlewati. Justru, dengan keberhasilan itu, kita harus mencatat, kekuatan Projo dan Budi Arie sudah loyo. Itulah di antara catatan yang mendorong mereka mengubah arah politiknya: lebih baik, lebih aman dan lebih menyelamatkan jika mendukung pemerintahan Prabowo. Tapi, itu semua siasat. Musang tetap musang. Bulunya akan menusuk manakala memungkinkan kondisinya.
Sekali lagi, tanpa Jokowers, pemerintahan Prabowo bukanlah lemah. Justru sebaliknya, jika Jokower masuk, Prabowo akan mendapat mendapat kritik tajam dari berbagai elemen rakyat. Hal ini jelaslah menggangu kredibilitas pemerintahan Prabowo. Tidak tertutup kemungkinan, gelombang kritik ini memperlemah keberadaan Prabowo. Hal inilah – bisa jadi – merupakan bagian dari desain Budi Arie, Jokowoi dan segenap Projo. We know akal bulus kalian. Hehehe.
Jakarta, 05 November 2026
EDITOR: REYNA
Related Posts

Potret ‘Hutan Ekonomi’ Indonesia

Prof. Djohermansyah Djohan: Biaya Politik Mahal Jadi Akar Korupsi Kepala Daerah

Muhammad Taufiq Buka Siapa Boyamin Sebenarnya: Kalau Siang Dia LSM, Kalau Malam Advokad Profesional

Purbaya Dimakan “Buaya”

Pengakuan Kesalahan Oleh Amien Rais Dalam Amandemen Undang‑Undang Dasar 1945

Menemukan Kembali Arah Negara: Dari Janji Besar ke Bukti Nyata

Informaliti

Pasang Badan

Relawan Sedulur Jokowi Tegaskan Tetap Loyal Kepada Jokowi

Bobibos: Energi Merah Putih Dari Sawah Nusantara Yang Siap Guncang Dunia



No Responses