Prabowo Whoosh Wus

Prabowo Whoosh Wus
Isa Ansori

Oleh: M. Isa Ansori

Ketika Presiden Prabowo Subianto menyatakan akan mengambil tanggung jawab untuk menyelesaikan persoalan Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB), banyak pihak semula menilai langkah itu sebagai bentuk ketegasan dan jiwa kenegarawanan. Namun, di balik retorika yang tampak heroik itu, tersimpan paradoks yang mencolok. Pernyataan tersebut justru mengaburkan batas antara tanggung jawab negara dan penyelamatan kepentingan elite yang sejak awal terlibat dalam proyek sarat kontroversi itu.

Paradoks Kepemimpinan

Proyek Kereta Cepat Indonesia–China (KCIC) sejak awal berdiri di atas fondasi rapuh. Ia dijanjikan tanpa melibatkan uang negara, tetapi berakhir menyedot dana triliunan rupiah dari APBN — uang rakyat yang seharusnya digunakan untuk pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan masyarakat kecil. Biaya proyek yang semula diperkirakan Rp 86 triliun kini membengkak menjadi lebih dari Rp 130 triliun. Laporan dan temuan para ekonom menunjukkan indikasi kuat adanya mark up harga, penyimpangan kontrak, hingga perubahan status proyek dari business to business (B2B) menjadi proyek yang dibebankan kepada negara.

Menteri Keuangan Purbaya Yudi Sadewa pernah dengan tegas menolak ide agar negara menanggung utang tersebut. Alasannya sederhana dan bermartabat: proyek itu murni kesepakatan bisnis antara konsorsium Indonesia dan China, bukan proyek negara. Karena itu, tidak seharusnya APBN — yang bersumber dari keringat rakyat — digunakan untuk menambal kegagalan manajerial segelintir elite.

“APBN adalah uang rakyat, bukan uang untuk menutup kesalahan elite,” demikian kurang lebih pesan moral dari pernyataan Purbaya. Sikap itu merepresentasikan semangat kenegarawanan sejati: menjaga keadilan fiskal, memastikan uang rakyat digunakan untuk rakyat, bukan untuk kepentingan politik dan bisnis kekuasaan.

Namun, sikap jernih itu mendadak seperti dipatahkan oleh pernyataan Prabowo. Dengan nada heroik, ia mengatakan bahwa dirinya “akan mengambil tanggung jawab dan menyelesaikan masalah ini.” Ucapan itu di satu sisi terdengar gagah, tetapi di sisi lain berpotensi menegasikan prinsip keadilan dan akuntabilitas publik. Apakah tanggung jawab yang dimaksud adalah keberanian menghadapi masalah hukum, atau sekadar menutupi jejak politik masa lalu yang berpotensi menyeret nama besar seperti Jokowi dan Luhut?

Whoosh yang hampa

Kata “Whoosh” — nama resmi kereta cepat itu — kini menjadi simbol ironi: cepat, mahal, dan glamor, tapi tidak menyentuh kebutuhan dasar rakyat. Rakyat kecil tidak naik Whoosh. Mereka masih berdesakan di KRL murah, menunggu bus yang jarang lewat, atau bertahan hidup dengan ongkos transportasi harian yang semakin berat.

Ketika pemimpin tampil heroik membela proyek mewah yang dinikmati segelintir elit Jakarta–Bandung, sementara jutaan rakyat menunggu harga beras turun dan biaya hidup stabil, di situlah letak paradoks terbesar dalam kepemimpinan. Prabowo tampil cepat — whoosh! — untuk menyelamatkan proyek, tapi lambat dalam menghadirkan solusi konkret bagi penderitaan rakyat. Inilah yang kemudian disebut publik sebagai sikap “Whoosh Wus”: penuh bunyi, tapi hampa makna.

Negarawan Sejati Hadir untuk Rakyat

Kita masih bisa belajar dari para pendahulu bangsa yang memahami makna sejati kepemimpinan. Bung Hatta, misalnya, pernah menolak fasilitas rumah dinas dan mobil negara karena merasa negara masih miskin. Ia menulis dalam catatannya: “Aku tidak ingin menikmati kemewahan dari uang rakyat yang masih kesusahan.” Begitu pula Bung Sjahrir, yang dalam masa sulit lebih memilih menjadi penengah yang adil daripada penguasa yang populis. Ia percaya bahwa tugas seorang pemimpin bukanlah menutupi kesalahan kawan, melainkan menegakkan kebenaran untuk semua.

Ki Hajar Dewantara bahkan menegaskan makna kepemimpinan dengan semboyannya yang abadi: “Ing ngarso sung tulodo, ing madya mangun karso, tut wuri handayani.” Pemimpin sejati memberi teladan di depan, membangun semangat di tengah, dan mendorong dari belakang — bukan melindungi kesalahan di atas.

Sikap-sikap kenegarawanan seperti inilah yang kini makin langka. Dalam kasus KCIC, publik melihat justru sebaliknya: pemimpin yang mestinya membela rakyat kecil malah terkesan membela elite yang diduga bermain di proyek triliunan rupiah.

Ketika Hukum Menjadi Tumpul ke Kawan

Sikap Prabowo dalam kasus KCIC mempertegas kenyataan bahwa hukum di negeri ini masih tumpul ke kawan dan tajam ke lawan. Saat rakyat kecil mencuri untuk makan, hukum bergerak cepat. Tapi ketika triliunan rupiah negara berpotensi lenyap dalam proyek bermasalah, keadilan seolah berjalan lambat, bahkan dilapisi kata-kata manis seperti “tanggung jawab” dan “penyelesaian.”

Rakyat yang dulu berharap pada Prabowo sebagai sosok pembawa perubahan kini merasa kecewa. Mereka menunggu pemimpin yang menegakkan janji keberpihakan, bukan sekadar menampilkan gaya heroik di panggung kekuasaan.

Keadilan yang Tertunda

Sesungguhnya, rakyat Indonesia tidak menuntut banyak. Mereka hanya ingin keadilan ditegakkan tanpa pandang bulu. Mereka ingin uang pajak yang mereka bayarkan kembali dalam bentuk pendidikan yang baik, layanan kesehatan yang layak, dan lapangan pekerjaan yang nyata. Mereka ingin pemimpin yang hadir di tengah penderitaan mereka, bukan hanya hadir di tengah kebingungan elite yang kehilangan arah akibat keserakahan sendiri.

Prabowo punya kesempatan besar untuk membuktikan diri sebagai negarawan sejati. Ia bisa memilih untuk menegakkan kebenaran dengan transparansi, audit publik, dan penegakan hukum tanpa kompromi dalam kasus KCIC. Atau, ia bisa memilih jalan pragmatis — menjadi perisai bagi dosa politik masa lalu, menutup kegagalan dengan retorika “tanggung jawab.”

Cermin Hilangnya Moralitas Kepemimpinan

Sejarah selalu menguji setiap pemimpin: apakah ia hadir untuk rakyat, atau untuk melindungi kekuasaan. Sikap Prabowo terhadap proyek kereta cepat ini akan tercatat sebagai cermin moral dari kepemimpinannya. Apakah ia berani menegakkan hukum tanpa pandang bulu, atau justru menjadi bagian dari budaya politik yang menormalisasi penyimpangan dengan kata “pengabdian”?
Jika arah kepemimpinan terus dibiarkan dalam mode Whoosh Wus — cepat dalam retorika, kosong dalam moralitas — maka bangsa ini akan terus melaju kencang ke arah yang salah: menuju jurang ketidakadilan.

Negarawan sejati tidak diukur dari seberapa cepat ia menyelesaikan masalah, tetapi dari seberapa adil ia berdiri di tengah badai kepentingan. Dan pada titik itulah, rakyat masih menunggu: apakah Prabowo akan menjadi pemimpin yang berpihak pada kebenaran — atau sekadar “Whoosh Wus,” melesat kencang tanpa arah, meninggalkan keadilan di peron sejarah.

Surabaya, 8 November 2025

Tentang Penulis :
M. Isa Ansori adalah Kolumnis, Dosen, Dewan Pakar LHKP PD Muhammadiyah Surabaya, dan Wakil Ketua ICMI Jatim. Aktif menulis essay sosial, politik, pendidikan dan kebijakan publik diberbagai media online maupun cetak.

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K