Oleh: Muhammad Chirzin
Diskusi seputar spiritualitas berlangsung di salah satu grup WA. Hal itu bermula dari unggahan meme salah seorang anggotanya yang mengkontraskan agama dengan spiritualitas sebagai berikut.
Agama: memuja Tuhan
Spiritualitas: kemanunggalan dengan Tuhan
Agama: Tuhan ada di luar diri
Spiritualitas: Tuhan ada di dalam diri
Agama: memisahkan manusia dengan keyakinan berbeda
Spiritualitas: mempersatukan manusia apa pun keyakinannya
Agama: mengajarkan orang takut pada neraka
Spiritualitas: mengajarkan orang menciptakan surga di dunia
Agama: berdasarkan ketakutan dan larangan
Spiritualitas: berdasarkan cinta dan kebebasan
Agama: bagai setitik air di samudera
Spiritualitas: bagai samudera dalam satu titik air
Agama: berdasarkan kisah hidup orang
Spiritualitas: berdasarkan pengalaman pribadi.
Unggahan tersebut segera memperoleh beberapa respons demikian. Bagus. Gak usah beragama kalau begitu ya… Pengunggah pun menanggapinya demikian.
Beragama dengan moral-akhlak-etika “personal-sosial-semesta”, jangan hanya berdasar ayat-ayat qauliyah yang 1% dibanding dengan 99% ayat-ayat kauniyah/tersirat di alam semesta ciptaan-Nya (Kang Abu Marlo dkk), dengan keberagamaan hakikat/isi sekaligus syariat/kulit (Ayah Uyut Arya Jaka Lelana), yang juga menyentuh – mengupas – mengilmiahkan- momformulasikan – mengamalkan dengan holistik 2/3 ajaran Al-Quran yang berdimensi sosial tidak hanya ritual yang 1/3-nya dan seterusnya.
Penanggap pertama merespons, kalau di gambar ini, agama kontra spiritualitas. Dan lebih bagus spiritualitas (daripada agama) kalau baca di gambar ini. Harus konsisten mestinya dengan penyataan di gambar itu. Tidak konsekuen antara pernyataan dengan pilihan kalau begini.
Penulis pun nimbrung. Apakah spiritualitas tidak mengajarkan kehidupan akhirat?
Penanggap pertama menyahut, tidak, cukup ciptakan surga dunia… Hahaha…
Penulis menimpali, dunia jadi surga para koruptor.
Salah seorang anggota grup WA senior berkomentar, Prof Muhammad Chirzin ahli tafsir pasti lebih pirso (tahu), pengunggah meme itu lebih dekat dengan mistik dunia kejawen.
Ketika meme yang sama penulis unggah di sebuah grup WA yang lain hal itu memperoleh respons beragam pula sebagai berikut.
Spirituality di era modern merupakan efek dari modernitas dari sisi individualisme. Beragama jadi sangat personal dan berujung pada hilangnya attachment pada agama. Davie menyebutnya sebagai believing without belonging. Wallahu a’lam.
Anggota grup WA yang lain menanggapi demikian, Proposisi ini ada benarnya, keduanya entitas yg berbeda. Agama “house”, dan spiritualitas “home”. Di luar sana ada trend “spirituality without religion”, punya rasa ketuhanan, tapi tidak perlu ke masjid atau ke gereja. Kecenderungan seperti ini ada yang menyebutnya dengan istilah “theosofi”, percaya kepada Tuhan, tidak perlu syariat. Identik dengan aliran kebatinan, seperti Pangestu atau Freemasonry (Yahudi). Dalam Islam, beragama meniscayakan spiritualitas yang tinggi, meskipun dalam praktiknya, keberagamaan kita lebih berwujud aktualitas formalistik tanpa spiritualitas sebagai basis keberagamaan.
Penulis pun menanggapinya, spiritualitas tanpa agama adalah dunia tanpa akhirat.
Penaggap tadi pun menyambung, itu soal keyakinan Prof. Tidak semua orang percaya akhirat, meski punya pegangan sistem moral tertentu.
Anggota yang lain pun menambahkan, atau yang tanpa agama itu hanya emosionalitas saja. Setidak itu pendapatku.
Penulis mengomentarinya demikian. Orang yang beragama Islam niscaya percaya pada akhirat, jika tidak percaya pada akhirat, terus Islam apa?
Komentar penulis pun segera mendapat respons, kafir dong Prof, alias murtad. Penanggap terdahulu pun menambahkan, kita tidak bahas umat Islam saja, tapi juga umat secara umum. Maka penulis menanggapinya dengan mengutip ayat: Lakum dinukum waliya dini.
Diskusi pun berakhir dengan pernyataan anggota grup lainnya, bahwa semua agama sudah ada syariat dan manhajnya, kita fokus pada umat Islam.
Spiritualitas tidak lain adalah pengalaman-pengalaman yang membuat manusia merasa terhubung dengan sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri, mencakup nilai-nilai kasih sayang, belas kasihan, kebijaksanaan, rasa syukur, dan pengalaman puncak yang bermakna pada kehidupan.
Spiritualitas bukan masalah kepercayaan agama semata, melainkan sejauh mana seseorang merasa terhubung dengan nilai-nilai yang lebih besar dalam kehidupan. Agama mengandung spiritualitas, tetapi tidak semua spiritualitas bersumber dari agama.
Dalam kehidupan sehari-hari spiritualitas meningkatkan kesejahteraan emosional. Melalui praktik spiritualitas seperti doa atau refleksi diri, seseorang bisa merasa lebih tenang, bahagia, dan bebas dari stres.
Spiritualitas memberikan arti pada kehidupan. Spiritualitas membantu seseorang menemukan tujuan dan makna yang lebih dalam kehidupan, sehingga mampu memberikan motivasi dan inspirasi dalam melakukan setiap aktivitas.
Spiritualitas meningkatkan empati dan kasih sayang. Dengan memahami keterhubungan dengan sesuatu yang lebih besar, seseorang dapat lebih mudah merasakan empati dan kasih sayang terhadap orang lain.
Spiritualitas membantu seseorang untuk lebih mampu merasakan dan mengungkapkan rasa syukur atas segala nikmat yang diterimanya, sehingga memperkuat perasaan optimisme dan kebahagiaan.
Spritualitas mengatasi kesendirian. Dengan merasakan keterhubungan dengan sesuatu yang lebih besar, spiritualitas membantu seseorang merasa lebih terhubung dan tidak merasa kesepian, bahkan ketika sedang sendirian.
Aplikasi spiritualitas dalam kehidupan sehari-hari antara lain berupa pelayanan sosial. Mengabdi kepada sesama merupakan salah satu bentuk nyata dari rasa kasih sayang dan empati, yang merupakan nilai spiritualitas.
Spiritualitas diaplikasikan dengan berbagi kepada orang lain. Memberi dan berbagi dengan orang lain, baik itu waktu, tenaga, atau harta, merupakan cara untuk mengekspresikan rasa syukur dan kasih sayang.
Dalam dunia yang semakin kompleks dan penuh dengan tekanan, kecerdasan spiritual membantu seseorang untuk tetap tenang, bahagia, dan mampu menjalani kehidupan dengan penuh makna.
EDITOR: REYNA
Related Posts

Menata Ulang Otonomi: Saatnya Menghadirkan Keadilan dan Menata Layanan

Gerbang Nusantara: Jatim Kaya Angka, Tapi Rakyat Masih Menderita

Imperium Tiga Samudra (5) — Ratu Gelombang

“Purbayanomics” (3), Tata Kelola Keuangan Negara: Terobosan Purbaya

Seri Novel “Imperium Tiga Samudra” (4) – Pertemuan di Lisbon

Habil Marati: Jokowi Mana Ijasah Aslimu?

Misteri Pesta Sabu Perangkat Desa Yang Sunyi di Ngawi: Rizky Diam Membisu Saat Dikonfirmasi

“Purbayanomics” (2): Pemberontakan Ala Purbaya: Rekonstruksi Ekonomi Nasional

“Purbayanomics” (1): Purbaya Hanyalah Berdrakor?

Umat Islam Jangan Diam, Israel Mulai Menjalankan Rencana Jahatnya: Merobohkan Masjid Al Aqsa




No Responses