Oleh: Radhar Tribaskoro
Sistem politik kita sudah terlalu sarat makna. Tiap musim kampanye, kata “demokrasi” berderai seperti hujan di podium-podium partai. Semua elite berbicara tentangnya, semua partai menuliskannya dalam AD/ART, semua pejabat mengutipnya dalam pidato resmi seolah itu mantra suci republik. Tetapi ketika kita menengok bagaimana lembaga-lembaga demokrasi bekerja—DPR, partai, KPU, kepolisian, kejaksaan, kehakiman—yang kita lihat bukan nilai-nilai demokrasi, melainkan logika patronase, loyalitas, dan transaksi. Sistem politik Indonesia berbicara seperti demokrasi, tapi bekerja seperti feodalisme. Ia berbusana modern, namun berjiwa abad ke-18.
Fenomena ini bukanlah kecelakaan sejarah, melainkan suatu pola yang telah menjadi struktur. Sejak kemerdekaan, kita menjunjung demokrasi sebagai cita, tetapi menolak disiplin sistem yang membuatnya berfungsi. Seperti orang yang memuja air tapi enggan membuat pipa. Demokrasi menjadi semacam ritual simbolik—diserukan, diajarkan, dirayakan—tanpa menjadi mekanisme kerja kekuasaan. Ia hidup sebagai semantik, bukan sebagai sistem.
Bung Karno menamai demokrasi kita “terpimpin”. Soeharto menamainya “Pancasila”. Reformasi menamainya “konstitusional”. Nama boleh berubah, tetapi sifatnya tetap: elit mengatur, rakyat mendengar. Para pemimpin berbicara tentang kedaulatan rakyat, tapi semua keputusan penting diambil dalam kamar tertutup. Oposisi dijinakkan lewat jabatan, lembaga hukum dipakai untuk mengatur lawan, partai dijalankan seperti perusahaan keluarga. Seolah sistem ini tak pernah benar-benar dimaksudkan untuk berjalan secara demokratis—hanya untuk kelihatan demokratis.
Lama-kelamaan, demokrasi menjadi semacam pakaian pesta: indah di mata, tapi tidak dipakai untuk bekerja. Kita memiliki pemilu, tapi hasilnya bisa ditebak dari awal. Kita punya parlemen, tapi hampir seluruhnya duduk di koalisi pemerintah. Kita punya KPU, tapi fungsinya tak ubahnya panitia acara lima tahunan. Kita punya konstitusi, tapi pasalnya lentur mengikuti tafsir kekuasaan. Kita punya oposisi, tapi bahkan mereka lebih sibuk bernegosiasi kursi daripada memperjuangkan gagasan.
Dalam keadaan seperti ini, memperjuangkan nilai-nilai demokrasi—kejujuran, partisipasi, kesetaraan—tidak serta-merta membangun demokrasi itu sendiri. Karena nilai tidak otomatis mengubah struktur sistem. Nilai adalah bahasa moral; sistem adalah logika operasi. Ketika logika operasi tidak mendukung nilai, nilai hanya menjadi hiasan retoris. Demokrasi Indonesia, dengan demikian, hidup sebagai bahasa, bukan sebagai mekanisme.
Kita sering mendengar bahwa jalan keluar dari krisis demokrasi adalah “pendidikan nilai-nilai demokrasi”. Toleransi, pluralisme, hak asasi, musyawarah. Tetapi pendidikan semacam itu, jika tak diikuti reformasi sistemik, hanya akan mencetak warga yang lebih sopan dalam menerima ketidakadilan. Lihatlah: setiap kali muncul kritik, pemerintah menjawab dengan pidato tentang demokrasi. Setiap kali terjadi korupsi, pejabatnya bicara tentang akuntabilitas. Setiap kali terjadi pelanggaran hukum, lembaganya mengutip pasal. Kita seolah hidup dalam teater demokrasi, di mana semua aktor memainkan peran yang sama: pura-pura modern di atas panggung tradisi patronal.
Logika yang bekerja bukanlah rule of law, melainkan rule of favor—aturan yang mengikuti kedekatan, bukan prinsip. Politik menjadi pasar besar transaksi di mana kesetiaan dihargai lebih tinggi daripada integritas. Dalam situasi ini, demokrasi berhenti menjadi mekanisme koreksi; ia berubah menjadi kosmetik bagi kekuasaan. Semua tampak demokratis, tapi keputusan diambil lewat kompromi tertutup.
Ada paradoks di sini: semakin banyak kita bicara tentang demokrasi, semakin jauh ia dari kenyataan. Retorika demokrasi justru menjadi pengganti demokrasi itu sendiri. Dalam setiap skandal politik, dalam setiap pembungkaman media, dalam setiap pelemahan lembaga hukum, kata “demokrasi” diucapkan untuk menenangkan publik—seperti candu moral yang meninabobokan kritik. Demokrasi menjadi semacam branding nasional: kita bangga menyebut diri demokratis, tapi enggan menanggung ketidaknyamanan yang lahir dari kebebasan dan keterbukaan.
Padahal, demokrasi sejati adalah sistem yang bekerja melalui ketegangan—antara pemerintah dan oposisi, antara kebebasan dan keteraturan, antara mayoritas dan minoritas. Tanpa ketegangan, demokrasi berhenti belajar. Tetapi dalam budaya politik kita, ketegangan dianggap penyakit; perbedaan dianggap ancaman. Maka setiap konflik didamaikan dengan kompromi, setiap oposisi dijinakkan dengan jabatan, setiap kritik dijawab dengan jargon “stabilitas”.
Budaya harmoni yang kita banggakan membuat demokrasi kehilangan daya refleksinya. Ia tidak punya kemampuan belajar dari kegagalan, karena kegagalan selalu ditutupi oleh simbol-simbol persatuan. Dalam teori sistem Niklas Luhmann, ini disebut “penutupan operasional”: sistem hanya mendengar dirinya sendiri, bukan lingkungannya. Demokrasi yang tertutup terhadap koreksi menjadi sistem yang penuh makna tapi miskin fungsi—persis seperti politik Indonesia hari ini.
Mungkin di sinilah letak luka terdalam kita: sejak awal, demokrasi di Indonesia tidak tumbuh sebagai sistem reflektif, melainkan sebagai simbol nasionalisme moral. Ia tidak dibangun untuk menata kekuasaan, tapi untuk menenangkan nurani bangsa pasca-kolonial. Karena itu, demokrasi selalu dimaknai sebagai sopan santun politik, bukan mekanisme akuntabilitas. Sebagai etika musyawarah, bukan struktur kekuasaan yang saling mengawasi.
Kita berbicara tentang demokrasi sebagaimana kita berbicara tentang Tuhan—penuh hormat, tapi tanpa niat mencontoh. Kita memuja maknanya, tapi takut pada realitasnya. Demokrasi yang sejati menuntut keberanian untuk berbeda, untuk mengkritik, bahkan untuk melawan. Tetapi di negeri ini, perbedaan diartikan sebagai perpecahan. Kritik dianggap penghinaan. Melawan dianggap dosa sosial.
Maka, yang tumbuh bukan warga demokratis, melainkan umat politik yang menunggu petunjuk dari pemimpinnya.
Inilah yang disebut demokrasi retorika: ketika demokrasi berhenti menjadi sistem pengambilan keputusan yang terbuka, dan berubah menjadi bahasa moral untuk menutupi ketertutupan. Ketika partisipasi publik digantikan oleh polling, oposisi disulap menjadi koalisi, hukum dikendalikan oleh perintah, dan kebebasan dikelola dengan izin. Di permukaan, segalanya tampak bekerja; di dalam, semuanya tumpul.
Mereka yang duduk di tampuk kekuasaan tentu bahagia dengan kondisi ini. Demokrasi retorika memberi mereka legitimasi tanpa risiko. Mereka bisa menekan dengan senyum, mengendalikan dengan kata-kata luhur, menghapus kritik dengan pidato tentang toleransi. Publik pun ikut nyaman, karena demokrasi retorika tidak menuntut tanggung jawab, hanya kesetiaan dan kesantunan.
Namun, sistem seperti ini tidak bisa belajar. Ia mungkin bertahan lama, tapi seperti air yang menggenang, ia takkan mengalir ke mana-mana. Demokrasi yang sejati menuntut disiplin institusional: pemilu yang jujur, hukum yang otonom, oposisi yang dilindungi, dan transparansi yang memaksa. Ia membutuhkan sistem yang mampu menampung konflik tanpa pecah, mengelola perbedaan tanpa menyingkirkannya.
Yang kita miliki sekarang adalah demokrasi yang penuh kata tetapi miskin struktur. Ia seperti orkestra tanpa partitur—ramai, tapi tanpa arah. Jika kita sungguh ingin memperbaikinya, maka yang perlu diperjuangkan bukanlah penambahan makna, melainkan penguatan mekanisme. Demokrasi tidak butuh lebih banyak kata, tapi lebih banyak disiplin.
Nilai-nilai demokrasi memang penting, tetapi tanpa sistem yang menegakkannya, nilai hanya menjadi retorika yang memperindah kemandekan. Demokrasi sejati bukan tentang seberapa sering kita mengucapkannya, melainkan seberapa keras kita menahan diri untuk tidak mengkhianatinya.
Dan mungkin, pada saat itulah—ketika demokrasi berhenti menjadi kata, dan mulai menjadi kebiasaan—kita akan berhenti menjadi bangsa yang pandai berbicara tentang demokrasi, tetapi gagal hidup di dalamnya.
Cimahi 30 Oktober 2025
EDITOR: REYNA
Related Posts
 - Sufmi Dasco, Senopati Politik Prabowo Subianto (76 ): Menerima Kunjungan Abu Bakar Ba’asyir
 - Siapa Yang Gila (2)
 - Kesederhanaan dan Keteladanan Sri Sultan HB X
 - Siapa Yang Gila (1)
 - Bersumpah Pemuda Masa Kini
 - Tirak Gate: Pengamat Kebijakan Publik Ngawi, Agus Fatoni Menilai Ada Keculasan Nyata Dan Brutal Dalam Kasus Tirak
 - Soal Seleksi Perangkat Desa Tirak, Camat Kwadungan Tegaskan Akan Mengambil Langkah Sesuai Aturan
 - Oligar Hitam Harus Dipenggal Kepalanya
 - “Whoosh” Cermin Buruknya Duet Kebijakan Luhut–Jokowi
 - Woosh: Satu dari Banyak Jejak Kejahatan Ekonomi dan Konsitusi Jokowi



No Responses