Republik Sandiwara dan Pemimpin Pura-pura Gila

Republik Sandiwara dan Pemimpin Pura-pura Gila
Ilustrasi

Oleh : Sri Radjasa, M.BA
Pemerhati Intelijen

Negeri ini tampaknya semakin lihai memainkan lakon politiknya. Setiap pergantian rezim hanya mengganti pemain, bukan naskah. Para pemimpin berganti kostum dan dialog, namun arah ceritanya tetap sama, dimana kekuasaan diselubungi kepalsuan, rakyat menjadi figuran, dan negara berputar dalam lingkaran kebohongan yang dilegalkan.

Kita hidup di zaman ketika politik kehilangan substansi dan berubah menjadi tontonan. Demokrasi, yang dulu diperjuangkan dengan darah dan idealisme, kini menjelma menjadi panggung komedi hitam. Di atasnya, para elite berperan sebagai pahlawan palsu yang menjanjikan perubahan, sementara di balik layar, mereka saling menukar kepentingan, kekuasaan, dan kekayaan.

Sepuluh tahun warisan pemerintahan Jokowi meninggalkan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar infrastruktur fisik: budaya kepemimpinan yang terobsesi pada pencitraan. Ia menciptakan sistem demokrasi kosmetik yang tampak hidup, namun mati di dalam. Politik kita menjadi penuh pura-pura berupa reformasi pura-pura, anti-korupsi pura-pura, dan nasionalisme pura-pura.

Kini, setahun setelah Presiden Prabowo naik ke tampuk kekuasaan, panggung itu belum berubah. Bedanya hanya pada aktor utama. Retorika tetap berapi-api, janji tetap menggelegar, dan rakyat tetap menunggu keajaiban yang tak kunjung datang. Ia bicara tentang keberanian, tapi di lapangan, tak ada gebrakan berarti selain seremonial dan pujian untuk pendahulunya, yaitu orang yang justru menjadi simbol kegagalan sistem yang hendak ia perbaiki.

Presiden ini tampak sibuk menjaga warisan politik lama yang cacat, sambil berusaha meyakinkan rakyat bahwa semua baik-baik saja. Ia bicara tentang kemandirian, tapi ekonomi negeri ini masih terjerat utang dan ketimpangan sosial makin melebar. Menurut World Inequality Database 2024, satu persen orang terkaya di Indonesia menguasai hampir separuh kekayaan nasional. Sementara itu, Transparency International menempatkan skor korupsi Indonesia di angka 34 dari 100, nyaris stagnan selama lima tahun terakhir.

Inilah wajah republik sandiwara, dimana korupsi dianggap kebiasaan, kritik dianggap ancaman, dan kebohongan menjadi strategi komunikasi. Semua serba dikemas rapi dengan narasi “stabilitas”, “pembangunan”, dan “nasionalisme”. Sementara itu, rakyat kecil terus berjuang di lorong gelap kemiskinan, menunggu negara yang katanya hadir untuk mereka.

Di tengah absurditas ini, pernyataan “Jokowi adalah guru politik saya” dari Presiden Prabowo terdengar seperti satire sejarah. Bagaimana mungkin seorang presiden baru yang berjanji membawa perubahan justru menjadikan simbol kebijakan yang gagal sebagai panutan moral? Rakyat tak menunggu murid yang setia, mereka menunggu pemimpin yang berani berbeda.

Max Weber pernah menulis bahwa kekuasaan adalah kemampuan seseorang memaksakan kehendak meski tanpa legitimasi moral. Inilah yang kini terjadi di Indonesia. Kekuasaan dijalankan tanpa kompas etika, hanya diukur dari kemampuan mengendalikan opini publik dan mengelola pencitraan. Pemimpin yang kuat bukan lagi mereka yang berpihak pada rakyat, tapi mereka yang pandai memainkan persepsi.

Padahal, bangsa ini tidak butuh pemimpin yang pandai berakting. Indonesia membutuhkan presiden yang “gila” dalam arti sejati yaitu gila membela rakyat, gila melawan korupsi, dan gila menegakkan keadilan, meski harus melawan sistem yang menindas. Bukan presiden yang pura-pura gila demi menutupi kelemahan diri, bukan pula yang berpura-pura nekat hanya untuk menghibur kamera.

Bung Karno pernah mengingatkan, “Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah.” Tapi hari ini, sejarah seperti diolok-olok oleh mereka yang memerintah atas nama rakyat namun menindas rakyat dengan kebijakan. Mereka bicara tentang semangat kemerdekaan, tapi membiarkan rakyat kehilangan kedaulatan di negeri sendiri.

Setahun sudah rakyat menunggu tanda-tanda perubahan, namun yang muncul hanyalah pengulangan. Pengulangan dalam janji, pengulangan dalam sandiwara. Jika ini terus berlanjut, maka republik ini hanya akan menjadi teater politik paling panjang dalam sejarah Asia, yaitu teater yang tak lagi menghibur, melainkan melelahkan dan memalukan.

Rakyat kini menuntut sesuatu yang sederhana yaitu kejujuran. Bukan dalam pidato, tapi dalam kebijakan. Mereka tidak butuh presiden yang berlagak keras di depan kamera namun lembek di hadapan oligarki. Tidak butuh pemimpin yang memamerkan patriotisme dalam wacana, tapi menjual kedaulatan dalam perjanjian.

Kepemimpinan sejati bukan tentang pencitraan, melainkan tentang keberanian moral. Keberanian untuk berkata tidak pada kebohongan, meski harus sendirian. Keberanian untuk menegakkan hukum, meski mengancam kekuasaan sendiri. Dan keberanian untuk mengakui kesalahan, bukan menyembunyikannya di balik simbol dan slogan.

Bangsa ini sudah terlalu lama hidup dalam sandiwara politik. Kini saatnya panggung ditutup dan kenyataan dihadirkan. Karena republik ini tak akan selamat dengan presiden yang pura-pura gila, tetapi hanya dengan pemimpin yang benar-benar “gila” dalam keberanian memperjuangkan kebenaran.

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K