Robohnya Marwah Kampus Biru

Robohnya Marwah Kampus Biru
Muhammad Chirzin, Guru Besar UIN Sunan Kalijogo Yogyakarta

Oleh: Muhammad Chirzin

Judul tulisan ini mengingatkan pada sebuah film Indonesia tahun 1976 berjudul “Cintaku di Kampus Biru,” adaptasi dari novel dengan judul yang sama, karya Ashadi Siregar. Film ini dibintangi oleh Roy Marten, Rae Sita, dan Yati Octavia, dengan sutradara Ami Prijono.

Cerita dalam film ini berkisar pada kehidupan Anton Rorimpandey, seorang mahasiswa Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) yang tampan dan pintar, namun bukan kutu buku. Anton digambarkan sebagai mahasiswa yang terlibat dalam intrik politik kampus, termasuk perebutan posisi ketua dewan mahasiswa. Ia juga mengidolakan sosok Che Guevara, pemimpin revolusi Kuba.

Rae Sita, yang berperan sebagai Yusnita, seorang dosen yang didekati oleh Anton, menjadi sorotan dalam film ini. “Cintaku di Kampus Biru” sukses dan melambungkan nama para pemainnya, termasuk Roy Marten dan Rae Sita. Film ini juga menjadi salah satu film terlaris di Jakarta pada tahun 1976, lima puluh tahun yang lalu.

Ada kosakata runtuh, roboh, ambruk, hancur, binasa, dan bangkrut.

Kata runtuh biasanya digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang jatuh atau ambruk karena kehilangan kekuatan atau struktur, seperti bangunan atau sistem. Konotasinya netral, dan bisa digunakan dalam konteks fisik maupun abstrak. Misalnya, “sistem ekonomi runtuh”.

Kata roboh sering digunakan untuk menggambarkan bangunan atau struktur yang jatuh atau ambruk secara fisik. Konotasinya lebih kepada kerusakan fisik yang dramatis.

Kata ambruk mirip dengan “roboh”, digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang jatuh atau runtuh secara fisik, sering kali dengan penekanan pada kekuatan atau tekanan yang menyebabkan keruntuhan tersebut.

Kata hancur memiliki konotasi yang lebih kuat dan sering digunakan untuk menggambarkan kerusakan total atau penghancuran yang sangat parah, baik secara fisik maupun abstrak. Misalnya, “harapan yang hancur”.

Kata binasa memiliki konotasi yang lebih dramatis dan sering digunakan untuk menggambarkan kematian, kehancuran total, atau kerusakan yang tidak dapat diperbaiki. Konotasinya lebih serius dan final.

Kata bangkrut khusus digunakan dalam konteks ekonomi atau keuangan untuk menggambarkan perusahaan atau bisnis yang gagal membayar utangnya dan dinyatakan tidak mampu beroperasi lagi. Konotasinya lebih spesifik pada kegagalan finansial.

Marwah identik dengan beberapa konsep berikut.
Marwah sering dikaitkan dengan kehormatan, baik dalam konteks pribadi maupun institusi. Ketika seseorang atau suatu lembaga memiliki marwah, itu berarti mereka dihormati dan memiliki reputasi baik.

Marwah juga bisa dihubungkan dengan kemuliaan, yang mencakup aspek moral dan etika. Marwah mencerminkan kualitas yang mulia dan terpuji.

Marwah berkaitan erat dengan harga diri atau martabat seseorang atau lembaga. Ketika marwah seseorang atau suatu lembaga terjaga, itu menunjukkan bahwa mereka memiliki harga diri yang tinggi dan dihormati oleh orang lain.

Pamor adalah reputasi atau nama baik yang dimiliki seseorang atau sesuatu. Marwah bisa mencakup pamor, karena keduanya berkaitan dengan bagaimana seseorang atau sesuatu dilihat dan dihormati oleh publik.

Wibawa adalah kemampuan untuk mempengaruhi atau dihormati karena kualitas, kekuatan, atau posisi. Marwah bisa mencakup wibawa, karena keduanya berkaitan dengan pengaruh dan rasa hormat yang diberikan oleh orang lain.

Marwah mencakup berbagai aspek yang berkaitan dengan reputasi, kehormatan, dan harga diri, serta bagaimana seseorang atau sesuatu dilihat dan dihormati oleh orang lain.

“Robohnya Marwah Kampus Biru” mencoba menggambarkan nasib UGM dalam hiruk pikuk pro-kontra ijazah Jokowi, asli atau palsu.

Sebuah kritik terhadap UGM, yang kehilangan marwah atau reputasi karena terlibat dalam kontroversi ijazah Jokowi. Tindakan atau keputusan UGM dalam kasus ini merusak kepercayaan publik.

Kontroversi ijazah Jokowi berdampak besar terhadap reputasi UGM. Hal ini menunjukkan bahwa isu tersebut tidak hanya tentang keaslian ijazah, tetapi juga tentang bagaimana publik memandang integritas dan kredibilitas UGM.

Sebuah refleksi atas isu yang lebih besar tentang integritas akademik dan kepercayaan publik terhadap institusi pendidikan tinggi. Kasus ini bukan hanya tentang satu individu, tetapi tentang bagaimana institusi pendidikan tinggi menjaga reputasi dan integritas mereka.

Robohnya Marwah Kampus Biru adalah dampak kontroversi ijazah Jokowi terhadap UGM, dan memicu diskusi lebih dalam tentang integritas dan reputasi institusi pendidikan tinggi.

Isu ini tidak lepas dari pernyataan mantan Rektor UGM Sofian Effendi dalam podcast Rismon yang kemudian dicabut.

Pencabutan pernyataan Sofian Effendi menimbulkan pertanyaan tentang kredibilitas dan konsistensi informasi yang disampaikan yang dapat mempengaruhi kepercayaan publik terhadap UGM dan pihak-pihak yang terlibat.
Pencabutan pernyataan tersebut menunjukkan kemungkinan adanya tekanan.

Kasus ini menuntut transparansi dan akuntabilitas dalam komunikasi publik oleh tokoh-tokoh yang berpengaruh besar. Publik berhak mengetahui alasan di balik pencabutan pernyataan dan bagaimana UGM menangani isu ini ke depan.

UGM perlu melakukan investigasi menyeluruh dan memberikan klarifikasi yang memadai tentang keaslian ijazah Jokowi serta pernyataan Sofian Effendi untuk memulihkan kepercayaan publik dan menjaga reputasi institusi.

Pernyataan Sofian Effendi yang kemudian dicabut menambah kompleksitas isu ini dan memerlukan penanganan serius untuk menjaga transparansi dan kepercayaan publik.

Wakil Rektor UGM Ari Sujito berkata, “Jangan tarik UGM ke ranah politik,” padahal masyarakat luas tahu bahwa UGM telah mengambil posisi membela ijazah Jokowi. Apakah ini tidak berarti UGM sendiri yang menceburkan diri ke dalam kubangan politik?

Dengan membela ijazah Jokowi, UGM telah terlibat dalam isu politik. UGM telah mengambil posisi berpihak, dan bertentangan dengan pernyataan untuk tidak menarik UGM ke ranah politik.

Ari Sujito berupaya untuk menutup-nutupi keterlibatan UGM dalam politik. Ini mempengaruhi persepsi publik tentang independensi dan netralitas UGM dalam isu-isu yang sensitif dan politis.

Pernyataan Ari Sujito dan tindakan UGM dalam membela ijazah Jokowi menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana UGM mengelola posisinya dalam isu-isu publik dan politik, serta bagaimana menjaga citra netralitas dan independensi institusi.

Sekretaris Universitas memberikan konpers, “Prof. Sofyan disayangkan telah mengikuti pihak-pihak yang menggiringnya pada opini yang salah terhadap UGM.”

Pernyataannya itu mengandung tuduhan, dan oleh karena itu dia bisa dilaporkan kepada Polisi.

Pernyataan Sekretaris Universitas tersebut dapat diinterpretasikan sebagai tuduhan bahwa Prof. Sofyan terlibat dalam upaya merusak reputasi UGM atau telah dipengaruhi oleh pihak-pihak tertentu untuk tujuan tertentu.

Pernyataan tersebut mengandung tuduhan yang serius, karena menyiratkan bahwa Prof. Sofyan telah melakukan sesuatu yang tidak tepat atau tidak etis. Tuduhan seperti ini bisa berdampak pada reputasi dan kredibilitas Prof. Sofyan.

Untuk membuktikan tuduhan tersebut, perlu dasar dan bukti yang kuat. Jika tidak, bisa dianggap sebagai serangan reputasi atau fitnah.

Jika Prof. Sofyan merasa dirugikan oleh pernyataan tersebut dan meyakini bahwa itu adalah fitnah atau pencemaran nama baik, dia memiliki hak untuk melaporkannya kepada pihak berwajib. Pengadilan akan menentukan apakah pernyataan tersebut mengandung unsur pencemaran nama baik atau tidak.

Pernyataan Sekretaris Universitas tersebut berpotensi menjadi masalah serius.
Marwah UGM dapat benar-benar roboh.

Menepuk air di dulang, memercik ke muka sendiri.

Bermain air basah, bermain api terbakar.

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K