JAKARTA – Filsuf politik Rocky Gerung kembali melontarkan kritik pedas. Kali ini sasarannya adalah Presiden Prabowo Subianto, yang baru saja menunjuk Qudori sebagai Kepala Kantor Staf Presiden (KSP). Menurut Rocky, langkah ini menunjukkan Prabowo tidak memahami esensi demokrasi.
Alasannya sederhana: Qudori dikenal publik sebagai sosok pertama yang secara terbuka mengusulkan agar Presiden Jokowi menjabat tiga periode. Gagasan yang kala itu memicu gelombang penolakan dari masyarakat sipil, akademisi, hingga sebagian elit politik.
“Qudori itu simbol anti-demokrasi. Dia yang pertama kali melontarkan ide tiga periode untuk Jokowi. Itu kan pelecehan terhadap konstitusi. Lalu sekarang diangkat jadi Kepala KSP? Ini artinya Prabowo tidak mengerti demokrasi,” ujar Rocky dalam sebuah forum diskusi.
Qudori dan Jejak “Tiga Periode”
Nama Qudori memang sempat mencuat di tengah perdebatan soal masa jabatan presiden. Ia disebut-sebut sebagai orang yang pertama kali melempar wacana agar Jokowi bisa menjabat lebih dari dua periode.
Wacana ini kemudian melebar, masuk ke ranah publik, menimbulkan polemik tajam, dan akhirnya ditolak setelah gelombang protes muncul di berbagai daerah. Bagi sebagian kalangan, gagasan tiga periode dianggap upaya merusak fondasi demokrasi Indonesia yang dibangun dari semangat reformasi 1998.
Dengan rekam jejak itu, pengangkatan Qudori sebagai Kepala KSP menimbulkan tanda tanya besar: apakah Prabowo ingin melanjutkan gaya kekuasaan Jokowi, ataukah ia sedang menguji batas baru demokrasi?
KSP: Kantor Strategis, Bukan Sekadar Staf
Kantor Staf Presiden selama ini bukan hanya pos administratif. Di era Jokowi, KSP menjadi “ruang kendali” komunikasi politik istana. Moeldoko, yang menjabat sebelumnya, memainkan peran kunci dalam mengamankan kebijakan presiden dan mengelola relasi dengan publik.
Kini dengan Qudori, posisi itu kembali sarat makna politik. Qudori bukan sekadar staf; ia adalah figur yang mewakili gagasan perpanjangan kekuasaan. Menurut Rocky, ini pesan buruk bagi kualitas demokrasi.
“KSP itu jantung istana. Kalau jantungnya diisi orang yang pernah mengusulkan tiga periode, maka denyut demokrasi akan pincang,” ucap Rocky.
Prabowo dalam Bayang Jokowi?
Kritik Rocky juga membuka pertanyaan lebih luas: apakah penunjukan Qudori merupakan keputusan murni Prabowo, atau bagian dari kompromi politik dengan Jokowi?
Sejumlah pengamat menilai, penempatan Qudori bisa dibaca sebagai bentuk penjagaan warisan Jokowi. Dengan Gibran duduk sebagai wakil presiden, dan Qudori di KSP, ada sinyal kuat bahwa Jokowi masih ingin menancapkan pengaruhnya dalam pemerintahan baru.
Bagi Rocky, hal ini justru menambah kekhawatiran. “Demokrasi itu harusnya memberi ruang baru, bukan memperpanjang bayang-bayang lama. Kalau orang tiga periode diberi ruang, itu artinya kita kembali ke mentalitas otoriter,” kritiknya.
Ujian Awal Demokrasi di Era Prabowo
Pernyataan Rocky memunculkan dilema besar bagi pemerintahan Prabowo. Di satu sisi, ia butuh stabilitas politik di masa transisi. Mengakomodasi orang-orang dekat Jokowi bisa menjadi jalan aman. Di sisi lain, penunjukan figur yang berseberangan dengan semangat demokrasi bisa mencederai legitimasi.
Pertanyaan yang muncul kini: apakah Prabowo akan menggunakan Qudori sekadar sebagai “penjaga komunikasi istana”, ataukah ia akan memberinya peran lebih luas dalam mengatur arah kebijakan?
Jika skenario kedua yang terjadi, kritik Rocky bisa menjadi kenyataan: demokrasi Indonesia akan kembali mundur, dan bayang-bayang otoritarianisme kian nyata.
Akhir yang Terbuka
Rocky Gerung memang sering melontarkan kritik tajam, bahkan kontroversial. Namun kali ini, pernyataannya menyentuh isu fundamental: demokrasi dan konstitusi.
Pengangkatan Qudori menjadi Kepala KSP adalah keputusan politik yang tidak bisa dilepaskan dari simbol dan pesan. Apakah Prabowo benar-benar tidak memahami demokrasi, atau justru sedang memainkan strategi kompromi kekuasaan?
Jawabannya akan terlihat dari bagaimana pemerintahan ini berjalan. Satu hal yang pasti, publik kini lebih waspada: setiap langkah istana tak lagi hanya soal kebijakan, tapi juga soal arah masa depan demokrasi Indonesia.
EDITOR: REYNA
Related Posts

PBB meluncurkan proses formal untuk memilih sekretaris jenderal berikutnya

Kecerdasan Spiritual Fondasi Kebahagiaan

Kubu Jokowi TawarkanMediasi Kepada Roy cs

Bukan Sekadar Layar: Kehadiran yang Membentuk Hati Anak

TNI AL Amankan Dua Kapal Pengangkut Nikel Ilegal di Perairan Morowali–Konut

Gelar Pahlawan Nasional Untuk Pak Harto (8) : Penghargaan Dunia Dan Jejak Diplomasi Global Indonesia

Apa Mungkin Selama Ini Negara Tidak Tahu?

Buntut Pemusnahan Dokumen, Taufiq Ancam Laporkan Semua Komisioner KPU Surakarta

Kasus Lapangan Terbang Morowali Hanya Kasus Kecil

Habib Umar Alhamid Ingatkan Jangan Ada UU dan Kebijakan “Banci” di Pemerintahan Prabowo



No Responses