JAKARTA – Meskipun kurs rupiah sempat menguat ke sekitar Rp 15.150 per dolar AS, gambaran ekonomi di tingkat publik menunjukkan kontras yang tajam: kebutuhan pokok seperti beras dan cabe justru merangkak naik sampai double-digit dalam beberapa bulan terakhir. Musim kemarau berkepanjangan, kenaikan tarif logistik serta lonjakan biaya distribusi menjadi salah satu penyebab utama inflasi pangan yang tiba-tiba. Statistik menunjukkan kenaikan harga beras dan cabe di kisaran 10-12% dalam sebulan saja.
Pemerintah memberikan respons melalui operasi pasar dan subsidi pangan terbatas, namun para pengamat menilai bahwa solusi tersebut masih bersifat temporer dan terkesan tambal-sulam. Di sisi lain, sektor industri manufaktur mulai menunjukkan tanda-tanda kebangkitan, terutama lewat perolehan kontrak ekspor ke Timur Tengah. Hal ini memberikan secercah harapan bahwa ekonomi bisa bergeser dari konsumsi domestik ke orientasi ekspor dan industri bernilai tambah.
Ekonom senior mengingatkan bahwa 2026 akan menjadi tahun ujian bagi stabilitas harga domestik. Faktor-faktor seperti kenaikan ongkos logistik, keterbatasan suplai bahan pangan dalam negeri, dan nilai tukar yang fluktuatif menjadi kombinasi yang rawan. Di kalangan konsumen, optimisme mulai memudar — kepercayaan terhadap daya beli turun, sementara kerentanan terhadap dampak eksternal semakin terasa.
Selain itu, sektor teknologi dan digital menunjukkan potensi penggerak baru ekonomi. Pemerintah menyebut bahwa sekitar 70% pekerjaan pada 2030 akan membutuhkan kemampuan di bidang AI dan IoT, sehingga pengembangan sumber daya manusia menjadi salah satu agenda prioritas.
Dengan demikian, fenomena ekonomi dua wajah ini — sisi makro yang tampak menguat dan sisi mikro yang terasa berat di rakyat — menjadi tantangan serius. Perlu kebijakan holistik: memperkuat sektor manufaktur dan ekspor, memperbaiki rantai distribusi pangan, menjaga stabilitas nilai tukar, serta mempercepat transformasi digital tenaga kerja.
Untuk pemerintah, momentum ini adalah peluang sekaligus peringatan. Bila mampu merespons secara tepat, ekonomi Indonesia bisa keluar dari perangkap pertumbuhan yang didominasi konsumsi dan bahan mentah. Tetapi bila hanya mengandalkan stimulus sementara tanpa menyentuh akar penyebab, maka risiko stagnasi atau bahkan regresi akan semakin nyata.
EDITOR: REYNA
Related Posts

Puisi Kholik Anhar: Benih Illahi

Kepala Sekolah SMA Negeri 1 Patianrowo Nganjuk dan Komite Diduga Lakukan Pungli, Terancam Dilaporkan ke Polres Nganjuk

Aksi Selamatkan Hiu: Pemuda Banyuwangi Kembangkan Aplikasi Berbasis Kecerdasan Buatan untuk Identifikasi Spesies Hiu Secara Akurat

Pemilu Amerika 2025: Duel Sengit AI vs Etika di Panggung Politik Dunia

Jakarta 2030: Ketika Laut Sudah di Depan Pintu

Dari Wayang ke Metaverse: Seniman Muda Bawa Budaya Jawa ke Dunia Virtual

Operasi Senyap Komisi Pemberantasan Korupsi: Tangkap Tangan Kepala Daerah dan Pejabat BUMD dalam Proyek Air Bersih

Koalisi Retak di Tengah Jalan: Sinyal Panas dari Istana Menjelang Reshuffle Kabinet

Air minum di Teheran bisa kering dalam dua minggu, kata pejabat Iran

Perintah Menyerang Atas Dasar Agama

	
No Responses