Oleh: Daniel Mohammad Rosyid
@Dept. Teknik Kelautan ITS
Saat kampus sibuk meningkatkan peringkatnya dalam lomba menjadi world-class university, ada baiknya kita mempertimbangkan kembali keranjingan mutu berbasis standard (Barat) ini. Beberapa kampus terkenal di Barat bahkan mulai meninggalkan obsesi ini, tapi kita di negara berkembang masih saja terjebak dalam neo-cortex war ini padahal sudah kalah terus-menerus.
Salah satu konsekuensi merusak perangkingan adalah penyeragaman, padahal keberagaman adalah sunnatullah. Sistem yang sehat selalu tersusun dari beberapa komponen yang saling melengkapi untuk mencapai satu tujuan: mencapai fitness for purpose sustainably.
Dalam kondisi yang wajar, semakin kompleks sistem, purposes itu selalu majemuk. Dalam lingkungan dengan daya dukung terbatas, sistem akan segera berevolusi mencapai Pareto Frontier : peningkatan dalam satu purpose harus mengorbankan purpose yang lain. Misalnya memperbesar kapasitas pendidikan S1 akan mengorbankan mutu penelitian, pengabdian masyarakat dan pendidikan pasca-sarjana.
Metodologi pemeringkatan ini sering keliru mengukur elemen-elemen penting, terutama biaya kuliah per mahasiswa yang bisa sangat jomplang. Akibatnya, perbandingan antar-kampus itu bukan apple-to-apple comparison. Di samping itu, membandingkan 2 kampus secara berpasangan dengan banyak kriteria saja sulit konsisten, apalagi membandingkan ratusan apalagi ribuah kampus di dunia. Bisa dijamin bahwa praktek perankingan ini tidak konsisten sehingga hasilnya tidak layak digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan stratejik.
Salah satu korban penyeragaman akibat keranjingan mutu berbasis standard ini adalah relevansi personal, temporal dan spasial. Setiap mahasiswa dengan latar belakang yang berbeda walau dalam satu departemen adalah subyek yang unik. Pembagian kampus menjadi beberapa departemen dengan batasan-batasan yang kaku tidak lagi sesuai dengan tuntutan lintas, multi, dan antar-disiplin untuk menghadapi dunia yang makin volatile, uncertain, complex and ambiguous.
Sementara itu potensi-potensi agromaritim yang melimpah juga terlantar karena standard perangkingan itu dipijakkan pada ekosistem yang berbeda dengan ekosistem tropis kepulauan yang khas Nusantara ini. Akibatnya kita nyaris mengalami krisis pangan. Sektor pertanian dan perikanan mengalami devolusi serius, semantara kawasan-kawasan agormaritim mengalami brain-draining serius dimana anak-anak muda meninggalkannya.
Dalam sistem pendidikan kita yang dipijakkan pada nilai-nilai dasar dalam UUD 18/8/1945, yang perlu didorong ke depan adalah kolaborasi atau gotong-royong, bukan kompetisi antar-institusi pendidikan sehingga sistem pendidikan nasional berevolusi menjadi sistem perluasan kesempatan belajar untuk merdeka, bukan sekedar penyedia buruh yang cukup trampil untuk menjalankan mesin-mesin sekaligus cukup dungu untuk setia bekerja apalagi bagi investor asing.
Saat ini kegagalan pendidikan menengah untuk menyiapkan warga muda yang kompeten, sehat dan produktif pada usia 18 tahun telah menyebabkan kebutuhan semu pendidikan tinggi. Pada saat banyak lulusan kampus menganggur, ITS (Institut Teknologi Sepuluh Nopember) perlu mengambil sikap yang lebih tegas untuk menjadi kampus technopreneur, bukan sekedar pabrik ijazah asli yang memberi impian palsu.
Sukolilo, Surabaya. 9/11/2025
EDITOR: REYNA
Related Posts

Novel “Imperium Tiga Samudra” (10) – Perang Para Dewa

Jejak Dua Tokoh Nasional di Era SBY, Diduga Menitip MRC ke Mantan Dirut Pertamina

Mikul Duwur Mendem Jero

Novel “Imperium Tiga Samudra” (9) – Prometheus

Negeri Yang Menukar Laut Dengan Janji dan Rel Dengan Ketergantungan

Misteri Kebahagiaan

Masa Depan ITS

Novel Imperium Tiga Samudra (8) – Horizon 3

Presiden Pasang Badan Untuk Jakowi Dan Luhud B. Panjaitan

Saya Muslim..



No Responses