Oleh: M. Isa Ansori
Kolumnis dan Akademisi, Tinggal di Surabaya
Babak baru hubungan Prabowo dan Jokowi mulai mengalami dinamika. Hal ini terlihat dengan manufer – manufer Jokowi berkeliling kebeberapa tokoh Dan kunjungan ke aktivitas aktivitas publik. Apa yang dilakukan oleh Jokowi, terlihat seolah beliau masih menjabat sebagai presiden. Tindakan yang tentu menjadi pertanyaan publik karena seolah Prabowo melakukan pembiaran dan seolah Prabowo adalah kepanjangan Jokowi tiga periode. Terakhir Jokowi bertemu dengan Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Namun belum terlihat keberaniannya untuk bertemu Megawati. apakah ini sebuah startegi bertahan atau menggalang kekuatan ? Lalu Jokowi sedang bekerja untuk siapa ?
Hubungan antara Prabowo Subianto dan Joko Widodo yang awalnya terlihat harmonis kini semakin menunjukkan keretakan. Hal ini terlihat dari pernyataan Prabowo yang juga terkesan mencari jalan aman. Pada persoalan IKN, Prabowo menegaskan akan menempati di tahun 2028 dengan alasan melengkapi infrastruktur yang ada, disisi yang lain beliau akan melindungi Gibran, ibarat sebagai seorang anak yang sedang dilatih dan dipersiapkan. Dinamika didalam koalisi pun terlihat sangat cepat. Tidak ditahannya Hasto paska pemeriksaan KPK juga menjadi sinyal, bahwa ada perbedaan kepentingan antara Prabowo dan Jokowi.
Setelah koalisi solid yang mereka bangun dalam pemerintahan, tanda-tanda perbedaan visi dan kepentingan mulai mengemuka. Di satu sisi, PDIP yang dipimpin Megawati Soekarnoputri mengirimkan pesan diplomatis bahwa hubungan antara dirinya dan Prabowo baik-baik saja. Bahkan, PDIP secara terang-terangan menyatakan dukungan kepada pemerintahan Prabowo di masa depan. Namun, narasi ini mengandung ironi, sebab dukungan PDIP tak lepas dari manuver politik untuk menjaga eksistensi Megawati dan partainya di panggung kekuasaan.
Di sisi lain, Jokowi yang selama dua periode menjadi simbol kekuasaan besar di Indonesia tampak cemas akan kehilangan pengaruhnya pasca-kepemimpinan. Posisi Gibran Rakabuming Raka, anak sulung Jokowi, yang digadang-gadang sebagai pewaris politik keluarga, menjadi salah satu beban besar yang harus ditanggung Prabowo. Dalam konteks ini, Jokowi tidak hanya berusaha mempertahankan dinastinya, tetapi juga menggunakan semua sumber daya politik untuk memastikan masa depan Gibran. Disinilah kemudian publik menduga manufer Jokowi seolah masih menjadi presiden adalah bekerja untuk mempersiapkan Gibran, apalagi paska keputusan MK menghapus Parlementiary Treshold, peluang Gibran akan semakin sulit, sehingga dibutuhkan nergi besar untuk menolongnya. Ini tentu tidak mudah dan tidak ringan bagi masa depan Prabowo. Prabowo harus tetap menjaga hubungan baiknya, namun Prabowo juga tak ingin perlawanan PDIP semakin mengeras. Karena saat ini semakin terlihat PDIP beroposisi terhadap Jokowi dan Gibran serta kroninya, bukan terhadap Prabowo. Pernyataan Puan kepada Megawati menjadi penegas kalau Prabowo ingin bertemu Megawati.
Namun, pertanyaannya adalah, seberapa jauh Prabowo mampu memikul beban politik yang diwariskan Jokowi? Popularitas Prabowo memang tinggi, tetapi ia dihadapkan pada dua tantangan besar: menjaga independensinya dari bayang-bayang Jokowi dan membangun kepercayaan terhadap kepemimpinannya tanpa harus tunduk pada agenda oligarki yang selama ini membayangi Jokowi.
Jika Prabowo memilih untuk menjaga hubungan baik dengan Jokowi demi stabilitas politik, ia berisiko kehilangan kepercayaan rakyat yang mendambakan perubahan setelah satu dekade pemerintahan Jokowi. Namun, jika ia mengambil jarak dari Jokowi dan mencoba menyeimbangkan relasinya dengan PDIP, Prabowo menghadapi risiko konflik baru yang dapat memecah koalisinya.
Posisi Gibran semakin dilematis. Di satu sisi, ia diuntungkan oleh upaya Jokowi yang terus mendorong karier politiknya. Namun di sisi lain, keberadaannya justru menjadi simbol dari politik dinasti yang semakin ditolak publik. Apabila Prabowo terlampau bergantung pada dukungan Jokowi dan mengakomodasi Gibran secara berlebihan, ia berpotensi kehilangan daya tarik sebagai pemimpin yang independen dan tegas.
Di tengah situasi ini, PDIP dengan cerdas memainkan peran sebagai sekutu strategis. Dukungan kepada Prabowo, meski bersifat simbolis, memberikan kesan bahwa PDIP siap bersimbiosis mutualisme dengan Prabowo untuk melindungi kepentingan partai sekaligus Megawati. Namun, dukungan ini juga dapat menjadi pisau bermata dua yang menyulitkan Prabowo, karena ia harus terus menjaga keseimbangan antara loyalitas kepada Jokowi, hubungan baik dengan PDIP, dan mandat rakyat yang menginginkan perubahan.
Pada akhirnya, pertanyaan besar yang muncul adalah: sanggupkah Prabowo memikul beban Jokowi? Mampukah ia menjadi pemimpin yang mengatasi beban warisan masa lalu dan bergerak maju demi kepentingan rakyat? Ataukah ia justru akan terjebak dalam pusaran konflik kepentingan yang semakin memperlemah posisinya? Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan masa depan politik Indonesia, termasuk posisi Jokowi, Gibran, dan PDIP dalam peta kekuasaan yang terus berubah.
Surabaya, 16 Januari 2025
EDITOR: REYNA
Related Posts

Ach. Sayuti: Soeharto Layak Sebagai Pahlawan Nasional Berkat Jasa Besarnya Dalam Fondasi Pembangunan Bangsa

SPPG POLRI Lebih Baik Dibanding Yang Lain Sehingga Diminati Sekolah

Pak Harto Diantara Fakta Dan Fitnah

Surat Rahasia Bank Dunia: “Indonesia Dilarang Membangun Kilang Minyak Sendiri”

Mantan Dirut Pertamina Karen Agustiawan Mengaku Ditekan 2 Tokoh (PY) dan (HR) Untuk Memperhatikan Perusahaan Riza Chalid

Prabowo Melawan Akal Sehat atas Dugaan Ijazah Palsu Jokowi dan Kereta Cepat Whoosh

Pangan, Energi dan Air

Penasehat Hukum RRT: Penetapan Tersangka Klien Kami Adalah Perkara Politik Dalam Rangka Melindungi Mantan Presiden Dan Wakil Presiden Incumbent

Negeri di Bawah Bayang Ijazah: Ketika Keadilan Diperintah Dari Bayangan Kekuasaan

NKRI Sesungguhnya Telah Bubar



No Responses