Seabad Menjadi Inspirasi

Seabad Menjadi Inspirasi
Butet Kartaredjasa, seniman

Oleh:  Butet Kartaredjasa, seniman

Tahun ini Yangti, eyang putri, Meriyati Hoegeng, mencapai 100 tahun usianya. Satu abad. Bukan angka sembarangan. Tidak semua orang bisa mencapainya. Dan selama seabad itu pula Bu Mery menjadi inspirasi keteladanan perempuan Indonesia. Dan (seharusnya) menjadi cermin, menjadi role model, para bhayangkari istri-istri polisi hari ini. Tapi masalahnya, apa para perempuan bhayangkari punya stamina dan daya tahan atas godaan duniawi bernama hedonisme dan keserakahan? Apakah mereka rela dan ikhlas untuk tidak tergiur mengintervensi kekuasaan suaminya yang punya bintang di pundaknya?

​Yangti membuktikan istri polisi yang kuat dan tabah godaan. Saya kira ini simpul penting perjalanan hidup Ibu Meriyati, istri almarhum Pak Hoegeng. Semua sudah tahu Jendral Hoegeng, mantan Kapolri, adalah ikon polisi jujur. Yang tegak lurus dalam pengabdiannya. Sebagai penegak hukum dia pantang melanggar hukum. Dan selalu menghalau kemungkinan rongrongan dari keluarga intinya: anak, istri, famili dan teman dekat. Dari putra dan cucunya saya banyak mendapat cerita betapa Bu Meri “terpaksa” mrngalah membangun kemandiriannya. Terkurung hidupnya, justru lantaran dia isteri seorang pejabat tinggi.

Tahun 1960 tatkala Pak Hoegeng menduduki jabatan Kepala Djawatan Imigrasi RI (sekarang : Dirjen Imigrasi) Bu Mery diminta menutup Toko Bunga Leilani. Padahal melalui toko bunga itu niat Bu Meri hanya melakukan bisnis kecil-kecilan. Sebuah keinginan sederhana mempunyai sumber ekonomi pribadi supaya tidak mengganggu suaminya, Pak Hoegeng malah melarang keras. Kenapa? Dalam pandangan Pak Hoegeng, praktik bisnis istri pejabat tinggi bisa menjadi pintu masuk datangnya suap, sogokan, setoran dan sebangsanya. Ini menjadi bibit korupsi, diam-diam akan menjadi prolog penyalahgunaan wewenang yang skalanya akan membesar.

Orang bisa memborong bunga jualannya saban hari. Dan membayar dengan harga lebih mahal dari harga resminya. Atau seraya membeli bunga mereka akan menghadiahi cincin berlian, arloji mewah, mobil terbaru atau kemewahan lainnya. Orang yang bermasalah dengan keimigrasian dengan mudah menanam piutang jasa melalui bisnis yang dikelola istri pejabat itu. Ibaratnya, Pak Hoegeng seperti membangun tembok tebal. Membatasi ruang gerak Bu Mery. Apalagi ketika Jendral Hoegeng bertengger di posisi tertinggi institusi kepolisian sebagai Kapolri. Benteng itu laksana dilapisi baja.

Luluh dan Mencair
Jika Anda seorang perempuan, yang pada hakekatnya punya hak berprestasi dan punya kesadaran membangun kemandiriannya sebagaimana lawan jenisnya, tentu akan merasakan betapa ia terdiskriminasi. Para perempuan bisa mengutuk hal ini sebagai praktik kuasa patriarkis. Ketidakadilan gender. Bu Mery hanya diperlakukan sebagai kanca wingking, mengurus soal-soal domestik saja.

Bahkan konon ketika Bu Mery akan memenuhi undangan ayah kandungnya ke Holland – ayah Bu Mery adalah pemain kriket di era Kolonial Belanda – yang 30 tahun tak saling jumpa, konon Pak Hoegeng tidak mengijinkan keberangkatannya. Larangan ini sebenarnya tidak beralasan kuat. Mery sama sekali tidak memanfaatkan fasilitas negara. Tiket keberangkatan dan pulangnya sudah dibelikan adik-adiknya di Belanda. Tapi Pak Hoegeng tak ingin menjadi korban fitnah. Akan muncul prasangka negatif, istri Kapolri sedang traveling memakai uang negara. Emang berapa sih gaji Kapolri? Rakyat bisa mengkalkulasi ongkos penerbangan yang tidak murah, lalu berapa biaya hidupnya di Belanda.

Bila kita terbiasa merasakan rasane liyan, mengimajinasikan perasaan Bu Mery saat itu, kita pasti ingin membantah. Melawan perlakuan “semena-mena” pasangan hidup kita. Kategorinya ini sejenis suami yang nyebelin. Tapi Bu Mery tidak melakukan. Meski barangkali kecewa dan perang batin, Bu Mery tetap tunduk, patuh dan ikhlas mengawal dan menjaga martabat suaminya yang bintang empat jenderal polisi. Dia seperti ingin membuktikan pameo klasik “dibalik lelaki hebat ada perempuan kuat di belakangnya”. Bu Mery menjadikan pameo itu bukan angin kosong menghantam udara. Melainkan dia menjelmakan menjadi tindakan perilaku yang memang seharusnya yang dilakukan istri polisi.

Tentu kesetiaan dan kepatuhan seperti ini tidak melalui proses yang instan. Bu Mery pasti sangat mengenali lekuk-liku jiwa Pak Hoegeng yang dikenalnya semenjak 1945, saat ia sebagai relawati PMI yang turut terjun di medan perjuangan. Konon Mery pertama kali mengenal pria Pekalongan yang kelak menjadi suaminya itu di sebuah drama radio di Radio Aldo & RRI Nusantara II Yogya memainkan lakon “Saijah Adinda” karya Max Havelar, atas permintaan langsung Bung Karno.

Sejak itulah pasangan yang sama-sama penggemar seni musik dan seni lukis ini saling belajar memahami watak masing-masing. Saling mengenali jeroannya. Saling membangun orkestrasi sebagai investasi cinta yang sejati. Sehingga setiap fatwa berupa larangan suaminya yang berpangkat tinggi, dihati Bu Mery bisa luluh dan mencair. Menjadi lumer dan menciptakan harmoni kehidupan yang menyatu dan selaras. Ibaratnya seperti gitar dengan senarnya, api dengan asapnya, sendok dengan garpunya.

Menyunggi Kehormatan
Sejarah pun mencatat ketika secara politik Pak Hoegeng dikucilkan rezim Orde Baru sehingga hak-hak perdatanya selalu diusik penguasa, Bu Mery tidak ‘tinggal glanggang colong playu’, tidak kabur meninggalkan tugas dan kewajibannya sebagai istri. Dalam getirnya hidup mereka tetap dengan cerdik mengubah musibah menjadi berkah. Menciptakan kegembiraan bermain Hawaiian Seniors, Irama Lautan Teduh, di TVRI. Pak Hoegeng memetik ukulele dan Bu Mery sebagai vokalis. Gelombang boleh pasang surut. Tapi martabat dan kehormatan mereka berdua harus tetap disunggi pada puncak tertinggi sampai Pak Hoegeng berpulang di 2004, dan Bu Mery mencapai seabad usianya.

Keikhlasan, kemauan dan kemampuan mengerem keserakahan yang menjiwai Bu Mery bisa dibilang sangat sulit dan langka. Hari ini keikhlasan kayak begini barangkali akan dilihat sebagai keganjilan. Terasa aneh bisa terjadi di sebuah negeri dimana korupsi sudah menjadi peristiwa sehar-hari. Sejumlah oknum penegak hukum – polisi, jaksa, hakim, pengacara – ber-kongkalikong merendahkan derajat kemanusiaan dengan mengikhlaskan diri dikerangkeng dalam bui.

Sebuah fakta yang bikin arwah Pak Hoegeng meneteskan air mata. Kombinasi keteguhan dan keikhlasan Hoegeng-Mery, menurut saya merupakan kemewahan yang mahalnya tiada tara. Sebuah inspirasi yang mencerahkan bagi bangsa kita hari ini.

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K