Sebuah Kereta, Cepat Korupsinya

Sebuah Kereta, Cepat Korupsinya
Luhut Binsar Pandjaitan dan Mantan Presiden RI Joko Widodo di depan Kereta Cepat. (Foto: KAI)

Oleh: Yusuf Blegur

Seperti pada kebanyakan proyek infrastruktur, apapun program dan pembangunan di republik ini, selalu membonceng perangai konspirasi, manipulasi dan korupsi. Ada uang besar untuk segelintir orang dari elit kekuasaan, yang tersisa buat rakyat hanya utang, rente dan beban pajak selangit

Tak ada kata-kata yang paling bijak, rasional dan faktual menggambarkan Whoose sebagai kereta cepat di Indonesia, selain rangkaian utang, korupsi dan konspirasi yang menyelimutinya.

Proyek mercusuar yang ambisius berlabel Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) itu, layak disebut proyek gegabah, mubazir dan lebih memprihatinkan lagi dipenuhi manipulasi dan korupsi.

Selain tidak ada perencanaan yang matang dan tidak berbasis skala prioritas, KCJB dalam pembangunannya banyak masalah termasuk konsep yang berubah-ubah, molor waktu pelaksanaannya, hingga pembiayaan dan utang yang membengkak.

Penyimpangan signifikan keberadaan proyek kereta Whoose, bisa dilihat dari bergesernya konsep businnes to businnes (B2B) menjadi businnes to government (B2G) yang berimplikasi pada penggunaan APBN, kerugian 4,1 triliun pertahun, hingga manfaatnya tidak bisa dirasakan secara maksimal, efisien dan efektif oleh masyarakat luas.

Terlebih jika dikomparasi dengan program kereta cepat yang ada di negara lain seperti Saudi Arabia yang hanya menggelontorkan dana sekitar 112 triliun untuk jarak tempuh sekitar 1500 km.

Bandingkan dengan Whoosh yang menelan biaya mencapai 113 triliun dan membengkak hingga 19,96 triliun dengan bunga utang 2% hanya untuk jangkauan 142 KM. Bahkan sebelumnya Jepang menawarkan hanya membutuhkan investasi 40 tahun sebesar kurang lebih 97 triliun dengan bunga 0,1% untuk KCJB.

Whoose menjadi proyek serampangan, membabi-buta dan menghasilkan segala cara untuk kepentingan dan keserakahan orang-orang dan kempok tertentu yang berakibat kerugian besar negara dan beban derita rakyat yang menghimpit.

Banyak kalangan menilai kereta cepat menjadi tidak mendesak di tengah kondisi sosial ekonomi sebagian rakyat Indonesia didera kemiskinan dan kebodohan. Salah satunya Ignatius Jonan mantan menteri perhubungan yang berhasil dan sukses menata sistem dan infrastruktur kereta api di Indonesia. Bukan hanya dari efisiensi pembiayaan, namun efektifitas dan manfaatnya dirasakan juga ga tidak maksimal dan bahkan tidak relevan untuk kepentingan rakyat.

Whoose (hus) namanya, seperti diambil dari sebuah ungkapan bunyi yang sekelebat dan kencang, sesuatu yang nyaris tak tak terdengar dan terlihat. Seperti itulah penamaan KCJB yang menuai kritik pedas dan gugatan publik sekaligus keprihatinan nasional.

Sejatinya, Whoose merupakan kereta api yang menyala dari semangat halusinasi menggandeng ambisi bertubi-tubi dan hasrat legasi yang tak tahu diri mengorbankan negeri.

Whoose pada akhirnya hanya menyandang nama kereta cepat yang berdampak utang, pajak dan eksploitasi keuangan negara yang membuat rakyat semakin depresi.

Whoose, cepat manipulasinya. Cepat korupsinya. Cepat konspirasinya. Saking cepatnya, tak terlihat dan tak terdengar lagi, siapa yang harus dan paling bertanggungjawab.

Bekasi Kota Patriot, 10 Jumadil Awal 1447 H/1 November 2025.

 

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K