Sejarah bagaimana UANG kita yang dulunya adalah emas

Sejarah bagaimana UANG kita yang dulunya adalah emas

Oleh: Soegianto
Fakultas Sain dan Teknologi UNAIR

Sejarah Awal Penggunaan Emas sebagai Dasar Uang di Bank Inggris

Penggunaan emas sebagai dasar uang dimulai pada abad ke-17, ketika Bank of England didirikan pada tahun 1694. Bank Inggris mulai menggunakan emas sebagai cadangan untuk mendukung penerbitan uang kertas, yang dikenal sebagai Gold Standard atau standar emas. Pada masa itu, emas dianggap sebagai tolok ukur utama untuk menilai nilai uang, di mana setiap uang kertas yang diterbitkan dapat ditukarkan dengan emas dalam jumlah tertentu. Standar emas ini memberikan stabilitas terhadap nilai mata uang dan mengurangi risiko inflasi karena suplai uang kertas terkait langsung dengan cadangan emas.

Penggunaan Standar Emas di Era Modern

Pada abad ke-19, penggunaan standar emas semakin meluas ke negara-negara lain, termasuk Prancis, Jerman, dan Amerika Serikat. Di bawah sistem ini, setiap negara yang menggunakan standar emas harus menjaga cadangan emas untuk menstabilkan mata uang mereka. Dengan standar ini, negara-negara menjaga nilai tukar yang tetap antar satu sama lain, karena nilai tukar mata uang dihubungkan dengan emas. Hal ini memberikan stabilitas ekonomi internasional, terutama selama periode perdagangan global yang intensif di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.

Selama periode ini, sistem keuangan global bergantung pada kepercayaan pada kemampuan negara untuk mempertahankan cadangan emas yang cukup. Namun, ada batasan yang signifikan, terutama ketika terjadi krisis keuangan atau peperangan, di mana negara sering kali mengalami kesulitan mempertahankan cadangan emas mereka.

Puncak system Keuangan dunia

Ketika dunia menggunakan emas sebagai dasar keuangan melalui sistem Gold Standard, stabilitas ekonomi dan moneter mencapai puncaknya. Pada masa itu, setiap mata uang yang beredar memiliki dukungan fisik berupa cadangan emas yang setara. Ini berarti bahwa setiap uang kertas yang dikeluarkan oleh bank sentral dapat ditukarkan dengan emas dalam jumlah tertentu. Kondisi ini menciptakan kepercayaan tinggi di antara masyarakat dan pelaku pasar, karena mereka tahu bahwa nilai mata uang didukung oleh logam mulia yang langka dan berharga.

Stabilitas ini tercermin dalam beberapa aspek penting. Pertama, inflasi dapat ditekan dengan efektif karena suplai uang kertas bergantung langsung pada jumlah emas yang dimiliki oleh suatu negara. Pemerintah tidak dapat sembarangan mencetak uang tanpa batas karena harus memiliki cadangan emas yang cukup untuk mendukungnya. Akibatnya, kenaikan harga-harga barang dan jasa dapat dikendalikan, sehingga daya beli masyarakat tetap terjaga.

Kedua, nilai tukar antar negara yang menggunakan standar emas menjadi relatif stabil. Karena semua mata uang dihubungkan dengan emas, nilai tukar antar mata uang juga menjadi lebih tetap. Hal ini memudahkan perdagangan internasional, karena risiko fluktuasi nilai tukar yang besar dapat diminimalisir. Para pedagang dan investor dapat melakukan transaksi lintas negara dengan keyakinan lebih besar bahwa nilai tukar tidak akan bergejolak secara drastis dari waktu ke waktu.

Ketiga, standar emas mendorong disiplin fiskal dan moneter. Pemerintah diharuskan mengelola anggaran dengan bijaksana, karena tidak bisa berutang atau mencetak uang seenaknya. Mereka harus memastikan bahwa cadangan emas mereka cukup untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan kebutuhan negara. Ini berarti pengeluaran pemerintah dan kebijakan moneter cenderung lebih konservatif dan berhati-hati, menghindari kebijakan yang dapat merusak keseimbangan ekonomi.

Mulai Berakhirnya Penggunaan Standar Emas

Meskipun standar emas memberikan stabilitas yang luar biasa, sistem ini juga memiliki keterbatasan. Ketika terjadi krisis atau peperangan, kebutuhan akan likuiditas meningkat dan negara-negara sering kali mengalami kesulitan dalam mempertahankan cadangan emas mereka. Meskipun demikian, selama beberapa dekade, standar emas berperan penting dalam menjaga stabilitas ekonomi dunia, menciptakan periode di mana kepercayaan terhadap mata uang dan perdagangan internasional berada pada titik tertinggi.

Pada awal abad ke-20, terutama setelah Perang Dunia I, banyak negara mulai meninggalkan standar emas karena tidak lagi efektif menjaga stabilitas ekonomi di tengah krisis global. Krisis ekonomi pada tahun 1930-an, yang dikenal sebagai Great Depression, juga memicu banyak negara untuk meninggalkan standar emas, termasuk Amerika Serikat. Meski demikian, emas masih tetap menjadi bagian dari sistem moneter hingga paruh kedua abad ke-20.

Pada tahun 1944, perjanjian Bretton Woods menandai perubahan penting dalam sistem keuangan internasional. Dalam sistem Bretton Woods, dolar AS diikat dengan emas, sementara mata uang negara lain diikat ke dolar. Ini memberikan peran sentral bagi dolar dalam sistem moneter global. Namun, sistem ini mulai runtuh pada akhir 1960-an karena meningkatnya defisit anggaran dan biaya perang Vietnam di Amerika Serikat.

Puncak dari runtuhnya standar emas terjadi pada 15 Agustus 1971, ketika Presiden AS Richard Nixon mengumumkan kebijakan yang dikenal sebagai Nixon Shock, yaitu penghentian konvertibilitas dolar AS menjadi emas. Ini menandai akhir dari era standar emas secara global, dan sejak saat itu, dunia beralih ke sistem uang fiat, di mana nilai mata uang tidak lagi didukung oleh cadangan emas, tetapi ditentukan oleh kepercayaan masyarakat pada pemerintah yang menerbitkan mata uang tersebut.

Emas dan Inflasi

Inflasi uang fiat terjadi karena sifatnya yang tidak memiliki dukungan dari aset fisik seperti emas. Uang fiat hanya bernilai berdasarkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah yang menerbitkannya. Pemerintah dan bank sentral memiliki kendali penuh atas pencetakan dan distribusi uang fiat, yang memungkinkan mereka mencetak uang baru tanpa batas sesuai kebutuhan ekonomi atau kebijakan tertentu.

Ketika jumlah uang beredar meningkat secara drastis, tanpa diiringi oleh peningkatan jumlah barang dan jasa yang tersedia, nilai uang tersebut akan menurun. Ini menyebabkan inflasi, yaitu peningkatan harga barang dan jasa secara umum. Karena uang fiat bisa dicetak tanpa batas, inflasi bisa terjadi kapan saja ketika pemerintah memutuskan untuk menambah suplai uang. Kebijakan seperti ini sering dilakukan untuk membiayai defisit anggaran, menstimulasi ekonomi, atau membayar utang, tetapi konsekuensinya adalah berkurangnya daya beli masyarakat karena harga-harga terus naik.

Sebaliknya, ketika sistem keuangan didasarkan pada emas, inflasi hampir tidak ada. Mengapa? Karena emas memiliki karakteristik langka dan terbatas. Jumlah emas yang tersedia di dunia tidak bisa ditambah dengan mudah. Emas harus ditambang, yang merupakan proses yang sulit dan memakan waktu. Akibatnya, suplai emas tumbuh sangat lambat dan stabil, sehingga jumlah uang yang didukung oleh emas juga tetap terkendali.

Sebagai contoh, dalam sejarah Islam, Rasulullah membeli seekor kambing dengan 1 dinar (koin emas) pada zamannya. Fakta menariknya, nilai 1 dinar yang sama tetap mampu membeli seekor kambing hingga saat ini. Ini menunjukkan bahwa emas memiliki nilai intrinsik yang stabil dari waktu ke waktu. Karena nilainya tidak bergantung pada kebijakan pemerintah atau bank sentral, emas tidak mengalami devaluasi atau inflasi seperti yang terjadi pada uang fiat. Nilainya tetap solid dan konstan, menjaga daya beli masyarakat.

Dengan emas sebagai dasar keuangan, masyarakat terlindungi dari fluktuasi nilai yang disebabkan oleh inflasi. Uang yang didasarkan pada emas memiliki daya beli yang stabil karena tidak bisa dicetak atau diduplikasi dengan mudah. Ini menciptakan kepercayaan yang kuat pada nilai uang dan memastikan stabilitas ekonomi dalam jangka panjang.

Perlawanan Terhadap Uang Fiat dan Munculnya Kripto

Setelah runtuhnya standar emas, dunia beralih ke sistem uang fiat yang bergantung pada kebijakan moneter dan fiskal yang dikelola oleh bank sentral dan pemerintah. Namun, transisi ini menimbulkan kekhawatiran tentang inflasi dan ketidakstabilan moneter, terutama karena tidak ada aset fisik seperti emas yang mendukung uang fiat. Ketidakpercayaan terhadap bank sentral dan pemerintah mendorong munculnya alternatif, salah satunya adalah cryptocurrency (mata uang kripto).

Bitcoin, yang diperkenalkan pada tahun 2009 oleh entitas anonim bernama Satoshi Nakamoto, menjadi simbol dari perlawanan terhadap sistem uang fiat. Berbeda dengan uang fiat, Bitcoin didesain sebagai bentuk uang yang terdesentralisasi dan tidak dikendalikan oleh pemerintah atau lembaga keuangan mana pun. Sifatnya yang terdistribusi, transparan, dan memiliki suplai yang terbatas (dengan maksimal 21 juta koin yang dapat ditambang), menjadikan Bitcoin sebagai alternatif elektronik terhadap emas, yang sering disebut sebagai “emas digital.”

Perbandingan Emas dan Kripto

Sumber Nilai: Emas memiliki nilai intrinsik sebagai logam mulia yang digunakan dalam industri, perhiasan, dan penyimpan kekayaan selama ribuan tahun. Sementara itu, cryptocurrency seperti Bitcoin memperoleh nilainya dari kepercayaan komunitas pengguna dan kekurangan suplai yang telah diprogram.

Penggunaan sebagai Penyimpan Kekayaan: Emas selama berabad-abad diandalkan sebagai safe haven di tengah ketidakpastian ekonomi, sedangkan Bitcoin dan kripto lainnya mulai digunakan sebagai penyimpan nilai alternatif di era digital, terutama oleh mereka yang khawatir dengan inflasi yang dihasilkan dari pencetakan uang berlebihan oleh pemerintah.

Ketersediaan: Emas bersifat fisik dan memiliki keterbatasan dalam pengiriman serta penyimpanan, sementara Bitcoin dapat dipindahkan dengan mudah melalui jaringan internet ke mana saja di dunia dalam hitungan detik, tanpa memerlukan perantara bank atau otoritas keuangan.

Kontrol: Uang kertas dikelola dan disimpan oleh bank sentral dan lembaga keuangan, sementara Bitcoin dan kripto lainnya bersifat terdesentralisasi, artinya tidak ada entitas tunggal yang mengontrol distribusinya.

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K