Jika merujuk pada Al Qur’an secara benar, maka kita tidak saja menemukan betapa kitab suci ini memberikan penghargaan yang sangat tinggi terhadap akal manusia. Logika dan berfikir menjadi proses untuk memahami ciptaanNya yang akan bermuara pada mengimani keberadaanNya. Dengan kata lain antara hati dan otak atau antara keyakinan dan fikiran bukan saja seharusnya berjalan seiring, lebih dari itu seharusnya saling menopang dan saling melengkapi. Jika muncul ketidak serasian atau ketidak sinkronan diantara keduanya, maka kita harus introspeksi diri, mungkin saja ilmu yang terakumulasi di kepala belum cukup atau perkembangan sain dan teknologi belum menjangkau atau pemahaman kita terhadap ayat-ayat Al Qur’an keliru.
Novel ini berkisah seputar masalah ini.
Karya: Dr Muhammad Najib
Dubes RI Untuk Kerajaan Spanyol dan UN Tourism
================================
SERI-15: MAKAM IMAM BUCHARI
Dari kota lama Samarkand melalui jalan bebas hambatan hanya memerlukan waktu sekitar setengah jam untuk mencapai kompleks Makam Imam Buchari. Saat Kami tiba terdengar suara adzan dikumandangkan untuk memanggil orang untuk menunaikan shalat Asyar. Aku langsung mengambil air wudhu dan bersama Ibrahim menuju masjid yang berada di kompleks yang sangat luas. Kami lalu shalat berjama’ah di belakang Imam bersama beberapa orang pegawai setempat dan sejumlah wisatawan lokal. Hanya ada sekitar tujuh atau delapan orang yang ikut shalat berjamaah.
Usai shalat Imam membaca doa dengan menggunakan Bahasa Arab, setelah selesai seluruh jamaah menyalaminya seperti kebiasaan di tanah air, akupun ikut bersama jamaah lain. Setelah itu aku diperkenalkan, tampaknya Ibrahim sudah membuat janji untuk bertemu dan aku perhatikan wajahnya sangat gembira ketika menatapku.
“Akhir-akhir ini semakin banyak orang Indonesia yang datang berziarah ke sini”, katanya kepadaku dengan bahasa setempat yang diterjemahkan oleh Ibrahim.
“Hal yumkinu natatakalamunal Arabiah ?”, kataku untuk mengetahui apakah beliau berkenan berbicara dalam Bahasa Arab. Aku berfikir jika memungkinkan lebih baik dialog langsung dibanding melalui penerjemah.
“Tab’an”, katanya.
“Aina darastum lughatul Arabiah ?”, tanyaku ingin tahu dimana beliau mempelajarinya.
“Fil Madrasah fi Madinatu Buchara”, katanya di pesantren di kota Buchara.
Kami lalu melanjutkan berdialog dalam Bahasa Arab, meskipun dialek Bahasa Uzbeknya sangat kental tetapi aku mudah memahaminya, hanya sekali-sekali aku dibantu oleh Ibrahim untuk menangkap maksud dari kalimat yang terkadang kesulitan kufahami.
“Dua Presiden Indonesia memiliki jasa besar terhadap Makam Imam Buchari sehingga tidak akan terlupakan bagi bangsa Kami”, kata sang Imam memulai penjelasannya.
“Bisa diceritakan !”, kataku ingin mendengarnya.
“Saat itu Uzbekistan masih menjadi bagian dari Unisoviet. Ketika antara Blok Barat dan Blok Timur berada dalam puncak ketegangan, Presiden Rusia Nikita Krushchev mengundang Presiden Sukarno untuk mengunjungi Rusia sebagai bagian dari diplomasi untuk memperkuat posisinya. Sukarno bersedia tetapi dengan syarat”, katanya.
“Apa syaratnya”, kataku tak sabar.
“Beliau diberi kesempatan untuk berziarah ke Makam Imam Buchari. Saat itu makam ini sudah rata dengan tanah dan wilayah ini sudah ditutupi semak belukar sehingga untuk menemukannya perlu perjuangan tersendiri, kemudian dibersihkan secara tergesa-gesa”.
“Apakah ada hubungannya dengan Komunis yang anti agama ?”, kataku.
“Semua yang berbau agama bukan saja makam imam-imam besar yang jadi korban, masjid, dan sekolah agama juga mengalami nasib yang sama. Sukarno dalam sambutannya kemudian mengeluarkan kalimat yang sangat terkenal dan sampai sekarang terus dikenang: ‘Jika Bangsa Uzbek tidak mampu mengurusnya, maka biar makam ini dipindah ke Indonesia, sehingga kami dapat merawatnya. Sejak saat itulah kompleks ini mendapatkan perhatian Pemerintah”.
“Lalu apa jasa Presiden Suharto ?”, tanyaku penasaran.
“Presiden Suharto saat berziarah kesini memberikan sumbangan yang cukup besar untuk membangun tempat wudhu serta untuk membangun pagar karena perluasan kompleks ini”.
“Sekarang kelihatannya ada proyek besar-besaran di sini”, kataku.
“Sejak Pemerintah memutuskan untuk mengembangkan pariwisata sebagai salah satu prioritas programnya, kompleks ini diperluas, masjidnya diperbesar, hotel, restoran dan pusat perbelanjaan dibangun dalam sebuah konsep yang terintegrasi dengan melibatkan investor dari dalam maupun luar negri”, katanya.
“Sekarang kita menuju ke Makam Imam Buchari yang tidak semua orang bisa memasukinya”, kata Ibrahim kepadaku.
Imam berjalan di depanku menyusuri jalan ke sebuah bangunan yang tampak unik tetapi sangat anggun dengan arsitektur khas Timured. Aku dituntun menyusuri tangga menurun sampai tampak ruangan yang tidak terlalu luas. Di sini Imam Besar ahli hadits yang menjadi panutan ulama dari seluruh dunia disemayamkan. Aku lalu berdo’a semoga amal salehnya diterima dan arwahnya mendapatkan tempat yang mulia di sisiNya.
“Sekarang saya akan menunjukkan betapa dekatnya bangsa Indonesia dengan bangsa Uzbek sejak dahulu”, katanya sambil berdiri.
Aku penasaran untuk mengetahui cerita apalagi yang akan disampaikan oleh Sang Imam. Ia bergerak menuju perpustakaan yang juga difungsikan sebagai museum dimana dokumen-dokumen penting yang memiliki nilai sejarah tinggi disimpan. Aku mengikutinya dari belakang. Setelah memberikan salam kepada petugas jaga, ia lalu langsung menuju sebuah pojok yang menyimpan nama-nama ulama yang dikirim untuk berdakwah ke Nusantara.
“Saat masa keemasan Jalur Sutra wilayah ini menjadi pelintasan yang sangat penting, sehingga sejumlah kota seperti Buchara, Termez, Tahkent, dan Samarkand menerima berkah ekonomi dan berkembang menjadi pusat pendidikan baik ilmu agama maupun sain dan teknologi. Selain mencatat nama-nama ulama yang pergi ke Nusantara, buku ini juga menjelaskan rute yang ditempuhnya”, katanya sambil menunjuk buku yang berada di dalam lemari kaca sehingga hanya bisa dilihat tetapi tidak bisa disentuh.
“Mereka bergerak ke Timur melalui kota Kashgar yang sekarang menjadi bagian dari Provinsi Xinziang yang mayoritas penduduknya dihuni oleh Suku Uighur, terus ke Timur melewati provinsi Ningxia yang dihuni oleh suku Hui, kemudian berujung di kota Pelabuhan Guangzhou. Masjid Huaisheng yang dibangun tahun 627 M diakui sebagai masjid tertua di China sebagai saksi Sejarah sampai sekarang masih tegak berdiri. Dari Pelabuhan ini mereka naik kapal bergerak ke Selatan melewati Vietnam sekarang. Dulu di salah satu kota pelabuhan di wilayah Pantai Timur Vietnam ada kota yang mayoritas dihuni penduduk Muslim bernama Champ atau Champa. Dari sini mereka menyebar ke beberapa wilayah Nusantara terutama Jawa”, katanya.
“Xinjiang sampai sekarang penduduk aslinya yang beretnis Turki dikenal dengan sebutan Uighur masih beragama Islam, begitu juga Suku Hui beretnis asli China juga beragama Islam. Karena itu dua provinsi ini dijadikan daerah otonomi khusus oleh Beijing, sehingga ummat Islam di sana dapat tetap mempertahankan identitas budayanya”, kata Imam melanjutkan.
“Bagaimana dengan Champ atau Champa?”, kataku ingin tahu.
“Setelah kalah dalam perang dengan Kerajaan Vietnam yang berada di Utaranya, penduduk Muslim champ kemudian melarikan diri ke Kamboja dan mendapatkan perlindungan dari Kerajaan Kamboja yang menjadi sekutunya. Sampai sekarang mereka hidup damai sebagai minoritas Muslim yang tinggal di tepi Sungai Mekong Kota Phnom Penh”.
Sebelum pamitan aku diberikan buku kecil yang memuat sejumlah ulama yang berasal dari wilayah ini yang berdakwah ke berbagai belahan bumi, termasuk rute perjalanannya. Sayang buku ini berbahasa Rusia, tetapi untuk menyenangkannya tetap aku terima. Kini aku menjadi mengerti kalau Islam yang masuk ke Nusantara melalui jalur Timur, selain jalur Barat yang sudah banyak ditulis buku Sejarah, bergerak dari Hijaj dan Yaman menyusuri Pantai Barat India lalu ke Aceh, Malaka, kemudian ke seluruh Nusantara. Sebagian teransit di Gujarat yang kemudian berkembang menjadi pusat pendidikan dakwah yang cukup terkenal waktu itu.
BERSAMBUNG
EDITOR: REYNA
Baca seri sebelumnya:
Seri-14: Novel Terbaru Karya Dr Muhammad Najib “Mencari Nur”(Seri-14): Kota Samarkand
Seri-13: Novel Terbaru Karya Dr Muhammad Najib “Mencari Nur”(Seri-13): Antara Ataturk dan Erdogan
Ser-12: Novel Terbaru Karya Dr Muhammad Najib “Mencari Nur”(Seri-12): Antara Dua Masjid
Seri-11: Novel Terbaru Karya Dr Muhammad Najib “Mencari Nur”(Seri-11): Ziarah ke Makam Alfatih
Seri-10: Novel Terbaru Karya Dr Muhammad Najib “Mencari Nur”(Seri-10): Islam Agama Sejak Adam
Novel karya Dr Muhammad Najib yang lain dapat dibaca dibawah ini:
1) Di Beranda Istana Alhambra (1-Mendapat Beasiswa)
2)Novel Muhammad Najib, “Bersujud di Atas Bara” (Seri-1): Dunia Dalam Berita
3)Novel Muhammad Najib, “SAFARI”(Seri-1): Meraih Mimpi
Related Posts

Puisi Kholik Anhar: Benih Illahi

Novel Imperium Tiga Samudara (7)- Kapal Tanker di Samudra Hindia

Novel: Imperium Tiga Samudra (6) – Kubah Imperium Di Laut Banda

Seni Tergores, Komunitas Bangkit: Bagaimana Dunia Seni Indonesia Pulih Usai Protes Nasional

Imperium Tiga Samudra (5) — Ratu Gelombang

Seri Novel “Imperium Tiga Samudra” (4) – Pertemuan di Lisbon

Serial Novel “Imperium Tiga Samudra” (Seri 3) – Penjajahan Tanpa Senjata

Novel “Imperium Tiga Samudra” (Seri 2) – Langit di Atas Guam

Serial Novel “Imperium Tiga Samudra” (1) – Peta Baru di Samudra Pasifik

Api di Ujung Agustus (Seri 34) – Gelombang Balik





No Responses