Sri Radjasa Chandara Buka Suara: Ada Tekanan Politik di Balik Isu Pergantian Jaksa Agung

Sri Radjasa Chandara Buka Suara: Ada Tekanan Politik di Balik Isu Pergantian Jaksa Agung

JAKARTA – Mantan anggota Badan Intelijen Negara (BIN) Sri Radjasa Chandara, MBA angkat bicara mengenai dinamika di balik isu pergantian Jaksa Agung ST Burhanuddin. Dalam percakapan terbuka yang kini ramai dibicarakan di lingkar politik Jakarta, Sri Radjasa menilai ada “tarikan kepentingan lama” yang mencoba memengaruhi arah penegakan hukum di era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.

Menurutnya, tekanan politik dari berbagai pihak masih terasa, terutama dalam upaya mempertahankan figur-figur lama di posisi strategis lembaga hukum. “Ada upaya mengawal keberlanjutan kekuasaan melalui kendali di institusi penegak hukum. Tapi Prabowo bukan tipe yang mudah ditekan,” ujar Sri Radjasa saat ditemui di Jakarta, Kamis (7/11).

Isu Penitipan Nama dan Hubungan Prabowo–Jokowi

Sri Radjasa menegaskan bahwa munculnya isu nama Toni Spontana sebagai calon pengganti Jaksa Agung bukan hal yang muncul tiba-tiba. Ia menyebut, kabar itu berasal dari lingkaran politik yang masih memiliki kedekatan dengan mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Namun, ia juga mengingatkan bahwa hingga kini tidak ada keputusan resmi dari Presiden Prabowo mengenai pergantian Jaksa Agung.

“Memang ada sinyal informal yang beredar. Tapi keputusan tertinggi tetap di tangan Presiden. Prabowo punya gaya sendiri — dia menimbang bukan hanya loyalitas, tapi juga keberanian dalam menegakkan hukum,” ujarnya.

Kabar mengenai “penitipan nama” itu sempat menimbulkan spekulasi bahwa Jokowi masih memiliki pengaruh dalam struktur penegakan hukum. Namun, dalam berbagai kesempatan, Jokowi sudah menegaskan bahwa dirinya tidak lagi ikut campur dalam urusan pemerintahan baru.

Kritik Terhadap Kinerja Penegakan Hukum

Sri Radjasa juga menilai, penegakan hukum di masa transisi pemerintahan masih menghadapi tantangan besar. Ia menyebut ada kesan bahwa beberapa kasus korupsi besar berjalan lamban, terutama yang melibatkan BUMN strategis.

“Publik melihat Kejaksaan sudah bergerak, tapi belum menyentuh jantung persoalan. Banyak kasus yang sudah masuk radar, tapi seolah terhenti di tengah jalan,” kata Sri Radjasa.

Ia mencontohkan sejumlah kasus seperti dugaan penyimpangan di sektor energi, tata niaga timah, serta proyek-proyek di BUMN telekomunikasi. Menurutnya, pola lama seperti ini menunjukkan masih adanya pengaruh kelompok kepentingan yang kuat di birokrasi dan penegakan hukum.

Namun, ia menekankan pentingnya membedakan opini politik dan fakta hukum. “Saya tidak menuduh siapa pun. Tapi dari kacamata intelijen, pola tekanan politik terhadap lembaga hukum itu nyata adanya,” tegasnya.

Agenda Bersih-Bersih dan Tekanan dari Publik

Sinyal untuk melakukan “bersih-bersih BUMN” disebutnya datang langsung dari Presiden Prabowo. Namun, Sri Radjasa mengingatkan bahwa langkah itu tak akan efektif jika aparat hukum tidak diberi ruang independen.
“Prabowo sadar, membenahi birokrasi dan BUMN berarti juga harus menata ulang kultur di Kejaksaan. Tapi yang dilawannya bukan individu — melainkan sistem yang sudah berurat akar,” ujarnya.

Menurut Sri Radjasa, publik kini menaruh harapan besar agar Kejaksaan benar-benar menegakkan hukum tanpa pandang bulu. “Kalau penegakan hukum masih tebang pilih, publik akan kehilangan kepercayaan. Ini masa yang krusial bagi pemerintahan baru,” tambahnya.

Pelibatan TNI dan Koordinasi Antarlembaga

Salah satu hal menarik yang disorot Sri Radjasa adalah wacana pelibatan TNI dalam mendukung operasi penegakan hukum di bidang strategis seperti energi dan pangan. Ia menyebut langkah itu bisa menjadi bentuk sinergi, asalkan dijalankan secara proporsional.

“TNI punya kemampuan logistik dan pengawasan di lapangan yang luar biasa. Tapi jangan sampai tumpang tindih dengan kewenangan sipil. Sinergi boleh, intervensi tidak,” ujarnya.

Sejumlah pakar hukum sebelumnya juga menekankan perlunya pembatasan yang jelas antara fungsi militer dan penegak hukum sipil agar tidak melanggar prinsip due process of law.

Jokowi dan Bayang Politik Lama

Mengenai peran politik Jokowi pasca-pemerintahan, Sri Radjasa menilai wajar bila mantan presiden masih memiliki pengaruh moral dan jaringan politik. Namun, ia menolak anggapan bahwa Jokowi masih “mengendalikan” lembaga-lembaga negara.

“Pengaruh politik itu hal yang alamiah, tapi berbeda dengan kontrol kekuasaan. Saya tidak melihat Jokowi masih memegang kendali, hanya ada jejak loyalitas birokrasi yang belum sepenuhnya lepas,” kata Sri Radjasa.

Ia menambahkan, proses konsolidasi kekuasaan memang membutuhkan waktu. “Prabowo mewarisi sistem yang sangat kompleks. Tantangan terbesarnya justru memastikan bahwa hukum berdiri di atas kekuasaan, bukan sebaliknya,” ujarnya.

Menanti Keputusan Prabowo

Hingga kini, belum ada tanda-tanda bahwa Presiden Prabowo akan mengganti Jaksa Agung dalam waktu dekat. Beberapa sumber di lingkar Istana menyebut fokus utama pemerintahan masih pada konsolidasi ekonomi, bukan reshuffle kabinet.

Namun, Sri Radjasa meyakini, Prabowo tidak akan ragu mengambil keputusan jika melihat perlunya penyegaran di lembaga hukum.
“Kalau Prabowo sudah menilai ada hambatan, dia akan bertindak. Dia bukan tipe yang menunggu tekanan politik. Tapi semua pasti lewat pertimbangan matang,” kata Sri Radjasa.

Ia menutup perbincangan dengan pesan tegas: “Negara ini tidak butuh Jaksa Agung yang dekat dengan kekuasaan, tapi Jaksa Agung yang berani menegakkan kebenaran di depan kekuasaan.”

Catatan redaksi:
Artikel ini disusun berdasarkan wawancara Sri Radjasa Chandara, MBA, mantan anggota BIN, yang ditayangkan dalam Platform Yotube “Forum Keadilan TV” serta hasil verifikasi silang dengan data publik dan pernyataan resmi lembaga terkait. Tidak ada klaim hukum yang dinyatakan sebagai fakta tanpa konfirmasi yuridis.

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K