JAKARTA – Pada masa awal reformasi, Indonesia menerima sebuah surat dari Bank Dunia yang ditujukan kepada Mnteri Keuangan waktu itu — isinya mengejutkan. Dalam surat itu, Bank Dunia menyarankan agar Indonesia tidak perlu membangun kilang minyak baru. Alasannya terdengar rasional di atas kertas: membangun kilang itu mahal, sedangkan mengimpor bahan bakar dianggap lebih murah dan efisien. Namun, di balik nasihat ekonomi tersebut, tersimpan ironi yang kini menjadi beban berat bagi kedaulatan energi bangsa.
Hal ini diungkap oleh Direktur Eksekutif Center for Energy Policy, M. Cholid Syeirazi, melalui akun TikTok “Media Prabowo”. Menurutnya, faktor geopolitik dan intervensi kebijakan global turut mempersulit langkah Pertamina dalam membangun kilang minyak baru di tanah air.
“Pertamina memang kesulitan membangun kilang baru, dan itu bukan semata soal teknis atau dana, tapi juga karena ada tekanan geopolitik global,” ujarnya dengan nada serius.
Kini, akibat kebijakan masa lalu itu, Indonesia terjebak dalam ketergantungan impor bahan bakar dari Singapura — negara kecil yang justru hidup makmur berkat industri kilangnya. Syeirazi menjelaskan, kapasitas kilang minyak Singapura mencapai 1,3 juta barel per hari, sementara kebutuhan dalam negerinya hanya sekitar 300 ribu barel per hari. Artinya, sekitar satu juta barel per hari diekspor keluar, dan salah satu pembeli terbesarnya adalah… Indonesia.
“Indonesia menjadi pasar utama BBM dari kilang Singapura,” tandas Syeirazi.
Ketergantungan ini bukan sekadar soal perdagangan, tapi menyentuh jantung kedaulatan energi nasional. Setiap liter BBM yang kita beli dari Singapura sejatinya adalah bukti betapa lemahnya strategi energi kita selama dua dekade terakhir. Ironinya, negeri yang kaya sumber daya alam dan pernah menjadi eksportir minyak dunia kini harus membeli bensin dari negara yang bahkan tak punya ladang minyak.
Pertanyaannya kini menggantung di udara: Apakah kita akan terus menjadi “pasar abadi” bagi kilang-kilang asing, atau berani kembali berdaulat atas energi sendiri?
Surat Bank Dunia itu mungkin sudah lama berlalu. Tapi bayangannya masih terasa hingga kini — di setiap antrean SPBU, di setiap subsidi yang membengkak, dan di setiap rupiah yang mengalir ke luar negeri. Kini, keputusan ada di tangan pemerintah: melanjutkan warisan ketergantungan, atau menulis babak baru kemandirian energi Indonesia.
EDITOR: REYNA
Related Posts

SPPG POLRI Lebih Baik Dibanding Yang Lain Sehingga Diminati Sekolah

Pak Harto Diantara Fakta Dan Fitnah

Mantan Dirut Pertamina Karen Agustiawan Mengaku Ditekan 2 Tokoh (PY) dan (HR) Untuk Memperhatikan Perusahaan Riza Chalid

Prabowo Melawan Akal Sehat atas Dugaan Ijazah Palsu Jokowi dan Kereta Cepat Whoosh

Pangan, Energi dan Air

Penasehat Hukum RRT: Penetapan Tersangka Klien Kami Adalah Perkara Politik Dalam Rangka Melindungi Mantan Presiden Dan Wakil Presiden Incumbent

NKRI Sesungguhnya Telah Bubar

Dalang Lama di Panggung Baru

AS berencana mematahkan dominasi Tiongkok atas mineral-mineral penting melalui Afrika

Kekhawatiran atas mineral penting mengancam rantai pasokan global




No Responses