Takdir Indonesia Gagal (Menurut Nusron Wahid)

Takdir Indonesia Gagal (Menurut Nusron Wahid)
Radhar Tribaskoro, Anggota Komite Eksekutif Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia

Oleh: Radhar Tribaskoro

Saya senang pada Menteri Purbaya dan Amran. Dua nama itu, entah bagaimana, menimbulkan sesuatu yang jarang hadir dalam percakapan publik kita: harapan. Dari mereka kita mendengar nada yang membuat orang kecil menghela napas sedikit lebih ringan. Bahwa ekonomi bisa dipulihkan, bahwa petani tidak selamanya akan dihajar impor yang membabi-buta, bahwa pajak tidak lagi dikejar dari mereka yang hidupnya pas-pasan. Kita tidak tahu apakah ikhtiar itu kelak berwujud atau tinggal gema yang lenyap di lorong kekuasaan, tetapi sedikitnya keduanya membuat rakyat bekerja dengan sejumput optimisme yang, selama ini, terasa mahal.

Tetapi aura semacam itu tidak memancar dari Nusron Wahid, Menteri ATR/Kepala BPN. Ia memilih kalimat lain, yang jatuh di telinga seperti vonis yang tak bisa dibantah: “Mafia tanah sulit diberantas. Sampai kiamat kurang dua hari pun masih ada.” Kalimat itu melayang seperti debu yang tidak mau turun, menggantung di ruang publik, menimbulkan rasa getir yang sukar dielakkan. Bukan karena kita baru tahu bahwa pertarungan atas tanah adalah cerita paling tua dalam sejarah republik ini, melainkan karena seorang pejabat yang memegang seluruh kunci dari persoalan itu justru menyatakan bahwa pintunya mustahil dibuka.

Ada sesuatu yang janggal ketika seorang menteri mengakui ketidakberdayaan di wilayah yang seharusnya menjadi medan kuasanya. Itu seperti seorang nakhoda yang berdiri di atas geladak kapal, menatap badai, lalu berkata kepada penumpang bahwa ombak tak bisa dilawan. Bahwa laut memang begitu dari dulu. Bahwa kapal akan selalu bocor karena “begitulah takdirnya.” Kita mungkin bisa memahami ketakutan seorang nakhoda, tetapi kita tak bisa menerima ketika ketakutannya ia ubah menjadi dogma negara.

Pernyataan itu membawa gema dari narasi yang lebih besar: narasi tentang negara yang tak lagi percaya pada dirinya sendiri. Negara yang, alih-alih melawan penyakit dalam tubuhnya, memilih menjadi komentator yang datar. Negara yang bicara tentang dirinya seperti orang asing membicarakan cuaca: hujan turun, angin datang, mafia tanah tetap hidup. Kalimat itu bukan sekadar pernyataan; ia semacam pengunduran diri simbolik dari tugas yang paling elementer.

Dalam nada yang pelan dan menyakitkan, ia terdengar seperti bisikan: kami tidak sanggup, dan kalian harus menerimanya.

Padahal mafia tanah bukanlah makhluk gaib yang menjelma dari kabut. Mereka bukan roh penasaran yang kembali meski sudah diusir dengan mantra hukum. Mereka manusia biasa: pemegang stempel, pejabat yang menguasai data, PPAT yang menutup mata, aparat yang bersedia “mengawal,” dan para perantara yang menukar moral dengan keuntungan sesaat. Mereka bekerja dengan dokumen, bukan dengan sihir. Dan semua dokumen itu berada dalam lingkup kuasa lembaga yang kini mengibarkan bendera putih.

Karena itu pernyataan Nusron terasa seperti paradoks yang menohok. Kepala BPN mengatakan lembaga yang ia pimpin tak mampu mengatasi kejahatan yang justru tumbuh melalui jalur yang ia kuasai. Dan kita tahu, atau setidaknya kita ingin percaya, bahwa negara tak boleh tunduk pada jaringan yang sebagian besarnya justru lahir dari kelalaian, kompromi, atau diamnya aparat negara selama bertahun-tahun. Pada titik itu, kalimat Nusron berhenti terdengar sebagai analisis; ia berubah menjadi permintaan maaf yang dipoles. Seperti seseorang yang berkata ia tak bisa mengejar maling karena “maling selalu lebih cepat.”

Dalam politik Indonesia, nada semacam itu bukan hal baru. Kita telah terlalu sering mendengar pejabat berbicara seperti nabi pesimistis: korupsi akan selalu ada, kemiskinan tak dapat sepenuhnya diberantas, pungli adalah tradisi, hukum berjalan lambat, demokrasi memerlukan waktu. Jarang kita mendengar seorang menteri berkata: saya bertanggung jawab dan saya akan menyelesaikannya. Yang lebih sering adalah: masalah ini tak mungkin selesai, jadi jangan salahkan saya jika ia tetap terjadi.

Dan di sinilah gelapnya itu muncul: normalisasi kegagalan. Ketika pejabat negara mengatakan patologi “akan selalu ada,” ia tak sedang menggambarkan realitas; ia sedang memaafkan keadaan yang tak ingin ia ubah. Kalimat seperti itu membuat negara tampak berdamai dengan penyakitnya sendiri.

Goenawan Mohamad pernah menulis bagaimana bahasa bisa membentuk dunia. Di sini, bahasa Nusron membentuk dunia yang keliru: dunia di mana tuntutan publik dianggap berlebihan, perbaikan dianggap mustahil, dan mafia tanah dianggap setara dengan hukum alam. Bahasa itu membuat publik lelah, membuat aparat yang jujur kehilangan arah, dan memberi sinyal aman kepada mereka yang hidup di dalam jaringan gelap itu.

Yang paling mengganggu adalah pergeseran makna tanggung jawab. Di tangan pejabat kita, tanggung jawab sering berubah menjadi kemampuan merangkai alasan yang terdengar puitis. Padahal birokrasi tidak bergerak oleh alasan; ia hanya bergerak oleh keputusan, oleh risiko, oleh keberanian untuk menabrak kepentingan yang berdiam di ruang yang paling lembut sekalipun.

BPN memegang kekuasaan yang nyaris absolut: data nasional, peta spasial, sistem sertifikasi, register hak, pengawasan PPAT, sampai urusan tanah negara. Dengan perangkat sebesar itu, sulit menerima bahwa mafia tanah adalah sesuatu yang tak bisa diubah. Jika mereka masih hidup, itu karena sistem membiarkan mereka hidup.

Di negara lain, pernyataan seperti itu akan mengundang badai politik. Menteri akan dipanggil parlemen, dituntut menunjukkan peta penyelesaian, didesak memilih antara memimpin atau mundur. Tetapi di republik yang sering menebus kekurangannya dengan kelakar, kalimat seperti itu berlalu seperti angin. Kita belajar menerima keputusasaan pejabat sebagai humor. Padahal ia lebih mirip peringatan tentang betapa rapuhnya fondasi negara.

Dan pada akhirnya ini bukan hanya tentang Nusron Wahid. Ini tentang kita. Tentang rakyat yang terbiasa menyesuaikan ekspektasi dan berhenti menuntut. Kita marah pada mafia tanah, tetapi diam ketika hukum tidak berjalan. Demokrasi pun mengecil menjadi ruang dengan harapan yang minimal.

Tanah bukan sekadar benda mati. Ia sejarah, ruang hidup, identitas, luka, dan janji. Ketika negara menyerah pada mafia tanah, ia menyerah pada sebagian besar makna keberadaannya sendiri.

Karena itu, pernyataan Nusron bukan semata soal mafia tanah. Ia adalah simbol krisis legitimasi birokrasi. Sebuah tanda bahwa negara semakin sering menghindar dari dirinya sendiri—dari kewajiban paling sederhana untuk melindungi.

Mungkin ada yang berkata Nusron jujur. Tetapi kejujuran tanpa solusi bukanlah kebajikan; ia hanyalah bentuk baru dari ketakutan. Seperti kata Pramoedya, kebenaran hanya bisa hidup dalam tindakan. Dan tindakan tidak lahir dari kalimat yang telah menyerah sebelum perang dimulai.

Pada titik tertentu, kita mulai melihat jejak feodalisme dalam cara berpikir pejabat kita. Ketika mereka bicara tentang “takdir,” sesungguhnya mereka sedang menempatkan kekuasaan sebagai panggung, bukan alat perbaikan. Publik pun didorong menjadi penonton yang pasif. Dan negara, yang mestinya bekerja untuk kita, mendikte bahwa kemunduran adalah sesuatu yang wajar.

Padahal tak ada takdir bernama mafia tanah. Yang ada hanyalah keputusan—dan keberanian yang tak kunjung datang.

Cimahi, 15 November 2025

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K