ZONASATUNEWS.COM, JAKARTA – Kalau kita mempelajari etika profesi hukum, keputusan Majelis Kehormatan MK, sebenanrnya putusan itu telah mengakhiri karir Anwar Usman. Kenapa? Karena dia telah melakukan pelanggaran etika yang berkaitan dengan kepantasan.
Etika itu, kata Muhammad Taufiq, adalah hal yang tertinggi. Jauh lebih tinggi dibanding hukum.
“Maka menjadi pertanyaan, kalau Anwar Usman memiliki rasa malu seharusnya dia mundur dari MK. Karena sudah diberhentikan dari jabatnnya sebagai Ketua MK dan hakim non palu. Karena marwahnya,kehormatannya, kemuliaannya itu sudah tidak ada,” kata Muhammad Taufiq, Presiden Asosiasi Ahli Hukum Indonesia (AAPI), lewat video yang dikirimkan kepada redaksi zonasatunews.com.
Dengan dinyatakan tidak pantas dan dilarang mengadili sengketa yang berkaitan dengan Pemilu, Pilpres, dan Pilkada, menunjukkan kepada kita bahwa Anwar Usman ini melanggar suatu komitmen besar untuk menegakkan marwah MK.
Artinya, lanjut Taufiq, sebenarnya karirnya sudah berakhir.
“Kalau Anwar Usman bermoral seharusnya dia mengundurkan diri,” jelas Taufiq.
Seperti diketahui putusan MK yang dibuat oleh Anwar Usman, pada akhirnya mejadi jalan kelaur untuk Gibran dapat maju sebagai Cawapres.
Bagaimana implikasinya terhadap politik dan hukum?
“Kia bicara implikasi hukum terlebh dahulu. Berarti, substansi putusan itu dibuat dengan cara-cara yang tidak benar. Kalau substansinya tidak benar berarti putusan itu tidak berkualitas. Lalu bagaimana solusinya, apakah cukup Anwar Usman diberhentikan dari Ketua MK? Jangan lupa dia masih tetap menjadi hakim, tetapi hakim non palu. Ini menunjukkan pelanggarannya berat.” kata Taufiq.
Seharusnya Majelis Kehormatan MK itu menambahkan didalam putusannya, masyarakat dipersilahkan mengajukan gugatan baru lagi berkaitan dengan “open legal; policy”.
Taufiq menilai implikasi hukumnya adalah adanya momentum untuk mengajukan gugatan baru kepada MK.
Implikasi politiknya bagi pasangan Prabowo-Gibran, jelas bahwa, kalau hakimnya saja dijatuhi sanksi tidak boleh megadili perkara, berarti putusan itu indikasinya dibuat dengan cara yang tidak terhormat.
Pesan etiknya dari persidangan itu bahwa putusan itu tidak pantas atau dengan kata lain curang. Etik itu berada diwilayah itu, dan etik itu lebih tinggi dari hukum.
“Yang pasti pasangan calon dari produk hukum yang tidak pantas, putusannya itu mengandung cacat formal dan cacat moral. Lebih baik mundur daripada anda dijadikan bulan-bulanan. Tidak layak, tidak pantas. Capres dijadikan bulan-bulanan, begitu juga Cawapresnya, hasil dari putusan hakim yang tidak pantas dan hakim yang dilarang mengadili perkara yang berkitan dengan Pemilu, Pilpres, maupun Pilkada,” pungkasnya.
EDITOR: REYNA
Related Posts

Pasang Badan

Relawan Sedulur Jokowi Tegaskan Tetap Loyal Kepada Jokowi

Bobibos: Energi Merah Putih Dari Sawah Nusantara Yang Siap Guncang Dunia

Puisi Kholik Anhar: Benih Illahi

Kepala Sekolah SMA Negeri 1 Patianrowo Nganjuk dan Komite Diduga Lakukan Pungli, Terancam Dilaporkan ke Polres Nganjuk

Aksi Selamatkan Hiu: Pemuda Banyuwangi Kembangkan Aplikasi Berbasis Kecerdasan Buatan untuk Identifikasi Spesies Hiu Secara Akurat

Pemilu Amerika 2025: Duel Sengit AI vs Etika di Panggung Politik Dunia

Jakarta 2030: Ketika Laut Sudah di Depan Pintu

Dari Wayang ke Metaverse: Seniman Muda Bawa Budaya Jawa ke Dunia Virtual

Operasi Senyap Komisi Pemberantasan Korupsi: Tangkap Tangan Kepala Daerah dan Pejabat BUMD dalam Proyek Air Bersih



No Responses