JAKARTA – Nama Danantara dibentangkan dengan janji mulia: sebuah lembaga pengelola investasi negara yang kelak akan mengelola aset bernilai ribuan triliun rupiah, mendukung pembangunan, memperkuat ekonomi, dan menjaga amanah rakyat. Tapi kini, di balik cita-cita itu, muncul gelombang keresahan dan kecurigaan rakyat – karena rekam jejak beberapa orang di pucuk pimpinan Danantara disebut-sebut terseret kasus hukum yang merugikan negara.
Kalau rakyat tahu, mereka akan marah. Karena mereka menyadari: bila orang-orang bermasalah dipercayakan mengelola uang rakyat dalam skala raksasa, maka bukan hanya proyek yang melenceng dari misi, tapi harga amanah Presiden bisa dipertaruhkan.
Nama-nama Bermasalah, Kasus yang Tercium
Rosan Perkasa Roeslani, diangkat sebagai calon CEO Danantara, adalah salah satu figur yang paling disorot. Ia disebut sebagai Ketua Komite Investasi PT Recapital Asset Management (RAM), yang kini berhadapan dengan dakwaan dalam kasus korupsi pengelolaan dana investasi PT ASABRI. Berdasarkan pengumuman sidang perdana di Tipikor Jakarta, publik mengetahui bahwa kerugian negara dalam kasus ini mencapai Rp 22,78 triliun.
Lalu ada Dony Oskaria, yang kini menjabat COO BPI Danantara. Rekam jejaknya tidak bersih dari sorotan: namanya pernah diperiksa Kejaksaan Agung sebagai salah satu komisaris di PT Garuda Indonesia terkait mekanisme pengadaan pesawat udara.
Tak kalah menarik perhatian adalah Pandu Syahrir, CIO Danantara yang juga dianggap dekat jaringan elite. Pandu pernah menduduki posisi komisaris di Gojek, kemudian GoTo Financial—keduanya ikut disebut dalam pemberitaan dugaan korupsi pengadaan laptop Chromebook di Kemendikbudristek, dengan angka kerugian negara yang dilaporkan mencapai Rp 9,3–9,9 triliun.
Misi Danantara yang Terbalik: Dari Proyek Strategis ke Pelunasan Hutang
Danantara lahir dengan misi strategis: mengelola investasi negara untuk proyek–proyek prioritas seperti energi, ketahanan pangan, hilirisasi, dan pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Bukan sebagai lembaga penampung hutang atau sebagai buzzer pembiayaan proyek-proyek bermasalah yang bahkan sudah mengancam keuangan negara.
Tapi faktanya: banyak dana dan perhatian yang justru diarahkan untuk menyelamatkan proyek-proyek kontroversial yang sudah menggantung. Proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (Whoosh) yang awalnya diklaim tidak akan menggunakan dana APBN, tapi justru menghasilkan kerugian triliunan rupiah yang kemudian muncul tekanan agar Danantara “menyelamatkan” proyek tersebut. Juga kasus-kasus utang Garuda yang belum selesai. Semua itu bukan bagian dari mandat suci Danantara sejak awal.
Presiden Prabowo:Jangan Ragu
Presiden Prabowo Subianto, dalam posisi sangat rentan: bila memilih pimpinan Danantara yang kontroversial, dengan dugaan masalah hukum masa lalu, rakyat akan merasa dikhianati. Marahnya bukan hanya kepada individu, tapi bisa membentang kepada institusi tertinggi: Presiden sendiri.
Sudah ada komitmen Prabowo dalam pidato kenegaraan bahwa pemerintahan beliau akan memerangi korupsi tanpa pandang bulu – apapun latar belakang atau relasi politiknya. Bila pimpinan Danantara – misalnya CEO, COO, CIO – masih menyimpan catatan yang kabur atau terjerat masalah, maka janji itu akan dipertanyakan keras oleh publik. Reputasi, kredibilitas, kepercayaan rakyat akan dipertaruhkan. Dan risiko terbesar adalah: rakyat akan “menjerumuskan” Presiden bila misi Danantara dianggap sudah digeser menjadi alat untuk menyelamatkan kasus atau hutang yang seharusnya bukan tanggung jawab lembaga investasi negara.
Kenapa Evaluasi Jadinya Keputusan Keharusan?
Untuk menjaga kepercayaan, untuk menjaga agar presiden tak menjadi korban politik, maka evaluasi terhadap direksi Danantara bukan opsional, melainkan keharusan.
Beberapa alasan yang layak diperhitungkan:
Preservasi Amanah Publik
Bila masyarakat mengetahui bahwa uang investasi besar berada di tangan orang-orang dengan catatan kontroversial, kepercayaan hancur.
Risiko Finansial & Hukum
Mereka bisa diintervensi, ditarik ke masalah hukum baru, yang akan mengganggu operasional Danantara. Dan apabila kasus lama muncul kembali atau diperluas, Presiden bisa terlibat dilema.
Menjaga Misi Dasar
Danantara bukanlah lembaga penebusan hutang. Bila sebagian tugas lembaga berubah menjadi nongkrong di urusan pelunasan hutang proyek–proyek yang kontroversial, maka misi mendasar jadi kabur.
Kepentingan Politik Jangka Panjang
Bila keadaan terus demikian, elite akan melihat Danantara sebagai milik mereka untuk kepentingan politik – dan rakyat akan cepat marah menjelang pemilu, pilihannya akan sangat dipengaruhi oleh rasa dikhianati.
Akhir atau Titik Balik?
Presiden Prabowo menghadapi pilihan di ambang tahun-tahun krusial: apakah ia akan menjadi pemimpin yang mempertahankan idealisme dan membersihkan institusi–institusi strategis dari bayang-bayang kasus lama, atau menjadi sosok yang kehilangan kepercayaan karena lalai dalam memilih orang–orang yang dipercaya mengelola keuangan negara.
Rakyat berharap Danantara, yang dicanangkan sebagai harapan bagi masa depan ekonomi Indonesia, bukan sebagai suaka politik bagi orang dengan reputasi yang dipertanyakan. Bila tidak, kemarahan rakyat bukan tak mungkin akan memuncak – dan yang akan banyak dirugikan bukan hanya lembaga Danantara, tapi nama baik Presiden sendiri.
EDITOR: REYNA
Related Posts

Artikel Investigatif: SMA Negeri 72 Jakarta — Ledakan, Rasa Sakit, dan Isu Kompleks di Balik Tragedi

RRT Nyatakan Siap Hadapi Pemeriksaan Kasus Ijazah Palsu Jokowi

Rasional dan Proporsional Dalam Menyikapi Zohran Mamdani

Tragedi di Lapangan Kandis Riau, Nyawa Melayang Aparat Diam, Yusri: PHR Jangan Lepas Tangan

Pertahanan Yang Rapuh di Negeri Seribu Pulau: Membaca Geopolitik Indonesia Lewat Kacamata Anton Permana

Yusri Usman Dan Luka Lama Migas Indonesia: Dari TKDN, Proyek Rokan, hingga Pertamina Yang Tak Pernah Berbenah

Off The Record

Bangsa Ini Tidak Butuh Presiden Yang Pura-Pura Gila

Sebuah Laporan Sebut Australia Pasok Mineral Vital ke Tiongkok untuk Produksi Rudal Hipersonik

Apa Presiden Akan Pasang Badan Untuk Oligar Hitam?




No Responses