Cindelaras Nekad Ikut Adu Jago, Meskipun Raja “Cawe-Cawe” Menjegalnya – (Bagian 11)

Cindelaras Nekad Ikut Adu Jago, Meskipun Raja “Cawe-Cawe” Menjegalnya – (Bagian 11)
Ilustrasi: Cindelaras dan ayam jagonya

Oleh: Budi Puryanto

Cindelaras sudah siap berangkat dengan ditemani Aryadipa, dan tentu saja dia membaya ayamnya jagonya. Kiageng sudah memberikan ijin untuk melihat-lihat keadaan. Dukuh Girah menjadi tujuan utamanya. Karena disana ada ksetra besar.

Cindelaras terdorong untuk melihat dari dekat lokasi ksetra itu. Perjalanan ini juga akan menjadi hiburan karena sudah cukup lama dia tidak keluar padepokan. Selain dirinya, ayamnya juga perlu bersenang-senang.

Namun tidak diduga, tiba-tiba ada suara memanggilnya.

“Cindelaras, kau mau kemana. Aku ikut bersamamu. Aku juga ingin melihat-lihat keadaan. Disini terus menjemukan,” dia menoleh ke belakang.Tidak jauh darinya, berdiri Dewi Candra Kirana.

“Aku tidak keberatan kau ikut. Tapi apakah kau sudah minta ijin dengan Kiageng..,” kata Cindelaras.

“Jangan khawatir, Kiageng pasti mengijinkan. Tunggulah sebentar, aku akan berganti baju,” kata Dewi Candra Kirana.

Tidak lama kemudian, Dewi Candra Kirana sudah mengenakan baju lelaki. Orang tidak akan mengenali lagi siapa dirinya. Kecuali kalau berbicara.

“Ini benar kau, Candra Kirana,” kata Cindelaras menggoda.

“Masak kau tidak mengenali aku,” jawab Candra Kirana.

“Suaranya kenal, tapi dengan pakaian seperti ini orang tidak lagi mengenalimu,” jawab Cinelaras.

“Baguslah kalau begitu. Aku harus menyamar dengan pakaian seperti ini. Agar tidak timbul banyak masalah dijalan,” jawab Candra Kirana.

Pagi hari, ketiga anak muda itu berangkat dari padepokan menuju arah matahari terbenam. Karena perjalanan santai, mereka memilih jalan kaki. Bisa menikmati keindahan alam sepuasnya. Memandang gunung, tebing, air terjun, sungai, sawah dan desa-desa.

“Aku juga ingin lihat jagomu bertarung. Makanya nanti kalau dalam perjalanan ada adu jago kau harus ikut. Selama ini aku hanya mendengar, tapi, belum pernah lihat jagomu bertarung. Kau mau ‘kan?” kata Candra Kirana.

Belum ada jawaban dari Cindelaras, tapi ayam jagonya terlebih dahulu kluruk,”Kukuruyuuuukkkk….”. Suaranya tidak keras, tapi indah dan melengking panjang.

Candra Kirana kaget dan kegirangan.

“Itu Cindelaras, ayam jagomu mendengar apa yang aku katakan. Dia itu ingin bertarung. Lihat itu dia senang sekali mendengar omongan saya,” kata Candra Kirana yang lantas mendekati ayam jago itu.

“Suaramu bagus sekali. Bolehkah aku mendengarnya sekali lagi,” kata Candra Kirana kepada ayam Cindelaras.

Seperti mendengar permintaan Candra Kirana, ayam Cindelaras kluruk lagi. Kali ini dengan suara yang lebih keras. Tapi tetap merdu dan melengking panjang.

Candra Kirana tercengang. Jantungnya bergetar mendengar suara ayam Cindelaras. Ternyata yang dia dengar selama ini benar. Suaranya memang luar biasa.

“Ayamku setuju dengan permintaanmu,” kata Cindelaras pendek.

“Benarkah, apakah kau paham omongannya,” kata Candra Kirana.

“Aku memahami, karena sejak kecil ikut aku. Kami bersahabat cukup lama,” jawab Cindelaras, sedikit menutupi. Sebenarnya dia benar-benar memahami perkataan ayamnya.

Setelah melintasi jalan kecil dipinggir kaki gunung Arjuno, mereka memasuki sebuah desa yang tampak sepi. Mungkin warganya masih bekerja di ladang atau kebun. Atau munkgin sedang istirahat. Mereka melanjutkan perjalanan meninggalkan desa itu.

Mereka bertiga berbicara apa saja. Tidak ada beban sama sekali. Meskipun dia tahu Dewi Candra Kirana itu seorang putri Kerajaan Daha, tapi dia tidak membatasi teman bergaulnya hanya sebatas keluarga kerajaan saja. Dia justru senang berteman dengan warga masyarakat biasa. Seperti beteman dengan Cindelaras dan Aryadipa ini. Hal ini membuat perjalanan menjadi menyenangkan.

“Aku mendengar sorak-sorai dari arah depan. Sepertinya desa disana itu,” kata Aryadipa menunjuk kearah agak jauh didepan.

“Suara apa itu. Apakah suara orang lihat adu jago?” tanya Candra Kirana.

“Mungkin sekali. Ayo kita agak cepat agar bisa ikut melihat,” kata Cindelaras.

Ketiga anak muda itu berjalan lebih cepat. Dipinggir jalan terdapat sebuah lapangan. Cukup luas. Benar, ternyata sedang ada pertandingan adu jago. Penontonnya banyak sekali.

Para penjual makanan sibuk meladeni penjual. Ada yang jual dawet, tepo pecel, ketan, pisang goreng, ketela goreng, minuman kopi. Tapi ada juga yang menjual buah hasil kebunnya, seperti rambutan, nanas, mangga, blimbing, dan jambu.

Candra Kirana beli dawet dan ketan hitam diberi kelapa muda yang diparut. Cindelaras beli tepo pecel dan dawet. Sementara Aryadipa sudah larut dilautan penonton, entah dimana. Dia sudah terbiasa lihat adu jago. Bahkan dia ikut taruhan.

“Kemana Arya,” tanya Candra Kirana.

“Dia sudah masuk arena,” jawab Cindelaras.

Tidak lama kemudian, Aryadipa muncul dengan wajah berseri-seri sambil tersenyum.

“Jagomu sudah saya daftarkan. Tunggu aja disini. Nanti kalau saatnya bertarung akan dipanggil,” kata Aryadipa sambil makan ketela goreng.

Saat enak-enaknya makan, ayam Cindelaras dipanggil untuk tampil bertarung. Setelah membayar mereka masuk arena pertarungan.

Mata penonton tersedot kepada tiga sosok pemuda ini. Yang dua kulitnya kuning bersih dan ganteng. Yang satu sawo matang, badan kurus, tinggi, dan lincah.

Para penonton yang dibelakang merangsek kedepan. Yang diluar berlarian masuk. Penjual makanan menutup dagangannya.Rupanya mereka ingin melihat ayam Cindelaras bertarung. Selama ini hanya mendengar saja dari cerita orang. Tapi sekarang mereka bisa melihat langsung.

Kluruk khas ayam Cindelaras terdengar. Pertanda dia siap bertarung. Tak lama kemudian kedua yam dilepaskan.

Pertarungan berlangsung seru. Kedua ayam saling menyerang. Mata penonton tersedot melihat kedua ayam itu bertarung.

Melihat adu jago itu, Candra Kirana tampak senang sekali. Apalagi saat ayam Cindelaras menyerang, dia tepuk tangan menyemangati.

Dalam rehat, ayam diberi makan dan minum secukupnya. Tidak ada aturan berapa kali rehat atau ronde. Pertarungan diadakan sampai salah satu jago kalah.

Begitu rehat selesai, kedua ayam jago dilepas lagi ke arena. Keduanya segera terlibat pertarungan yang seru. Ayam Cindelaras diam, tidak berputar-putar seperti lawannya. Tapi kedua sayapnya terkepak, kedua matanya melihat gerak lawannya. Saat lawannya menyerang, dia menghindar. Berkali-kali ayam Cindelaras tidak meladeni serangan lawannya. Tetapi matanya tetap memandang kemana pun lawannya bergerak.

Kemudian ayam Cindelaras kluruk sekali, dan dia menerjang kearah lawannya. Kedua kakinya mencakar. Patuknya memukul kepala. Kedua sayapnya memukul dada, dengan pukulan sangat keras. Lawannya jatuh sempoyongan. Tapi segera bangkit lagi.

Cindelaras berdiri tenang disebelah Candra Kirana. Tanpa berkata-kata sedikitpun. Sementara Candra Kirana sangat senang, kadang tepuk tangan, kadang ikut bersorak, dia menikmati pertaurungan ini.

Rupanya pukulan ayam Cindelaras cukup keras, sehingga darah keluar dari mulut ayam lawannya. Lawannya terasa kesakitan, sehingg tidak lincah seperti semula. Hanya diam, sementara darah mengucur terus dari mulutnya. Saat ayam Cindelaras maju, lawannya mundur, hendak lari keluar dari arena. Dia dinyatakan kalah.

Baca Juga:

Saat pertandingan berlangsung itu, tidak disadari ada dua orang yang terus mengamati ayam Cindelaras. Dia memang mengagumi tarungnya. Tapi dia kecewa, karena kalah dalam taruhan itu.

“Aku sudah katakan jangan ikut taruhan, atau kamu bertaruh untuk ayam Cindelaras. Kamu tidak percaya. Sekarang apa maumu,” kata seorang diantara mereka.

“Aku ingin bertaruh lagi. Ayamku sendiri yang akan turun ke gelanggang melawan ayam Cindelaras,” jawab teman satunya yang merasa yakin ayamnya akan menang.

“Urungkan niatmu. Kau akan kalah lagi. Tujuan kita kesini bukan untuk  bertaruh. Tapi menjalankan tugas, mengamati Cindelaras. Sekarang dia sudah muncul lagi. Sudahlah mari kita laporkan ke Kanjeng Tumenggung.”

“Sudah kepalang basah. Kali ini aku akan menang. Jagoku sudah saya beri mantra-mantra khusus. Lihat saja nanti.”

“Terserah kamu. Tapi aku tidak akan ikut taruhan.”

“Lihat saja, kamu akan menyesal nanti kalau tidak ikut taruhan.”

Sebentar kemudian salah satu dari telik sandi Tumenggeng itu sudah memasuki arena. Dia menantang ayam jago Cindelaras untuk bertarung.

Aryadipa tampak tersenyum. Dia mendekat berbicara dengan pemilik ayam untuk merundingkan jumlah taruhan. Dia minta taruhan besar. Sepuluh kali lipat dari sebelumnya. Dia berharap lawannya menolak.

Ada keraguan diwajah lawannya. Rupanya taruhannya terlalu besar. Tiba-tiba ada suara yang memecah suasana.

“Teruskan bertanding. Berapapun yang diminta anak muda ini saya akan penuhi. Tapi syaratnya ayam bertarung sampai mati,” kata orang itu.

Pemilik ayam kaget. Sebaliknya Aryadipa tetap tenang. Dalam hatinya dia girang, karena kemenangan besar didepan mata.

Setelah sepakat, pertaurngan pun akan segera dimulai.

Penonton bersorak. Wajah mereka tampak senang. Karena akan ada pertarungan lagi yang lebih seru. Banyak yang meyakini kali ini ayam Cindelaras bisa dikalahkan. Karena lawannya belum bertanding sama sekali, sementara ayam Cindelaras sudah bertanding sekali.Namun ada juga yang tetap yakin ayam Cindelaras akan menang.

Cindelaras tetap tenang. Sementara Candra Kirana agak khawatir, karena menurutnya pertarungan tidak adil. Lawannya belum bertarung sama sekali. Sementara ayam Cindelaras sudah bertarung.

Cindelaras hanya tersenyum. Membuat Candra Kirana gregetan.

“Kita percayakan saja kepada Aryadipa. Ayam saya tidak apa-apa. Dia justru akan lebih bersemangat lagi dalam pertarungan kedua ini,” jawab Cindelaras meyakinkan Candra Kirana.

“Saya berharap ayammu akan menang lagi, Cindelaras,” kata Candra Kirana.

“Dia tidak akan mengecewakanmu, Kirana,” jawab Cindelaras sambil tersenyum.

Setelah persiapan cukup, kedua ayam jago itu dilepas ke arena. Seketika sorak-sorai penonton membahana. Pertarungan sengit langsung terjadi. Kedua ayam jago itu saling menyerang untuk menjajagi kekuatan lawannya.

Hingga rehat pertama, kedua ayam bertarung imbang. Tidak ada yang terluka.

Baca Juga:

Namun saat babak kedua baru berlangsung, terjadi keanehan. Setelah saling bertaurng dengan keras, tiba-tiba ayam jago Cindelaras  lemas dan jatuh. Padahal tidak ada luka apapun ditubuhnya. Tidak ada suara penonton. Suasana senyap. Tapi karena perjanjiannya bertarung sampai mati, Cindelaras tidak boleh mendekat.

Cindelaras kaget. Belum pernah dia mengalami seperti itu. Tapi dia tetap tenang. Yang tampak bingung adalah Aryadipa dan Candra Kirana.

Cindelaras memandang ayamnya. Dia mencoba untuk berbicara dengan ayamnya. Tentu saja hanya dia dan ayamnya yang tahu.

Ternyata ayamnya terkena pukulan tenaga yang tidak kasat mata. Ada orang dengan ilmu tinggi menyerang ayam itu. Cindelaras memandang ayamnya sambil memohon kepada Yang Maha Agung. Sesaat kemudian dari kedua matanya terasa keluar hawa murni tersalur kepada ayamnya. Keajaiban terjadi. Ayam Cindelaras bangkit kembali dalam keadaan segar. Cindelaras kaget sendiri. Dia tidak tahu kekuatan apa yang keluar dari matanya itu. Tapi dia tetap tenang. Dalam hati dia mengucap terima kasih kepada Yang Maha Agung.

Ayam itu kemudian kluruk keras, “Kukuruyuuuukkkkk……” Suaranya keras, melengking panjang, dan merdu. Mendengar kluruknya, Cindelaras tersenyum. Pertanda ayam jagonya sudah pulih dari luka dalamnya.

Candra Kirana yang sedari tadi cemas, sangat senang melihat ayam jago Cindelaras bangkit lagi. Entah kenapa dia yakin ayam jago itu akan menang.

Sebaliknya, seseorang yang menyerang ayam Cindelaras hatinya menjadi ciut. Bukan saja kaget, tetapi kali ini dia yakin ayam jago yang dia taruhi  akan kalah. Dia bersedekap melipat tangannya. Tersenyum pahit. Rasa optimisnya hancur seketika. Triknya untuk mengalahkan ayam Cindelaras tidak mempan. Padahal biasanya selalu berhasil.

“Ayam ini hebat. Bukan ayam sembarangan. Mestinya dia roboh dan mati. Tapi mampu bangkit lagi. Aku tahu apa yang dilakukan anak muda pemiliknya itu. Dia bisa menyalurkan hawa murni berkekuatan besar. Pantas saja ayamnya segera bangkit lagi. Aku mengagumi anak muda ini. Siapa dia sebenanrnya,” bisik hatinya. Sesaat kemudian setelah pertarungn baru saja dilanjutkan, orang itu diam-diam pergi. Dia sudah yakin akan kalah.

Dan benar, pertarungan belum berjalan lama, ayam Cindelaras bisa mengalahkan lawannya. Terkena pukulan kedua sayapnya, lawannya jatuh tersungkur. Tak lama kemudian mati.

Ayam Cindelaras memang mengandalkan pukuln sayapnya. Karena dia tidak memiliki jalu seperti ayam jago pada umumnya.

“Sudah aku katakan. Jangan meladeni ayam Cindelaras itu.Kamu akan kalah. Jagomu bukan tandingannya. Masih untung kamu tidak kalah uang,” kata seorang telik sandi kepada pemilik ayam yang mati di arena itu.

“Aku sudah senang tadi saat ayam itu tiba-tiba roboh lemas,” jawab pemilik ayam.

“Orang itu, yang membayar taruhan itu menyerang dengan kekuatan tidak kasat mata. Aku yakin. Tapi siapa dia, kemana orang itu kok tiba-tiba menghilang,” kata temannya.

“Enathlah, aku tidak memperhatikannya, tiba-tiba saja dia sudah menghilang. Sepertinya bukan orang sini. Aku belum pernah melihatnya,” jawab pemilik ayam.

Seperti biasanya, Aryadipa setelah menerima uang taruhan, dia membagikannya kepada orang-orang yang sangat membutuhkan. Dia hanya mengambil sedikit.

Candra Kirana sangat senang akhirnya ayam jago Cindelaras menang. Dia lebih senang lagi saat diajak Aryadipa membagikan uang kepada orang-orang miskin disekitar lokasi adu jago itu.

Kedua telik sandi tadi menyaksikan apa yang dilakukan oleh Cindelaras, Aryadipa, dan Candra Kirana. Dia merasa aneh. Uang sebanyak itu dibagi-bagi begitu saja kepada orang-orang miskin. Sekarang dia yakin karena menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Semula tidak percaya, dia anggap cerita yang beredar itu bohong belaka.

“Ayo cepat tinggalkan tempat ini. Kita langsung menuju rumah Ki Tumenggung,” ajak temannya.

“Baik Kakang. Aku hanya heran saja kepada Cindelaras dan temannya itu. Begitu mudahnya mereka membagi-bagi uang sebanyak itu. Tanpa ada keebratan sedikitpun, ” jawabnya.

“Begitulah Cindelaras, tidak usah kamu pikirkan. Anak itu memang aneh,” jawab temannya.

Mereka berdua segera pergi dari lokasi. Bertekad secepatnya melaporkan kejadian ini kepada Ki Tumenggung.

BERSAMBUNG

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K