Oleh: Daniel Mohammad Rosyid
@Rosyid College of Arts
Tadi malam saya mengikuti 2 jam seri Endgame yang dipandegani Gita Wiryawan. Episode kali ini menghadirkan beberapa free-thinkers. Diawali oleh Bivitri, dan diakhiri oleh Sudirman Said. Gita mengawalinya dengan menyebut bahwa peradaban manusia telah mengalami beberapa kali system resetting sejak letusan Toba yang pertama 75000 tahun silam. Bangsa Indonesia juga sebenarnya terbukti cukup kompeten melakukan resetting sejak pergerakan kemerdekaan yang boleh diawali sejak kebangkitan nasional, Sumpah Pemuda, Proklamasi Kemerdekaan dan kelahiran UUD 18/8/1945.
Sayang episode endgame itu gagal mengenali perubahan-perubahan grund norm Republik ini sekalipun kemudian disinggung olen Chandra KPK, dan dalam tingkat tertentu disinggung Said. Bak ledakan Toba, kekuatan eksternal nekolimik selama perang dingin memaksakan resetting melalui UUD RIS 1949, UUDS 1950 dan Dekrit Kembali ke UUD 5/7/1959 yang ditafsirkan Bung Karno sebagai Nasakom. Lalu Soeharto melakukan resetting kembali melalui tafsir Eka Prasetya Pancakarsa yang melahirkan ersatz capitalism.
Mengikuti tahapan pembangunan Rostowian, Soeharto dibantu Habibie nyaris berhasil membawa Indonesia menjadi negara maju. Namun kekuatan-kekuatan nekolimik berhasil membegal agenda Soeharto yang dibantu Habibie itu menjelang Reformasi 1998. Bahkan Habibie pun dijatuhkan oleh kaum reformis yang terbukti kemudian ternyata adalah kelompok sekuler kiri dan liberal radikal yang memanfaatkan kaum nasionalis sebagai useful idiots untuk melakukan total replacement atas UUD 18/8/1945 menjadi UUD 2002 sebagai system resetting.
Luput dari perbincangan Endgame itu, bahwa perubahan norma-norma dasar itu telah menyebabkan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan oleh MPR sebagai lembaga tertinggi negara, diganti dengan kedaulatan partai-partai politik. UUD hasil perubahan 4 kali itu telah memberi monopoli politic as public goods hampir secara radikal, sehingga politik menjadi barang langka yang bisa dibeli oleh mereka yang berduit. Duit menjadi oksigen di jagad politik di rumah UUD 2002 itu, di sana para bandit, badut, dan bandar politik merajalela melakukan glembuk, gendham, dan copet suara rakyat.
Deformasi kehidupan berbangsa dan bernegara di rumah UUD 2002 terus memburuk sehinga meledak di era awal Prabowo memerintah. Deformasi itu membesar dengan cepat di era Jokowi yang berhasil membesarkan ersatz capitalism era Soeharto menjadi full fledged capitalism di era Jokowi. Kesenjangan pendapatan makin parah, sementara kesenjangan spasial diatasi dengan UU IKN, sementara agenda kemaritiman malah mandeg. Deformasi ini meledak di akhir Agutus lalu setelah diawali amuk masa di Pati, namun potensi ledakan baru terus membesar selama ketimpangan ini segera tidak diatasi Prabowo dan para pembantunya.
Bivitri sejak awal menengarai adanya system failure, tapi sebagai liberal thinker, Bivitri tidak mau mengakui kegagalan agenda reformasi yang justru disebabkan anak kandungnya sendiri yaitu UUD 2002. Hemat saya, pemalsuan UUD 18/8/1945 dengan UUD 2002 adalah kegagalan dialog antar-generasi yang memperparah generational gap yang disebut Ryan pemuda asal Makasar pemuja Tan Malaka.
Chandra menujuk kegagalan pemberantasan feodalisme sebagai akar budaya dari kegagalan penegakan hukum dan korupsi. Kerusuhan sosial yang terjadi selalu dihadapi justru dengan polisi dengan perlengkapan yang makin mematikan, dan pengadaan alutsista yang makin canggih, sementara alokasi untuk pendidikan dan kesehatan dilihat mantan Menkeu SMI sebagai beban. Hilmar Farid menyinggung resetting secara internal melalui pendidikan dan peningkatan kualitas guru. Namun ini terhalang oleh keterbatasan fiskal yang habis untuk membayar hutang yang menggunung dan korupsi yang makin meluas, dan meraja lela.
Said kemudian menyinggung akar dari maladministrasi publik sejak UUD 2002 berlaku : rekrutmen legislathieves, judicathieves dan executhieves yang selalu menambah otoritas tapi miskin kredibilitas, tanpa kedekatan dengan Tuhan dan keinginan luhur. Mereka bukan lagi pengurus warga, tapi menjadi penguasa yang pongah dan mengandalkan penegakan hukum atas nama kedaulatan negara, bukan kedaulatan rakyat sebagai pemegang saham Republik. Sejak MPR dikerdilkan menjadi sekedar joint session, NKRI menjadi semacam perusahaan tanpa komisaris yang mengawasi kinerja para direksi yang bisa berbuat sak karepe dhewe, sak enak udhele dhewe.
KITA – Konsolidasi Indonesia Tegakkan Amanat’45 – yang dideklarasikan oleh pemuda Afif Syairozy di Rumah Peneleh, Surabaya, 2 minggu lalu telah menyerukan agar semua aspirasi, potensi, dan aksi rakyat semesta dikonsolidasikan untuk system resetting dengan melaksanakan UUD 18/8/1945 karya ulama dan cendekiawan pendiri bangsa agar kita kembali ke Orde Proklamasi, bukan Orde Baru, sekaligus meninggalkan Orde Reformasi yang telah gagal ini.
Surabaya, 18 September 2025.
EDITOR: REYNA
Related Posts

Off The Record

Novel “Imperium Tiga Samudra” (10) – Perang Para Dewa

Saatnya Meninggalkan Perangkingan

Jejak Dua Tokoh Nasional di Era SBY, Diduga Menitip MRC ke Mantan Dirut Pertamina

Mikul Duwur Mendem Jero

Novel “Imperium Tiga Samudra” (9) – Prometheus

Negeri Yang Menukar Laut Dengan Janji dan Rel Dengan Ketergantungan

Misteri Kebahagiaan

Masa Depan ITS

Novel Imperium Tiga Samudra (8) – Horizon 3



No Responses