Tidak Viral Tidak Terkenal, Fenomena Kekerasan Seksual di Kalangan Anak Muda

Tidak Viral Tidak Terkenal, Fenomena Kekerasan Seksual di Kalangan Anak Muda
Zamal Nasution, PhD.

Oleh: Zamal Nasution, PhD.
Dosen Sekolah Pascasarjana UNAIR

 

A, seorang gadis muda usia 14 tahun mengadukan pria B usia 20 tahun, yang merupakan kekasihnya ke Polres di kota C. Bulan Mei 2024 ini, A hamil 7 bulan. B dilaporkan dengan tuduhan kasus persetubuhan anak di bawah umur. Ancaman hukumannya minimal 7 tahun penjara.

No Viral, No Justice

Pihak keluarga A mengadukan B yang dianggap lari dari tanggungjawab. Tuntutan menikahi A tidak disetujui keluarga B. Selain karena B masih mencari kerja, orang tua B merasa menikah masih terlalu dini. Negosiasi antar keluarga alot dan berujung konflik. Konflik tersebut mengundang berkembangnya isu di lingkungan tentang seorang pria yang memperkosa anak di bawah umur. Piramida hukum dalam benak masyarakat yaitu, viralkan supaya segera mendapatkan keadilan.

Kabar tersebut menyebar di grup-grup media sosial, menjadi pergunjingan. Buah bibir di masyarakat menarik perhatian para jurnalis ikut menyelidiki. Maka, pihak Polres bergegas menindaklanjuti menghindari terjadinya konflik horisontal. Pemanggilan B ke kantor Polres setidaknya dapat mendinginkan situasi.

Kekerasan Seksual oleh Teman Dekat

Menurut data yang diterbitkan di situs Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, selama Januari – Mei 2024, kekerasan seksual didominasi oleh korban perempuan (80%). Dari 8.137 kasus yang ditangani, sebanyak 60% terjadi di pulau Jawa. Secara nasional, kasus terbanyak dilakukan oleh pacar (17,3%), sementara pelaku yang berstatus suami korban sebanyak 15,4%. Korban terbanyak pada rentang usia 13-17 tahun (35%), yakni usia sekolah SMP dan SMA.

Keterkaitan antara data mayoritas pelaku adalah pacar korban, dan korban terbanyak pada usia sekolah menjadi semakin ironis dengan kenaikan angka dispensasi menikah anak. Menurut data Mahkamah Agung, dispensasi menikah yang dikabulkan oleh Pengadilan Agama se-Indonesia pada tahun 2019 sebanyak 24.856 permohonan. Terjadi lonjakan hampir 160% di tahun 2020 yakni menjadi 64.222 permohonan. Angka tersebut sedikit berkurang menjadi 61.449 di tahun 2021, dan turun kembali ke 50.748 di tahun 2022. Alasan terbanyak yang dikabulkan oleh majelis hakim, yakni apabila mempelai perempuan telah hamil atau telah berhubungan seksual.

Orang Tua dan Keluarga Harus Berubah

Pasca pandemik Covid-19, teknologi komunikasi digital dan penyebaran informasi mengubah pola didik dalam keluarga. Anak-anak begitu rentan mengikuti informasi salah yang menyebar dalam lingkungan sebaya. Pacaran sudah diwajarkan sebagai media mengenal lawan jenis. Orang tua semakin sibuk dengan diri sendiri, lelah dengan tuntutan ekonomi yang memaksa bekerja sehingga anak dibiarkan sibuk dengan gadget. Emosi dan mental anak yang masih labil semakin larut dengan pertemanan sehingga semakin sering terlihat anak-anak konvoi sepeda motor malam hari, masuk tempat hiburan, bahkan akses ke penginapan murah.

Fenomena kekerasan seksual di kalangan anak muda dapat dikategorikan sebagai kasus konflik antar individual. Model pacaran yang menormalisasi hubungan seksual beranjak menjadi pelaporan kekerasan menunjukkan rusaknya etika dan moral keagamaan. Orang tua dan ikatan kekeluargaan di lingkungan tempat tinggal semakin individualis, menganggap bahwa urusan personal sifatnya privat. Ia menjadi konsumsi publik jika dianggap perlu diintervensi. Maka, kepentingan anak sering diabaikan karena kepentingan orang tua dan keluarga lebih prioritas. Hubungan seksual anak A dengan B dianggap urusan privat, sementara pelaporan B ke kepolisian diviralkan untuk menutupi lalainya orang tua menjaga anak.

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K