JAKARTA – Presiden Indonesia Prabowo Subianto secara resmi menyatakan bahwa dirinya tidak bergaya otoriter — dan bahkan mengaku rutin menonton podcast yang mengkritiknya sebagai refleksi diri.
Pada sebuah acara publik beberapa hari lalu, Prabowo menyampaikan bahwa lembaga-lembaga negara dan kementerian harus terbuka terhadap kritik dan aspirasi rakyat. “Saya meminta semua kementerian dan institusi negara menerima perwakilan publik dan tetap terbuka atas masukan,” ujarnya.
Sikap ini muncul di tengah sorotan keras dari sejumlah pihak bahwa era kepemimpinannya mulai menampakkan tren militerisasi yang mengkhawatirkan — termasuk pembentukan ratusan batalion baru yang sebagian diberi mandat menembus ranah sipil.
Terdapat dua sisi menarik dari pernyataan “Saya bukan otoriter”:
Sisi optimis: Pernyataan terbuka dari presiden bahwa dirinya mendengar kritik bisa dipandang sebagai upaya transparansi dan responsivitas baru dalam pemerintahan.
Sisi skeptis: Bagi pengamat, ungkapan tersebut menjadi ujian nyata bagi tindakan—apakah kebijakan nyata akan mencerminkan keterbukaan atau justru semakin menguatnya kontrol pusat.
Contoh nyata: Prabowo mengaku menonton podcast tentang dirinya di malam hari untuk mengecek apakah kritik tersebut benar atau hanya fitnah. “Saya tanya diri saya: ‘Apakah saya memang otoriter?’ Saya rasa tidak,” katanya sambil tersenyum.
Daftar tantangan yang menjadi latar: protes publik yang marak terhadap tunjangan besar anggota dewan, kekhawatiran akan peran militer yang semakin meluas, hingga tekanan terhadap kebebasan berekspresi.
Kenapa penting? Pernyataan ini berpotensi menjadi titik balik dalam narasi pemerintahan di Indonesia: dari sosok mantan jenderal menjadi pemimpin yang diukur seberapa jauh benar-benar membuka ruang bagi kritik dan partisipasi publik. Jika hanya menjadi retorika, maka skeptisisme akan tumbuh.
Apa yang bisa diperhatikan ke depan
Apakah lembaga-lembaga negara akan mengubah kultur menjadi lebih terbuka terhadap pengawasan publik?
Apakah kebijakan institusi (termasuk militer dan keamanan) akan tetap berada dalam kerangka penguatan sipil atau justru sebaliknya?
Sejauh mana kritik dari media dan publik akan diterima dan ditindaklanjuti, bukan hanya sebagai simbol.
Dengan demikian, deklarasi “Saya bukan otoriter” bukan sekadar frasa — ia menjadi tantangan yang harus dibuktikan melalui praktik pemerintahan sehari-hari.
EDITOR: REYNA
Related Posts

Ini 13 Ucapan Kontroversial Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa

Purbaya Yudhi Sadewa: Dari Bogor ke Kursi Keuangan — Jejak Seorang Insinyur yang Menjadi Ekonom Kontroversial

The Guardian: Ketika Bendera One Piece Jadi Lambang Perlawanan Generasi Z Asia

Kolaborasi Manusia Dan AI: Refleksi Era Digital di IdeaFest 2025

Digital Counter-Revolution: Mengapa Pemerintah Indonesia Berbalik Takluk pada Media Sosial?

Otonomi Yang Melayani : Menanggapi Cak Isa Anshori dengan Kacamata Tata Kelola Islam

Komik Edukasi Digital dari ITS Jadi “Senjata” Literasi Anak di Daerah Terpencil”

Seni Tergores, Komunitas Bangkit: Bagaimana Dunia Seni Indonesia Pulih Usai Protes Nasional

Patrick Kluivert Dihentikan Setelah 9 Bulan — Apa Yang Salah?

Sentimen Pasar Bangkit, Tapi Bayang-Bayang Inflasi Masih Menghantui



No Responses