Wawancara Eksklusif Dengan Kol (Purn) Sri Radjasa Chandra (2): Dari Godfather ke Grand Strategi Mafia Migas

Wawancara Eksklusif Dengan Kol (Purn) Sri Radjasa Chandra (2): Dari Godfather ke Grand Strategi Mafia Migas
Tangki penampung minyak PT Orbit Terminal Merak (OTM) milik Muhammad Riza Chalid (MRC) yang sekarang dikelola anaknya. Seharusnya setelah 10 tahun menjadi milik Pertamina sesuai skema BOT (Per tanggal tanggal 14 Agustus 2024, maka semua fasilitas kilang PT OTM sudah beralih kepemilikannya ke PT Pertamina Patra Niaga). Tetapi setelah amandemen kontrak skema diubah menjadi BOO, sehingga terminal tersebut tetap dimiliki Riza Chalid

Jejak Panjang Riza Khalid dari Era SBY hingga Prabowo dan Jaring Kuasa yang Tak Pernah Pudar

JAKARTA – Nama Mohamad Riza Chalid, atau yang dijuluki “The Gasoline Godfather”, kembali mencuat. Hingga kini ia masih diburu aparat karena keterlibatannya sebagai tersangka dalam dugaan korupsi tata kelola minyak mentah di PT Pertamina.

Namun, yang jauh lebih menarik dari sekadar status hukumnya adalah: seberapa besar cengkeraman Riza dalam sistem energi nasional? Siapa saja yang berada dalam jaringannya?

Podcast Madilog Forum Keadilan menyingkap sebagian jawabannya. Dalam edisi khusus ini, jurnalis senior Darmawan Sepriyossa berbincang dengan Kolonel (Purn) Sri Radjasa Chandra, mantan intelijen negara yang pernah bertugas di sektor energi. Percakapan mereka membuka lembaran gelap tentang bagaimana bisnis minyak berubah menjadi arena kekuasaan.

Letkol (Purn) Sri Radjasa Chandra, Pemerhati Intelijen

“Dengan nama besar seperti Purnomo Yusgiantoro dan Hatta Rajasa, apakah mereka tidak sadar hanya menjadi kurir bagi kepentingan Riza Khalid?”

Pertanyaan itu meluncur tajam dari Sri Radjasa, mantan intelijen senior yang kini dikenal sebagai analis geopolitik energi. Ia menatap lekat, seolah ingin memastikan bahwa kalimat itu tak sekadar provokasi, tetapi diagnosis atas penyakit lama bernama korupsi struktural.

Menurutnya, hubungan Purnomo, Hatta, dan Riza Khalid sudah berlangsung lama—lebih dari sekadar relasi politik atau jabatan. “Ada semacam balas budi di sana,” ujarnya. “Mereka ini sudah saling terikat oleh kepentingan sejak awal. Karena itu, kerja sama pribadi yang menguntungkan tak bisa dihindari.”

Korupsi Yang Menjadi Fardu Ain

Sri menghela napas sebelum melanjutkan, “Kita ini sudah terbalik secara moral. Di negeri ini, korupsi seolah jadi fardu ain. Yang tidak korupsi malah dianggap berdosa.”

Ia tertawa getir. “Orang jujur kini dianggap aneh. Ini gila, tapi nyata. Sistemnya membuat pejabat merasa wajib ikut arus. Kalau tidak, mereka dianggap musuh.”

Riza Khalid, katanya, hanyalah wajah dari sistem yang lebih besar. “Dia orang yang tahu kapan harus menunduk dan kapan harus menyerang. Mulanya hanya perantara kapal minyak di era Bambang Tri, keluarga Cendana. Tapi dari situ ia belajar satu hal penting: siapa yang menguasai logistik energi, dialah yang menguasai negara.”

Riza Chalid (kiri) dan Purnomo Yusgiantoro (kanan)

Dari Cendana ke Purnomo: Awal Jaringan Global

Setelah tumbangnya Orde Baru, Riza tak tenggelam—justru tumbuh. Ia bertemu Purnomo Yusgiantoro yang kala itu masih aktif di sektor energi internasional. “Purnomo melihat Riza punya bakat lobi tingkat tinggi. Ia lincah, cepat membaca arah pasar. Maka dikenalkanlah ia ke para trader minyak dari Timur Tengah dan Afrika,” kata Sri.

Dari situ, Riza menjelma menjadi penghubung antara penguasa dalam negeri dan pedagang minyak global. “Dia bukan lagi pemain kecil. Ia jadi pengatur harga di bawah meja, pengendali arus kargo, dan penentu kontrak impor,” lanjut Sri.

Menurutnya, inilah awal terbentuknya “grand strategy mafia migas”: menciptakan ketergantungan permanen Indonesia terhadap impor dan perantara.

Kilang yang Sengaja Dibiarkan Tertinggal

“Pernah kita tanya, kenapa dari tujuh kilang Pertamina hanya satu yang modern—Balongan? Itu bukan kebetulan,” ujar Sri.

“Pembangunan kilang baru tidak jalan karena kalau kita mandiri, mafia kehilangan sumber keuntungan. Maka kilang dibiarkan tua, impor dibiarkan besar, dan masyarakat dibiarkan antre.”

Bahkan, lanjutnya, kapasitas penampungan minyak nasional hanya mampu menopang 18 hari pasokan. “Padahal kita mampu membangun kapasitas lebih dari itu. Tapi justru dibuat seolah tidak perlu. Semua agar Pertamina tetap tergantung pada jaringan Riza Khalid dan koleganya.”

Relasi Kuasa dan Nama Besar di Sekitarnya

Ketika ditanya siapa saja tokoh nasional yang memiliki relasi langsung atau tidak langsung dengan Riza, Sri menjawab hati-hati. “Kita bicara tentang korupsi kebijakan—policy corruption,” katanya. “Bukan sekadar suap, tapi penyalahgunaan kewenangan untuk memperkaya diri atau kelompok.”

Ia menyinggung kasus penjualan solar industri di bawah harga subsidi oleh PT Pertamina Patra Niaga kepada sejumlah perusahaan swasta, salah satunya PT Adaro milik Boy Thohir.

“Kerugiannya 9,4 triliun rupiah,” ungkap Sri. “Dan tentu saja publik tahu siapa adik Boy Thohir—Erick Thohir, Menteri BUMN saat itu. Harusnya dia juga ikut bertanggung jawab.”

Namun, menurut Sri, hingga kini belum ada tanda-tanda pemeriksaan terhadap Boy maupun Erick Thohir. “Begitu kasus ini muncul dan Revan—orang dekat Riza—ditangkap, Erick malah menemui Jaksa Agung tengah malam. Ini menimbulkan pertanyaan besar.”

Pertemuan Tengah Malam dan Diamnya Lembaga Hukum

“Harusnya tidak boleh ada pertemuan seperti itu,” tegas Sri. “Jaksa Agung sedang menangani kasus yang melibatkan keluarga menteri, kok malah ditemui langsung jam 11 malam?”

Ia menilai keheningan publik terhadap hal ini disebabkan oleh lemahnya pembagian fungsi antar-lembaga hukum. “Ketika Kejaksaan menangani kasus, KPK dan kepolisian seolah menahan diri. Saling menghormati, tapi kadang jadi saling menahan langkah,” jelasnya.

Siapa yang bisa memecah kebekuan itu? “Hanya Presiden,” jawabnya tegas.

“Kalau Presiden tahu dan diam, berarti pembiaran. Tapi saya yakin Presiden sekarang sudah tahu. Bahkan mutasi Erick Thohir dari Menteri BUMN ke Menteri Pemuda dan Olahraga itu sinyal politik yang jelas. Artinya, kekuasaan mulai berjarak dengan jaringan lama.”

Momentum Hukum dan Publik

Bagi Sri Radjasa, semua kembali ke satu titik: keberanian Kejaksaan Agung.
“Kalau mereka terus diam, itu insubordinasi terhadap perintah Presiden. Dan itu ada pasal pidananya,” ujarnya dingin.

Lalu ia melontarkan kalimat yang menggema: “Riza Khalid bukan sekadar mafia migas. Ia adalah cermin dari negara yang lama menukar akal sehat dengan akal bulus. Tapi era pura-pura sudah habis. Sekarang, kalau hukum berani, sejarah akan mencatat bahwa kita pernah melawan godfather itu.”

Mafia Migas Sudah di Pinggir Jurang

Sri Radjasa menilai Kejaksaan Agung seolah kehilangan momentum dalam mengungkap mega korupsi di tubuh Pertamina. Ia menyebut lembaga hukum itu “tinggal mendorong sedikit saja”, karena kasus mafia migas kini sudah di ujung jurang.

“Jaksa Agung hanya perlu sedikit keberanian untuk mendorong kasus ini ke proses hukum yang sebenarnya,” ujar Sri Radjasa, dalam wawancara khusus yang dilakukan di Jakarta, Senin (10/11/2025).

Menurutnya, Presiden Prabowo Subianto sudah memberi sinyal jelas agar aparat hukum menjadi garda depan dalam membersihkan praktik mafia migas yang selama ini menggerogoti BUMN energi tersebut.

“Presiden sekarang berbeda. Ada perintah langsung agar aparat penegak hukum berani mengambil keputusan hukum terhadap pejabat yang melanggar. Tapi Kejaksaan masih menunggu perintah tertulis. Mereka seperti trauma terhadap bayang-bayang rezim lama,” tegas Sri Radjasa.

Ia menggambarkan situasi di Kejaksaan Agung saat ini masih dipenuhi rasa takut terhadap jaringan kekuasaan era sebelumnya. “Mereka seolah masih menunggu restu dari Presiden, padahal mandat hukum sudah jelas,” ujarnya.

Hatta Rajasa menjadi saksi nikah anak Riza Chalid

Relasi Kuasa dari Era SBY hingga Jokowi

Dalam penjelasannya, Sri Radjasa memaparkan bahwa Riza Halid — yang ia sebut sebagai “Godfather Gasoline” — telah membangun relasi kuasa sejak era Purnomo Yusgiantoro dan Hatta Rajasa.

“Jaringan Riza Halid tidak hanya lintas kementerian, tapi juga lintas rezim. Dari zaman Pak SBY hingga Jokowi, pola permainan dan aktornya sama, hanya topengnya yang berganti,” tutur Sri.

Ia bahkan mengungkap dokumen yang menunjukkan keterlibatan nama besar seperti Hatta Rajasa dalam struktur relasi bisnis migas yang beredar di publik.

“Dalam dokumen pemetaan grup Pertamina, nama Hatta Rajasa dan Riza Halid masuk dalam jaringan strategis yang mengendalikan alur impor dan penjualan BBM,” katanya.

Lebih jauh, Sri Radjasa menyinggung bagaimana Ketua DPR saat itu, Setya Novanto, pernah mengirim surat resmi berkop DPR RI ke Pertamina.

“Bayangkan, surat dengan kop DPR digunakan untuk menagih kewajiban bisnis perusahaan Riza Halid di Merak. Itu melampaui batas etika lembaga negara,” ujar Sri sambil menunjukkan salinan surat tersebut.

Dalam surat itu, Setya Novanto meminta direksi Pertamina mempercepat adendum perjanjian jasa penyimpanan dan penyerahan BBM antara Pertamina dan PT Orbit Terminal Merak — perusahaan milik Riza Halid. “Itu bukti nyata bahwa mafia migas menembus parlemen,” tegasnya.

Surat Ketua DPR Setya Novanto kepada Dirut Pertamina

Daftar Suap dan Tekanan Politik

Sri Radjasa juga mengungkap bahwa hampir sebagian besar anggota DPR pada masa itu menerima aliran dana dari Riza Halid.

“Saya punya teman mantan anggota DPR yang dulu vokal melawan mafia migas. Tapi dia dipanggil Riza Halid, lalu ditunjukkan daftar penerima suap. Hampir semua fraksi ada namanya,” ungkap Sri.

“Setelah itu, dia langsung diam. Bukan karena ikut bermain, tapi karena ditekan fraksinya sendiri.”

Mafia Yang Menjadi Sistem

Sri Radjasa menyebut praktik mafia migas bukan lagi sekadar kejahatan individu, tapi sudah menjelma menjadi sistem.

“Ketika pengusaha dibesarkan dalam kultur profit semata lalu diberi jabatan politik, norma kenegaraan hilang. Yang muncul hanya kepentingan pribadi,” ujarnya.

Ia menegaskan, publik harus terus menekan Kejaksaan Agung agar tidak lagi ragu bertindak. “Sekarang ini bola ada di tangan Jaksa Agung. Kasus ini sudah di pinggir jurang. Tinggal berani didorong atau tidak,” tutup Sri Radjasa.

BERSAMBUNG

EDITOR: REYNA

Baca juga: 

Wawancara Eksklusif dengan Kolonel (Purn) Sri Radjasa Chandra (1): “The Gasoline Godfather” Dan Bayangan di Balik Negara

Last Day Views: 26,55 K