JAKARTA – Nama Mohamad Riza Chalid, atau yang dijuluki “The Gasoline Godfather”, kembali mencuat. Hingga kini ia masih diburu aparat karena keterlibatannya sebagai tersangka dalam dugaan korupsi tata kelola minyak mentah di PT Pertamina.
Namun, yang jauh lebih menarik dari sekadar status hukumnya adalah: seberapa besar cengkeraman Riza dalam sistem energi nasional? Siapa saja yang berada dalam jaringannya?
Podcast Madilog Forum Keadilan menyingkap sebagian jawabannya. Dalam edisi khusus ini, jurnalis senior Darmawan Sepriyossa berbincang dengan Kolonel (Purn) Sri Radjasa Chandra, mantan intelijen negara yang pernah bertugas di sektor energi. Percakapan mereka membuka lembaran gelap tentang bagaimana bisnis minyak berubah menjadi arena kekuasaan.
Dalam lanjutan perbincangan investigatif bersama Sri Radjasa, terungkap bagaimana pusaran mafia migas di Pertamina dan jejaring politiknya telah menjelma menjadi sistem yang menekan, menggoda, dan menjerat banyak kalangan. Sri mengisahkan bahkan seorang aktivis yang dikenal bersih pun akhirnya memilih menjauh daripada ikut terseret ke orbit gelap itu. (Sri Radjasa tidak menyebutkan siapa aktivis yang dimaksud, – red)
“Dia itu aktivis, Kang Darman juga kenal. Tapi karena enggak mau masuk ke orbit situ, dia memilih diam. Saya hormat betul sama orang seperti itu,” ujar Sri Radjasa, suaranya berat dan berulang kali menekankan kata “orbit situ” yang merujuk pada jaringan mafia migas.
Menurutnya, di balik diamnya orang-orang baik, justru ada tekanan yang luar biasa besar. “Riza Halid bukan cuma menekan, dia juga membuka peluang — semacam jebakan. Pola mafia memang begitu. Tapi orang ini enggak tergoda,” kata Sri.
Namun perbincangan beralih tajam ketika pewawancara menanyakan kesiapannya jika dipanggil oleh Riza Halid setelah pernyataannya viral di publik.
Sri tertawa pendek, lalu menjawab tegas: “Kalau dia manggil saya, saya tangkap dia. Karena dia sudah tersangka. Ini bukan main-main.”
Pertemuan Tengah Malam dan Klaim Jaksa Agung
Sri kembali menyinggung pertemuan Erick Tohir dengan Jaksa Agung yang terjadi pada malam hari di tengah memanasnya kasus penjualan solar di bawah harga subsidi.
“Setelah memo itu keluar, ternyata ada pembayaran dari pihak Pertamina. DPR sempat bilang hoaks, tapi akhirnya kami temukan buktinya,” ujar Sri.
Yang paling ia sesalkan adalah pernyataan publik Jaksa Agung yang lebih dulu menyatakan bahwa “Erick dan Boy Tohir tidak terlibat”, padahal penyidikan baru saja dimulai.
“Bagaimana mungkin bisa langsung menyimpulkan tidak terlibat, sementara 13 perusahaan sudah menikmati keuntungan dari harga solar yang disubsidi?” tegasnya.
Dalam kasus itu, kerugian negara ditaksir mencapai Rp9,4 triliun, dan PT Adaro — milik Boy Tohir — disebut menerima keuntungan sekitar Rp100 miliar lebih.
“Pernyataan seperti itu membuat publik berpikir ada sesuatu yang terjadi di balik pertemuan malam itu,” lanjut Sri
Subsidi Terselubung Untuk Oligarki
Sri Radjasa menyebut praktik tersebut sebagai bentuk subsidi terselubung bagi oligarki.
“Solar yang mestinya dijual sesuai harga pasar malah diberikan murah kepada perusahaan besar. Ini bukan cuma pelanggaran administrasi, tapi pelanggaran moral,” katanya.
Ia juga menegaskan bahwa hanya pihak Pertamina Patra Niaga yang diproses hukum, sementara 13 perusahaan penerima keuntungan tidak tersentuh sama sekali.
Ketika ditanya apakah polisi bisa mengambil alih penyelidikan, Sri menjawab tegas:
“Enggak bisa. Selama kasus di tangan Kejaksaan, kepolisian enggak bisa masuk, kecuali kalau terbukti jaksa-jaksanya ikut bermain.”
Keadilan Yang Dikhawatirkan Mati
Sri Radjasa menyuarakan kekhawatirannya bahwa jika pembiaran terus terjadi, publik bisa kehilangan kepercayaan terhadap hukum.
“Kalau terus begini, masyarakat bisa bikin pengadilan jalanan. Ini bukan ancaman, tapi gejala sosial yang nyata,” ujarnya.
Menurutnya, jalan terakhir yang bisa dilakukan publik adalah menyuarakan kebenaran secara terus-menerus, lewat protes, laporan resmi, dan tekanan opini publik.
“Publik harus bikin Kejaksaan merasa terpanggil. Karena ini bukan sekadar angka triliunan, tapi soal marwah hukum,” katanya.
Darurat Korupsi
Dalam bagian akhir wawancara, Sri Radjasa menyinggung aspek moral dan spiritual dari korupsi. Ia bahkan mengutip Surat Ali Imran ayat 161, tentang azab bagi mereka yang berkhianat dalam amanah.
“Kalau di dunia mereka menyelewengkan harta, di akhirat mereka akan membawa tangki minyak itu di punggungnya. Itu janji Allah,” katanya serius.
Namun, Sri menilai bagi banyak pelaku, ayat-ayat seperti itu sudah tak lagi menakutkan.
“Berhala mereka sekarang uang dan jabatan. Bahkan korupsi sudah dianggap ibadah wajib — fardu ain,” sindirnya.
Menurutnya, korupsi di Indonesia sudah berada dalam status tanggap darurat nasional.
“Penanganannya harus seperti operasi bencana. Cepat, tegas, dan melibatkan semua pihak. Kalau perlu, warga negara koruptor besar dicabut, uangnya disita, lalu diusir keluar negeri.”
Prabowo Harus Berani Keluar dari Jalur Normatif
Ketika ditanya apakah Presiden Prabowo Subianto mampu mengubah keadaan, Sri menjawab realistis:
“Kalau Prabowo cuma jalan di garis normatif, enggak bakal selesai. Koruptornya sudah main di luar kotak, presiden juga harus berani di luar kotak.”
Ia menyebut contoh dari Cina, yang setiap tahun memecat ribuan aparat karena korupsi dan justru memperkuat ekonominya.
“Artinya jelas: korupsi itu penyebab kehancuran. Dalam bahasa Latin, korupsi itu ‘corruptus’ — kehancuran dan kerusakan. Dan Indonesia sekarang sudah sampai ke situ,” tutup Sri Radjasa.
Udara sore di ruang wawancara terasa tegang, namun Sri Radjasa Chandra tampak tenang. Dengan suara datar namun tajam, ia membuka tabir gelap yang selama ini hanya bergaung samar di koridor kekuasaan migas.
“Entah teror dalam bentuk ancaman, atau tekanan yang lebih halus,” ujarnya pelan, menatap jauh seakan mengingat banyak wajah yang kini memilih diam.
“Persoalan internal perusahaan sering dijadikan alat tekan bagi mereka yang dianggap melanggar hukum. Itulah bagian dari praktik mafia migas. Mereka tidak main-main.”
Ia berhenti sejenak, menghela napas panjang. “Akibatnya banyak orang memilih berhati-hati… atau justru bergabung dengan mafia itu sendiri demi bisa bertahan di Pertamina. Lama-lama, mereka pun ikut terwarnai.”
Pernyataan itu memunculkan pertanyaan baru dari pewawancara — bagaimana mungkin kerugian negara bisa begitu besar? Sri Radjasa tak ragu menjawab. “Itu karena banyak pihak lebih memilih berdamai,” ujarnya tegas.
“Kalau semua hanya ingin aman, negeri ini akan makin rusak. Kasus mega korupsi Pertamina bukan sekadar soal uang. Ini tentang masa depan bangsa. Kalau dibiarkan, bukan tak mungkin bangsa ini terpecah.”
Baginya, harapan hanya bisa lahir dari tindakan nyata. “Korupsi sudah darurat tingkat satu. Presiden harus bertindak tegas, melakukan operasi pemberantasan besar-besaran,” katanya mantap.
“Dan kalau aparat hukum lamban atau malah berkolusi, presiden harus berani mengintervensi. Tak ada pilihan lain. Siapa pun pejabat yang terbukti korup, sekecil apa pun, harus dipecat.”
Ia lalu menatap tajam, seolah menembus batas kamera di depannya. “Kalau kita hanya bicara normatif tanpa tindakan nyata, negara ini bisa gagal. Bukan kiasan — benar-benar menjadi failed state.”
Pewawancara mencoba menggali lebih dalam: gagal seperti apa? Sri Radjasa menjawab dengan getir.
“Coba lihat, Indonesia kaya raya, tapi makin mundur. Banyak pejabat bicara ‘bersih’, padahal bersihnya cuma karena belum ketangkap. Ada tiga tipe orang bersih di negeri ini,” katanya sambil mengangkat tiga jarinya.
“Pertama, yang bersih karena memang tak suka kotor. Kedua, bersih karena belum dapat kesempatan. Ketiga, bersih karena belum ketangkap.” Ia tersenyum tipis, getir. “Yang terakhir ini, banyak sekali.”
Nama-nama besar sempat ia sebut dengan nada menantang. “Kalau Purnomo Yusgiantoro atau Hatta Rajasa mengaku bersih, ya buktikan di pengadilan. Jangan marah ketika publik bertanya. Ini bukan soal dendam, tapi soal kebenaran.”
Lalu ia mengarah pada dugaan penyalahgunaan subsidi di sektor industri. “Ada 13 perusahaan yang menikmati subsidi BBM di bawah harga pasar. Kalau memang tak terlibat, kembalikan uangnya. Itu uang negara. Kalau terbukti ada kongkalikong, tangkap! Sesederhana itu.”
Pernyataannya terasa seperti cambuk bagi mereka yang terbiasa bermain aman. Namun di balik ketegasannya, Sri Radjasa menyelipkan pesan moral yang dalam.
“Kalau mafia migas bisa memengaruhi direksi, menekan penyidik, membeli opini, bahkan menentukan siapa yang duduk di kursi strategis negara — maka ini bukan lagi sekadar korupsi,” ujarnya dengan nada serius. “Ini soal kedaulatan negara.”
Ia menatap ke arah jurnalis di depannya, lalu berbicara seolah kepada seluruh bangsa. “Kita bisa pura-pura tidak tahu, tapi sejarah tak pernah memaafkan bangsa yang takut pada kebenarannya sendiri. Edmund Burke pernah bilang, ‘The only thing necessary for the triumph of evil is for good men to do nothing.’”
Ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan dengan kutipan dari ajaran agamanya. “Islam sudah mengingatkan, siapa yang melihat kemungkaran ubahlah dengan tangannya. Jika tak mampu, dengan lisannya. Jika tak mampu juga, ubahlah dengan hatinya — dan itu selemah-lemahnya iman.”
Wajahnya menegang, suaranya menurun namun bergetar penuh keyakinan.
“Dalam situasi seperti ini, diam bukanlah netralitas. Diam adalah keberpihakan. Dan keberpihakan itu akan menentukan apakah bangsa ini bangkit… atau hanya menunggu namanya tercatat sebagai kegagalan sejarah.”
Ia menutup percakapan dengan tenang.
“Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.”
“Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh,” jawab pewawancara pelan, sementara gema kata-kata Sri Radjasa masih menggantung di udara — seperti peringatan keras dari seorang yang tak ingin bangsanya jatuh tanpa perlawanan.
TAMAT
EDITOR: REYNA
Baca juga:
Related Posts

Wawancara Eksklusif Dengan Kol (Purn) Sri Radjasa Chandra (2): Dari Godfather ke Grand Strategi Mafia Migas

Judicial Corruption Watch (JCW): Penetapan Tersangka Roy Suryo Dkk Cacat Prosedur

Wawancara Eksklusif dengan Kolonel (Purn) Sri Radjasa Chandra (1): “The Gasoline Godfather” Dan Bayangan di Balik Negara

Hari Pahlawan Diperingati Para Pecundang Negara

Menteri Amran di ITS

Hari Pahlawan dan Krisis Mentalitas Penyelenggara Negara : Sebuah Refleksi

Panitia Dan Kepala Desa Tirak Menolak Rekomendasi Camat Kwadungan, Aliansi Minta Seleksi Diulang

Wakil Ketua Komisi IX Yahya Zaini: Rumah Sakit Tak Boleh Tolak Pasien Darurat, Administrasi Nomor Dua

Viral, Lagi-Lagi Kepala Sekolah MAN 3 Kandangan, Komite dan Humas Diduga Lakukan Pungli, Terancam Dilaporkan ke Polres Kediri

FTA meminta penghentian seluruh proses kriminalisasi dan intimidasi terhadap 8 aktivis dan peneliti







No Responses