Yahudi: Antara Etika Profetik Dan gaza

Yahudi: Antara Etika Profetik Dan gaza
Radhar Tribaskoro, Anggota Komite Eksekutif Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia


Oleh: Radhar Tribaskoro

Sejarah bangsa Yahudi adalah sejarah penuh paradoks. Dari bangsa kecil ini lahir nabi-nabi besar yang berani menegur bangsanya sendiri dengan kata-kata mengguncang. Amos berteriak: “Aku membenci, Aku menghinakan perayaanmu; Aku tidak senang kepada pertemuan rayamu. Tetapi biarlah keadilan bergulung-gulung seperti air, dan kebenaran seperti sungai yang selalu mengalir.” (Amos 5:21,24). Yesaya mengecam raja-raja yang menindas orang miskin, sementara Yeremia menangis menyaksikan kehancuran Yerusalem yang ia tafsirkan sebagai buah dari dosa kolektif.

Tradisi ini menegaskan satu hal: bangsa Yahudi sejak awal sadar betapa besar jarak antara panggilan moral dan praktik politiknya. Para nabi berdiri bukan untuk membela kekuasaan, melainkan untuk menegakkan kebenaran. Mereka sering kali menjadi orang yang paling dibenci oleh bangsanya sendiri, tetapi juga justru paling dibutuhkan dalam momen kejatuhan moral.

Namun, di zaman modern, paradoks itu justru semakin tajam. Bangsa yang dulu menjadi korban penindasan paling brutal kini dituduh melakukan penindasan. Dari pengusiran Babilonia, kehancuran Bait Suci oleh Romawi, hingga Holocaust, Yahudi tampil sebagai korban sejarah. Tetapi setelah berdirinya Israel pada 1948, logika yang dominan bukan lagi etika profetik melainkan survival politik: negara benteng, negara militer, negara yang mengandalkan kekerasan demi bertahan.

Hari ini, dunia menyaksikan tragedi Gaza: ribuan wanita dan anak-anak terbunuh, rumah sakit dan sekolah dibom, kamp pengungsi dihancurkan. Masyarakat internasional menuduh Israel melakukan ethnic cleansing, apartheid, bahkan genosida. Ironi terbesar: bangsa yang pernah menjadi korban pengusiran kini dituduh mengusir bangsa lain.

Etika Profetik dan Kekuatan Bangsa

Salah satu ciri khas bangsa Yahudi dalam sejarah adalah etika profetik. Etika ini menekankan bahwa kehidupan beragama tidak diukur dari ritual semata, melainkan dari keadilan sosial dan kepedulian kepada sesama. Nabi Mikha merumuskannya dengan sederhana: “Telah diberitahukan kepadamu, hai manusia, apa yang baik. Dan apakah yang dituntut Tuhan daripadamu: selain berlaku adil, mencintai kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allahmu?” (Mikha 6:8).

Ketika etika ini dijalankan, bangsa Yahudi mampu bertahan meski berulang kali tercerai-berai. Setelah pembuangan ke Babilonia, misalnya, komunitas Yahudi bangkit kembali di bawah kepemimpinan Ezra dan Nehemia. Mereka tidak memiliki tentara kuat atau kerajaan besar, tetapi mereka membangun ulang masyarakatnya dengan penekanan pada hukum Taurat, solidaritas komunitas, dan keadilan sosial. Inilah salah satu contoh bagaimana etika profetik memberi daya tahan lebih besar daripada kekuasaan politik semata.

Begitu pula pada masa diaspora panjang setelah kehancuran Bait Suci kedua oleh Romawi. Yahudi tersebar di Eropa, Timur Tengah, dan Afrika Utara. Mereka hidup sebagai minoritas tanpa tanah air, tetapi tetap bertahan karena menjunjung nilai pendidikan, hukum, dan solidaritas komunitas. Etika profetik membuat mereka menekankan tanggung jawab moral, sehingga di tengah diskriminasi, mereka tetap mampu berkontribusi.

Contoh lain adalah komunitas Yahudi di Spanyol pada Abad Pertengahan. Sebelum pengusiran tahun 1492, komunitas ini hidup berdampingan dengan Muslim dan Kristen, menghasilkan masa yang disebut Convivencia. Pada periode itu, Yahudi berperan besar dalam filsafat (Maimonides), ilmu kedokteran, hingga penerjemahan karya-karya klasik Yunani. Semua ini lahir karena etika profetik memberi mereka horizon universal: mencari hikmah, melayani sesama, dan menjaga hukum moral.

Namun, ketika etika profetik ditinggalkan, sejarah Yahudi juga menunjukkan pola yang sama: kehancuran. Para nabi menafsirkan jatuhnya Yerusalem bukan semata akibat kekuatan asing, melainkan akibat korupsi moral internal, penindasan terhadap miskin, dan penyimpangan dari hukum. Bait Suci bisa hancur berkali-kali, tetapi akar masalahnya selalu sama: bangsa ini meninggalkan etika profetik.

Individu Besar, Bangsa Kecil

Paradoks Yahudi semakin tampak bila kita bandingkan antara individu Yahudi dengan bangsa Yahudi.

Secara individual, orang Yahudi memberi sumbangan luar biasa bagi peradaban. Albert Einstein membuka jagat relativitas; Jonas Salk menemukan vaksin polio; Hannah Arendt menyingkap bahaya totalitarianisme; Sigmund Freud merevolusi pemahaman tentang jiwa manusia; Franz Kafka dan Saul Bellow memperkaya sastra dunia; Leonard Bernstein dan Steven Spielberg menyumbang karya-karya agung di bidang seni. Meski hanya 0,2% dari populasi dunia, lebih dari 20% penerima Nobel adalah orang Yahudi.

Sebagai minoritas tanpa kuasa politik, Yahudi bertahan hidup dengan kecerdasan, pendidikan, dan kerja keras. Mereka tidak bisa mengandalkan kekerasan, maka mereka mengandalkan intelektualitas. Mereka tidak bisa berkuasa, maka mereka menguatkan solidaritas.

Namun, sebagai bangsa berdaulat dengan negara sendiri, logika yang berlaku adalah logika kekuasaan. Negara Israel lahir dari trauma Holocaust, sehingga membangun dirinya sebagai benteng pertahanan: militer yang kuat, aliansi geopolitik yang kukuh, dan mentalitas survival. Dalam logika ini, tradisi intelektual dan moral Yahudi sering tenggelam. Sejarah besar individu Yahudi ditutupi oleh praktik politik bangsa Yahudi yang memilih kekuatan militer di atas etika profetik.

Kritik dari Dalam

Tradisi profetik Yahudi tidak berhenti di masa lampau. Di era modern, bangsa ini tetap melahirkan pemikir yang menegur bangsanya sendiri.

Hannah Arendt, dalam laporannya tentang pengadilan Adolf Eichmann di Yerusalem, melahirkan konsep the banality of evil—kejahatan terbesar, katanya, bukan dilakukan oleh monster, tetapi oleh orang biasa yang taat pada sistem. Namun Arendt juga menegur Israel: “Being a Jew does not give one license to be unjust.” Kritik itu membuatnya dikucilkan sebagian komunitas Yahudi, tetapi ia tetap teguh pada etika profetik yang ia warisi.

Martin Buber, filsuf dengan gagasan I and Thou, menyerukan koeksistensi dengan bangsa Arab: “Our relation to the Arabs is the touchstone of our relation to humanity.” Bagi Buber, penindasan Palestina bukan sekadar kesalahan politik, tetapi pengkhianatan terhadap Yudaisme itu sendiri.

Yeshayahu Leibowitz bahkan lebih keras. Ia menyebut pendudukan Israel atas Tepi Barat dan Gaza pasca-1967 sebagai “a cancer in the body of Israeli society.” Zionisme, katanya, telah berubah menjadi penyembahan berhala terhadap tanah dan negara: “Religious nationalism is the corruption of religion.” Kritik tajam ini membuatnya dijuluki “nabi kemarahan” Israel modern.

Di luar Israel, banyak Yahudi diaspora juga menolak kebijakan negaranya. Organisasi seperti Jewish Voice for Peace di Amerika Serikat bersuara lantang: “Not in our name.” Mereka menegaskan bahwa keadilan universal, bukan dominasi etnis, adalah inti dari tradisi Yahudi. Dengan demikian, masih ada nabi-nabi baru yang lahir dari bangsa ini, meskipun sering diabaikan oleh logika negara.

Refleksi

Sejarah Yahudi memperlihatkan dua wajah: individu Yahudi yang memberi cahaya peradaban, dan bangsa Yahudi yang sebagai negara justru terjebak dalam kegelapan kekuasaan. Dulu mereka bertahan dan bahkan berjaya karena etika profetik—karena keadilan sosial, solidaritas komunitas, dan kesetiaan pada hukum moral. Kini, ketika etika itu ditinggalkan dan diganti logika militeristik, bangsa Yahudi kembali berada di tepi jurang.

Sejarah mengajarkan bahwa kejatuhan bangsa Yahudi selalu berawal dari dalam: meninggalkan keadilan, menindas yang lemah, dan mengkhianati etika profetik. Jika Israel hari ini terus menutup telinga terhadap suara Amos, Yesaya, Yeremia, Arendt, Buber, dan Leibowitz, maka tidak mustahil bangsa Yahudi akan kembali mengalami pengusiran. Bukan oleh Babilonia atau Romawi, melainkan oleh hukum sejarah yang sama: bahwa kekuasaan tanpa keadilan pada akhirnya meruntuhkan dirinya sendiri.

Maka pertanyaan besar tetap terbuka: akankah bangsa Yahudi memilih kembali ke warisan profetiknya—hidup dengan keadilan, kesetiaan, dan kerendahan hati—atau terus berjalan di jalan kekuatan militer yang hanya mempercepat kejatuhannya? Jawaban atas pertanyaan ini bukan hanya menentukan masa depan Israel, tetapi juga akan menjadi cermin bagi seluruh umat manusia tentang arti sejati dari kekuasaan, keadilan, dan moralitas.

Cimahi, 28 Agustus 2025

Last Day Views: 26,55 K