Yahya Zaini: Cukai Rokok Bisa Picu Gejolak Sosial Jika Industri Terus Ditekan

Yahya Zaini: Cukai Rokok Bisa Picu Gejolak Sosial Jika Industri Terus Ditekan
Yahya Zaini Wakil Ketua Komisi IX DPR RI

JAKARTA – Isu cukai hasil tembakau (CHT) kembali menjadi sorotan tajam, khususnya setelah Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Yahya Zaini, menyebut bahwa beban cukai rokok yang terus meningkat ditambah regulasi kesehatan yang makin ketat dapat menimbulkan efek domino yang tidak diinginkan, mulai dari menurunnya daya saing industri hingga potensi pemutusan hubungan kerja (PHK) massal.

Apa yang Disampaikan Yahya Zaini

Dalam keterangan tertulis yang dikutip Kamis, 11 September 2025, Yahya menyatakan bahwa di satu sisi pemerintah meminta industri rokok untuk membayar cukai yang tarifnya setiap tahun semakin tinggi, tetapi di sisi lain regulasi terkait kesehatan terhadap rokok juga semakin ketat.

“Di satu sisi diminta bayar cukai yang tiap tahun tarifnya semakin tinggi tetapi di sisi lain aturan kesehatan terhadap rokok semakin ketat,” kata Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Yahya Zaini, dalam keterangan yang dikutip Kamis, 11 September 2025.

Yahya menekankan perlunya “kajian mendalam” bukan hanya soal tarif cukai, tetapi juga aturan pendukung seperti Harga Jual Eceran (HJE), pembatasan konsumsi, dan regulasi kesehatan yang membebani.

Sebab, rokok masih menjadi tulang punggung penerimaan negara dengan kontribusi cukai Rp230 triliun tahun ini, dan ditargetkan naik menjadi Rp241,83 triliun pada RAPBN 2026.

Selain itu, serapan tenaga kerja industri tembakau cukup besr sekitar 2 juta orang, baik langsung maupun tidak langsung.

Kenapa Industri & Tenaga Kerja Terasa Tertekan

Beban dan tekanan yang disorot oleh Yahya Zaini dan pihak terkait muncul dari beberapa aspek, diantaranya kenaikan beban cukai dan fluktuasi regulasi

Meskipun pada tahun 2025 tarif cukai hasil tembakau (CHT) tidak dinaikkan, pemerintah tetap menaikkan Harga Jual Eceran (HJE) melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 96 dan 97 Tahun 2024. Kenaikan HJE ini berpotensi mendorong harga rokok ke tingkat yang sulit dijangkau sebagian konsumen dan menekan penjualan.

Selain fiskal, regulasi kesehatan terkait rokok juga makin diperluas. Misalnya, pembatasan iklan, label kesehatan, mungkin larangan‐larangan iklan atau tempat merokok. Peningkatan regulasi ini menambah biaya kepatuhan serta risiko regulatif bagi industri. Yahya menilai bahwa kombinasi regulasi dan fiskal ini terkesan “menduplikasikan beban” pada industri.

Penurunan kinerja keuangan perusahaan besar

Seperti yang dilaporkan oleh PT Gudang Garam Tbk, penurunan laba yang drastis, ditambah potensi PHK, menjadi alarm bahwa industri sedang dalam tekanan berat.

Jika industri rokok terus ditekan tanpa intervensi kebijakan yang mengimbanginya, maka bukan hanya perusahaan yang terdampak, tetapi juga tenaga kerja (buruh), petani tembakau dan cengkeh, serta ekosistem distribusi dan perdagangan kecil. PHK massal menjadi ancaman nyata.

Gejolak sosial

Untuk meredam gejolak sosial yang mungkin muncul, Yahya dan pihak lain melihat beberapa langkah strategis yang bisa dipertimbangkan:

Melakukan kajian menyeluruh atas beban keseluruhan yang ditanggung industri rokok, termasuk tarif cukai, HJE, regulasi kesehatan, dan biaya kepatuhan.

Meninjau kembali HJE agar tidak memberatkan konsumen dan menjaga daya saing produk lokal.

Peningkatan aspek distribusi / Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) untuk mendukung petani tembakau dan cengkeh (termasuk perlindungan gagal panen, modernisasi alat dan mesin pertanian/alsintan, peningkatan kualitas hasil tembakau).

Kebijakan moratorium kenaikan cukai atau minimal pelonggaran tarif bagi industri yang terbukti sangat bergantung pada tenaga kerja secara langsung dan tidak langsung.

Intervensi pemerintah dalam bentuk insentif bagi industri agar dapat beradaptasi terhadap regulasi kesehatan yang semakin ketat, misalnya teknologi kontrol asap, pengelolaan limbah, pengurangan risiko kesehatan pekerja.

Kesimpulan

Pernyataan Yahya Zaini menyerukan alarm: industri hasil tembakau di Indonesia kini berada di titik kritis. Kombinasi kenaikan cukai, regulasi kesehatan, dan tekanan pasar membuat perusahaan rokok dan petani sangat rentan. Kontribusi ekonomi dan tenaga kerja yang besar membuat sektor ini tidak bisa diabaikan begitu saja.

Bila pemerintah tidak segera melakukan langkah‐kebijakan seimbang, bukan hanya penerimaan negara yang bisa terganggu, tetapi juga aspek sosial dan stabilitas ketenagakerjaan. Industri rokok pun perlu ruang gerak, bukan hanya sebagai objek regulasi, tetapi sebagai mitra strategis dalam kebijakan yang adil dan berkelanjutan.

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K