Fiksi Politik
Oleh: Budi Puryanto
Langit malam Nusantara bergetar oleh sesuatu yang tidak biasa. Bukan dentuman bom, bukan pula sirene peringatan, tetapi serangkaian kejadian misterius yang muncul hampir bersamaan di beberapa kota besar: Jakarta, Surabaya, Medan, Makassar, dan Yogyakarta.
Di Jakarta, tepat pukul 22.00, layar reklame raksasa di Bundaran HI tiba-tiba gelap. Sesaat kemudian, simbol Garuda Hitam dengan sayap terbakar merah menyala muncul, disertai pesan singkat: “Kebenaran tidak bisa dibungkam. Ini hanya permulaan.”
Orang-orang berhenti di tengah jalan, menatap layar dengan wajah tegang. Polisi bergegas memutus aliran listrik, tetapi simbol itu sudah direkam, sudah tersebar di media sosial.
Sementara itu, di Surabaya, jembatan Suramadu yang menjadi ikon kota diterangi cahaya laser misterius. Bayangan burung Garuda melayang-layang di kabut malam, seakan mengawasi. Di tepi jalan, ribuan selebaran digital terhempas dari drone, jatuh ke tangan masyarakat. Di dalamnya tertulis tuduhan bahwa Presiden Pradipa telah memanipulasi informasi, lengkap dengan potongan dokumen yang membocorkan transaksi rahasia.
Di Medan, sebuah kantor pemerintahan dilempari cat merah darah. Kamera CCTV menyorot para pelaku bertopeng dengan seragam hitam, meninggalkan grafiti besar di dinding: “Garuda Membara – Rakyat Harus Tahu.”
Di Makassar, jaringan listrik padam selama beberapa menit. Saat lampu kembali menyala, gedung utama pemerintah kota dipenuhi proyeksi visual: wajah Gema dan tulisan besar “Siapa Pengkhianat Sebenarnya?”
Sedangkan di Yogyakarta, sesuatu yang lebih simbolik terjadi. Sejumlah mahasiswa tiba-tiba mengibarkan bendera besar dengan logo Garuda Hitam di atas gedung rektorat. Ribuan orang yang berkumpul bersorak, sebagian merekam, sebagian lagi berteriak nama Gema.
Semua itu bukan kebetulan. Serangan simbolik itu dirancang rapi oleh jaringan Garuda, pasukan bayangan yang selama ini bergerak di bawah radar. Mereka tahu bukan senjata yang dibutuhkan saat ini, melainkan simbol. Simbol yang mampu merobek layar propaganda istana dan menyalakan api keraguan di hati rakyat.
Istana pun terguncang. Presiden Pradipa menggelar rapat darurat tengah malam. Peta nasional di layar besar menunjukkan titik-titik kejadian yang muncul hampir bersamaan. Wajah para pejabat pucat.
“Ini lebih dari sekadar protes,” ujar Kepala BIN dengan suara serak. “Mereka menunjukkan koordinasi tingkat tinggi. Seolah-olah seluruh negeri menjadi panggung.”
Pradipa mengepalkan tinjunya. “Garuda Hitam sudah terlalu jauh. Mereka ingin menjadikan Gema pahlawan rakyat dengan simbol-simbol murahan. Hancurkan semua basis mereka. Siapkan operasi balasan—kali ini dengan tangan besi!”
Namun di luar sana, opini publik sudah mulai bergeser. Media sosial dibanjiri gambar Garuda Hitam, dijadikan poster, avatar, bahkan grafiti jalanan. Tagar #GarudaMembara melesat ke puncak tren.
Seorang analis politik di televisi, dengan suara gemetar, berkata: “Kita menyaksikan babak baru. Gerakan ini tidak lagi sekadar perlawanan politik, tetapi sudah menjadi simbol perlawanan nasional. Jika dibiarkan, legitimasi Presiden bisa runtuh bukan karena dokumen, melainkan karena bayangan Garuda itu sendiri.”
Di sebuah markas rahasia, Seno berdiri di hadapan layar yang menampilkan rekaman semua serangan simbolik. Di sampingnya, Maya duduk dengan wajah penuh luka batin, namun matanya menyala.
“Ini baru awal,” kata Seno pelan. “Garuda Hitam bukan hanya pasukan. Ia sudah menjelma jadi suara yang tak bisa lagi dibungkam.”
Maya mengangguk. “Tapi ingat, semakin besar api, semakin cepat ia bisa melahap kita sendiri. Pertanyaannya… siapkah kita membayar harga itu?”
Seno menatap layar, melihat Garuda hitam berkibar di tengah malam. Dalam diam ia tahu, gelombang baru telah lahir. Dan kali ini, bukan hanya Pradipa yang harus bersiap, tapi seluruh negeri.
Operasi Balasan Pradipa
Pagi itu udara Jakarta berat oleh suara deru tank dan konvoi militer. Di layar televisi nasional, Presiden Pradipa tampil dengan wajah dingin, suaranya tegas dan tak tergoyahkan.
“Rakyatku,” ujarnya, “semalam kelompok pengkhianat bernama Garuda Hitam mencoba menebar teror simbolik di kota-kota kita. Mereka ingin memecah belah bangsa dengan propaganda murahan. Mulai hari ini, Garuda Hitam adalah organisasi teroris nasional. Tidak ada tempat bagi mereka di negeri ini.”
Instruksi itu menjadi palu godam. Dalam hitungan jam, aparat gabungan TNI–Polri menggelar operasi sweeping di kota besar: jalan-jalan ditutup pos pemeriksaan, rumah kontrakan diacak, kantor-kantor organisasi sipil diperiksa. Ratusan orang ditangkap, sebagian hanya karena mencurigakan.
Pradipa tidak sekadar bicara. Ia menurunkan seluruh kekuatan negara. Televisi, radio, bahkan kanal daring penuh dengan narasi tunggal: Garuda Hitam adalah ancaman.
Namun di balik layar, ada operasi lain yang lebih senyap: tim rahasia pimpinan Seno.Tidak banyak yang tahu, bahkan di lingkar dalam istana, bahwa tim kecil itu adalah tangan bayangan Pradipa sendiri. Mereka bergerak bukan untuk menumpas Garuda Hitam secara brutal, melainkan mengupas lapis-lapis strategi, menemukan siapa yang berada di balik simbol hitam itu.
Di sebuah markas tersembunyi, Seno berdiri di depan papan besar penuh peta kota, foto wajah-wajah target, dan benang merah yang menghubungkan. Matanya tajam. “Garuda Hitam sedang coba mengguncang legitimasi negara. Kalau kita biarkan, Pradipa bisa runtuh bukan karena peluru, tapi karena opini.”
Maya, yang kini resmi menjadi bagian dari tim Seno, berdiri di sisinya. Matanya masih menyimpan trauma, tetapi kali ini berbeda: ia tahu anaknya selamat, diamankan oleh orang-orang Seno semalam. Beban itu telah terangkat.
“Aku berutang nyawa padamu,” kata Maya lirih. “Sejak saat itu, aku bukan lagi korban. Aku bagian dari tim ini.”
Seno menoleh sebentar, menepuk bahunya. “Kau tidak berutang apa pun. Kau hanya perlu tetap setia pada misi. Garuda Hitam harus dipetakan, satu demi satu.”
Operasi balasan Pradipa mulai dijalankan dalam dua wajah: keras dan lunak. Militer di depan panggung menciptakan ketakutan. Sementara Seno dan timnya menyalakan operasi senyap: mengurai jaringan logistik, memetakan jalur komunikasi, hingga melacak simpul-simpul yang menghubungkan Garuda Hitam dengan dunia politik.
Tapi ada satu hal yang membuat Seno resah. “Garuda Hitam bukan gerakan biasa,” gumamnya saat rapat tengah malam. “Mereka bukan sekadar bayangan politik. Mereka punya jantung… dan aku curiga, jantung itu ada di tempat yang lebih dekat dengan istana daripada yang kita kira.”
Maya menatapnya, wajahnya tegang. “Maksudmu ada orang dalam?”
Seno tidak menjawab, hanya menyalakan sebatang rokok dan menatap peta di depannya. Benang merah yang ia tarik dari layar informasi mengarah pada satu nama besar—yang tidak mungkin ia sebut sembarangan.
Sementara itu, di istana, Pradipa menerima laporan terbaru. “Operasi sweeping berhasil, Pak. Ratusan ditahan, simpatisan Garuda Hitam mulai terpecah.”
Pradipa hanya mengangguk pelan. Ia tahu itu bukan kemenangan. Garuda Hitam adalah bayangan—diburu bisa lenyap, ditekan bisa pecah jadi ribuan fragmen. Maka ia menunggu laporan dari satu orang saja: Seno.
Di balik semua kekacauan, Pradipa percaya hanya orang itu yang bisa menemukan kunci permainan.
Maya, yang kini resmi berdiri di barisan Seno, memahami satu hal: pertempuran ini bukan sekadar antara negara dan kelompok bayangan. Ini adalah duel legitimasi. Dan di tengahnya, ia harus menjaga tekadnya sendiri tetap utuh—setia pada Seno, sekaligus bertahan dari badai propaganda yang bisa mengubah siapa pun menjadi musuh.
Operasi balasan sudah dimulai. Tapi bagi Seno dan Maya, permainan sesungguhnya baru saja terbuka.
BERSAMBUNG
EDITOR: REYNA
Baca juga:
Api di Ujung Agustus (Seri 22) – Duel Senyap di Rumah Sakit
Api di Ujung Agustus (Seri 23) – Dua Api, Satu Malam
Api di Ujung Agustus (Seri 24) – Kartu As Gema
Related Posts

PBB meluncurkan proses formal untuk memilih sekretaris jenderal berikutnya

Kecerdasan Spiritual Fondasi Kebahagiaan

Kubu Jokowi TawarkanMediasi Kepada Roy cs

Bukan Sekadar Layar: Kehadiran yang Membentuk Hati Anak

TNI AL Amankan Dua Kapal Pengangkut Nikel Ilegal di Perairan Morowali–Konut

Gelar Pahlawan Nasional Untuk Pak Harto (8) : Penghargaan Dunia Dan Jejak Diplomasi Global Indonesia

Apa Mungkin Selama Ini Negara Tidak Tahu?

Buntut Pemusnahan Dokumen, Taufiq Ancam Laporkan Semua Komisioner KPU Surakarta

Kasus Lapangan Terbang Morowali Hanya Kasus Kecil

Habib Umar Alhamid Ingatkan Jangan Ada UU dan Kebijakan “Banci” di Pemerintahan Prabowo


Api di Ujung Agustus (Seri 26) - Bayangan Dalam Istana - Berita TerbaruOctober 7, 2025 at 5:18 am
[…] Api di Ujung Agustus (Seri 25) – Garuda Hitam Membara […]