Karena Ambang Batas pencalonan presiden itu juga menyumbang polarisasi yang tajam di masyarakat, akibat minimnya jumlah calon, terutama dalam dua kali Pilpres, dimana kita hanya dihadapkan dengan 2 pasang calon saja.
Hal itu diperparah dengan semangat antar kelompok untuk selalu melakukan Anti-Thesa atas output pesan yang dihasilkan. Apakah itu dalam bentuk kalimat verbal, maupun simbol dan aksi. Ditambah lagi dengan pola komunikasi elit politik yang juga mengedepankan kegaduhan. Sehingga semakin lengkap pembelahan yang terjadi di masyarakat.
Hingga puncaknya, anak bangsa ini secara tidak sadar membenturkan Vis-à-vis Pancasila dengan Agama. Hanya karena semangat melakukan apapun yang bersifat Anti-Thesa, untuk menjelaskan identitas dan posisi. Padahal tidak satupun tesis yang bisa menjelaskan pertentangan antara Pancasila dengan Agama apapun, termasuk Islam.
Dan kita sebagai bangsa disuguhi kegaduhan nasional yang panjang. Disuguhi pertunjukkan drama kolosal yang sangat tidak bermutu. Dimana sesama anak bangsa saling melakukan persekusi. Saling melaporkan ke ranah hukum. Seolah tidak ada lagi ruang dialog dan tukar pikiran. Dan semakin menjadi lebih parah, ketika ruang-ruang dialog yang ada juga semakin dibatasi dan dipersekusi. Baik secara frontal oleh pressure group, maupun dibatasi secara resmi oleh institusi negara.
Kita menyaksikan sweeping bendera, sweeping kaos, sweeping forum diskusi, pembubaran forum pertemuan dan lain sebagainya, yang sama sekali tidak mencerminkan kehidupan di negara demokrasi. Tetapi lebih kepada tradisi bar-bar.
Inilah dampak buruk dari penerapan Ambang Batas Pencalonan Presiden, atau dalam kasus tertentu juga terjadi di ajang pemilihan kepala daerah. Dimana rakyat dihadapkan hanya kepada dua pilihan.
Saya memahami bahwa berkongsi dalam politik adalah sesuatu yang wajar. Namun menjadi sesuatu yang jahat, ketika kongsi itu
dilakukan dengan mendisain agar hanya ada dua pasang kandidat Capres-Cawapres, yang berlawanan dan akibatnya memecah bangsa, atau sebaliknya seolah-olah berlawanan, tapi sudah didesain siapa yang bakal menang.
Related Posts

Kedaulatan Kompor – Martabat Negara: Orkestrasi Bauran Energi Dapur Rakyat: LPG, DME, Jargas & CNGR

Sedikit Catatan Pasca Pemeriksaan di Polda Metro Jaya (PMJ) Kemarin

Operasi Garis Dalam Jokowi: Ketika Kekuasaan Tidak Rela Pensiun

Penasehat Hukum RRT: Penetapan Tersangka Klien Kami Adalah Perkara Politik Dalam Rangka Melindungi Mantan Presiden Dan Wakil Presiden Incumbent

Negeri di Bawah Bayang Ijazah: Ketika Keadilan Diperintah Dari Bayangan Kekuasaan

Novel “Imperium Tiga Samudra” (11) – Dialog Dibawah Menara Asap

Wawancara Eksklusif Dengan Kol (Purn) Sri Radjasa Chandra (3-Tamat): Korupsi Migas Sudah Darurat, Presiden Prabowo Harus Bertindak!

Wawancara Eksklusif Dengan Kol (Purn) Sri Radjasa Chandra (2): Dari Godfather ke Grand Strategi Mafia Migas

Wawancara Eksklusif dengan Kolonel (Purn) Sri Radjasa Chandra (1): “The Gasoline Godfather” Dan Bayangan di Balik Negara

Republik Sandiwara dan Pemimpin Pura-pura Gila



Kétamine HCLDecember 4, 2024 at 7:29 pm
… [Trackback]
[…] Information to that Topic: zonasatunews.com/tokoh-opini/lanyalla-mengapa-presidential-threshold-harus-dihapus/ […]
pgslotJanuary 24, 2025 at 6:10 pm
… [Trackback]
[…] There you will find 13774 more Information to that Topic: zonasatunews.com/tokoh-opini/lanyalla-mengapa-presidential-threshold-harus-dihapus/ […]