Oleh: Ahmad Cholis Hamzah
Saat debat capres pada Minggu (7/1/2024) lalu Calon presiden nomor urut 2, Prabowo Subianto, diserang rivalnya, Anies Baswedan,. Dengan beraninya Anies menyebut bahwa Menteri Pertahanan tersebut memiliki kekayaan berupa tanah seluas 340.000 hektare, sementara banyak tentara tak sanggup membeli rumah. “Tentara kita separuhnya tidak punya rumah dinas. sementara Menterinya punya lebih 340.000 hektar tanah di republik ini,” kata Anies, menyinggung Prabowo. Ada media yang memberitakan bahwa jika benar tuduhan Anies tersebut, maka tanah seluas 340.000 hektar itu kira-kira hampir 2 kali lipat luas wilayah Kabupaten Bandung. Sebagai konteks, Kabupaten Bandung membentang di atas lahan seluas 176.200 hektar.
Saya mengatakan bahwa – Gak Bahaya Ta?” kata anak muda Surabaya yang berarti apa tidak bahaya bagi Anies karena berani membuka “rahasia” Prabowo didepan publik, sebab yang mengetahui soal penguasaan tanah oleh segelintir orang itu kebanyakan tokoh masyarakat, akademisi, LSM dsb namun tidak semua rakyat mengetahuinya. Dengan munculnya isu penguasaan tanah itu di ajang debat capres, maka rakyat akhirnya mengetahui isu kepemilikan tanah itu. Sebenarnya isu soal kepemilikan ratusan ribu hektare lahan oleh calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto pernah juga diangkat dalam debat capres 2019 antara Jokowi dan Prabowo. Pada waktu itu, Prabowo disebut Jokowi memiliki lahan di Kalimantan Timur (Kaltim) dan Aceh seluas masing-masing 220.000 hektare dan 120.000 hektare dalam bentuk Hak Guna Usaha (HGU). Sementara itu mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) membenarkan soal kepemilikan tanah di Kalimantan. JK mengatakan, Prabowo membeli tanah seluas 220.000 hektare di Kalimantan yang berstatus HGU seharga US$ 150 juta.
Pak Jokowi tentu panik soal kepemilikan tanah yang merupakan isu sensitif dibuka oleh Anies Baswedan karena Anies memakai referensi data yang pernah diungkapkan pak Jokowi sendiri. Pak Jokowi jadinya “ewuh pakewuh” dengan pak Prbowo yang saat ini sebagai “sahabat politiknya” sebagai the main driver untuk memenangkan putranya yang menjadi cawapres.
Pada tahun 2017 an almarhum Buya Syafii Maarif, mantan Ketua PP Muhammadiyah mengatakan “Sebanyak 80 persen tanah di negeri ini dikuasai oleh konglomerat dalam negeri, kemudian 13 persen asing. Artinya hanya tujuh persen sisanya yang dibagikan pada 250 juta orang (warga Indonesia),” kata Syafii Maarif dalam diskusi bertema Bersama Publik Perkuat Rezim Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme di kantor PPATK, Jakarta, Selasa, (19/12/2017).
Sementara itu KH. Said Aqil Siradj mantan Ketua Umum PBNU pernah menyinggung isu penguasaan lahan di Indonesia. Saat berpidato dalam acara Musyawarah Nasional VI Ikatan Alumni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) di Grand Ballroom Hotel JS Luwansa, Jakarta Selatan, Jumat (20/7/2018), Said mengatakan, ada pengusaha yang menguasai lahan di Indonesia dalam jumlah besar. “Ada orang, konglomerat, yang menguasai tanah sampai 5,5 juta hektar,” ujar Said Aqil Siradj. Ia kemudian merujuk sejumlah tetangganya di kampung halaman, Cirebon, yang menurut dia kapasitas ekonominya tidak meningkat dari tahun ke tahun. “Tapi yang namanya Solikhin, Djumadi, satu jengkal lahan saja enggak punya,” kata dia. Said Aqil pun mendorong pemerintah Joko Widodo untuk menciptakan keadilan di dalam distribusi lahan.
Beberapa menteri pernah mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia itu bagus dibandingkan dengan beberapa negara lain, karena disaaat krisis ekonomi akibat ketidak pastian kondisi ekonomi global, tapi Indonesia masih bertahan karena mampu mengelola perekonomiannya. Namun kalau melihat kenyataaan sedikit orang di negeri yang penduduknya berjumlah 270 juta orang ini – menguasai 80% tanah untuk kepentingan bisnisnya, maka pertumbuhan ekonomi yang dikatakan baik itu sebenarnya semua karena adanya ketimpangan kepemilikan sumber daya ekonomi.
Di dalam konstitusi Indonesia sebagaimana Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 dinyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Hampir semua warganegara Indonesia yang mengenyam pendidikan tentu faham dengan bunyi pasal 33 ayat 3 tersebut, namun tidak semua orang faham bahwa sebagian besar sumber daya ekonomi dalam hal ini berupa tanah hanya dikuasai oleh segelintir konglomerat yang menguasai ekonomi hajat hidup orang banyak.
Di paragraph 2 artikel saya ini menanyakan apa tidak bahaya bagi Anies (karirnya, reputasinya, bahkan keselamatannya) karena dengan berani dan terbuka membuka kotak pandora berupa penguasaan tanah oleh pejabat negara dimana tidak semua rakyat mengetahuinya – karena Anies berrhadapan head to head dengan para penguasa politik maupun bisnis di negeri ini.
Wallahu Alam.
EDITOR: REYNA
Artikel sama dimuat di Optika.id
Related Posts

Kedaulatan Kompor – Martabat Negara: Orkestrasi Bauran Energi Dapur Rakyat: LPG, DME, Jargas & CNGR

Sedikit Catatan Pasca Pemeriksaan di Polda Metro Jaya (PMJ) Kemarin

Operasi Garis Dalam Jokowi: Ketika Kekuasaan Tidak Rela Pensiun

Penasehat Hukum RRT: Penetapan Tersangka Klien Kami Adalah Perkara Politik Dalam Rangka Melindungi Mantan Presiden Dan Wakil Presiden Incumbent

Negeri di Bawah Bayang Ijazah: Ketika Keadilan Diperintah Dari Bayangan Kekuasaan

Novel “Imperium Tiga Samudra” (11) – Dialog Dibawah Menara Asap

Wawancara Eksklusif Dengan Kol (Purn) Sri Radjasa Chandra (3-Tamat): Korupsi Migas Sudah Darurat, Presiden Prabowo Harus Bertindak!

Wawancara Eksklusif Dengan Kol (Purn) Sri Radjasa Chandra (2): Dari Godfather ke Grand Strategi Mafia Migas

Wawancara Eksklusif dengan Kolonel (Purn) Sri Radjasa Chandra (1): “The Gasoline Godfather” Dan Bayangan di Balik Negara

Republik Sandiwara dan Pemimpin Pura-pura Gila




No Responses