Oleh: Ahmad Cholis Hamzah
Banyak negara termasuk Indonesia mengikuti sikap negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan sekutunya negara-negara Eropa dalam hal kebebasan berpendapat atau Freedom of Speech. Para pendiri negara kita juga sudah memasukkan perlindungan kebebasan berpendapat itu di pasal 28 UUD 1945. Negara-negara maju itu seringkali melontarkan protesnya secara resmi apabila ada negara yang mengekang kebebasan pers apalagi melakukan persekusi terhadap insan pers. Sampai banyak poster yang dibawa demonstran tentang kebebasan pers itu tertulis Journalism is not a crime atau jurnalisme itu bukan tindakan kejahatan.
Namun dalam pergolakan politik global dimana negara-negara maju merasa terusik dengan munculnya kekuatan baru yang melawan hegemoninya seperti Cina, Rusia, India, Iran, negara-negara selatan atau yang disebut the global south, maka negara-negara maju itu tidak segan-segan melakukan kebijakan keras yang berlawanan dengan ideologinya sendiri soal kebebasan pers. Para jurnalis independen yang bergerak di media alternatif yang secara terbuka mengkritik Israel, standar ganda barat, dukungan barat terhadap Ukraina dsb satu persatu di persekusi.
Hampir semua media internasional mewartakan penangkapan Pavel Vateryevich Durov milyuner muda dan ganteng pendiri dan CEO aplikasi media Telegram pada tanggal 24 Agustus ditangkap pemerintah Perancis. Pavel Durov yang kelahiran Leningrad (sekarang St. Petersburg) Rusia pada 10 Oktober 1984 dan sekarang menjadi warganegara Perancis ditangkap aparat Perancis di bandara Bourget di luar kota Paris. Dia mendarat di Perancis setelah bepergian keluar negeri dengan pesawat pribadinya. Pihak aparat keamanan Perancis masih melakukan penyeledikan atas kesalahan-kesalahannya.
Seperti diketahui Telegram terenkripsi, dengan hampir satu miliar pengguna, sangat berpengaruh di Rusia, Ukraina, dan republik bekas Uni Soviet. Ini diperingkatkan sebagai salah satu platform media sosial utama setelah Facebook, YouTube, WhatsApp, Instagram, TikTok, dan Wechat.
Sebelumnya tanggal 21 Agustus 2024 Scott Ritter seorang mantan perwira Marinir AS dan mantan inspektur senjata Perserikatan Bangsa-Bangsa rumahnya di Delmar, New York digledah FBI dan semua dokumen, draft buku yang akan diterbitkan, laptop, HP miliknya disita. Sang mantan perwira Marinir ini dikenal dengan analisanya yang tajam tentang strategi militer dan sering mengkritik kebijakan pemerintahnya sendiri dalam membantu mati-matian Israel dan Ukraina.
Sebelum peristiwa diatas, Ritter mengatakan kepada TASS bahwa dia telah diminta keluar dari pesawat penerbangan dari New York ke Istanbul dimana dia bermaksud melakukan perjalanan ke Rusia untuk mengambil bagian dalam Forum Ekonomi Internasional St. Petersburg (SPIEF). Paspornya disita, kata Ritter, menambahkan bahwa pejabat AS tidak mengklarifikasi alasan mengapa dia dihentikan meninggalkan negara itu, hanya mengatakan bahwa itu dilakukan berdasarkan instruksi dari Departemen Luar Negeri AS. Seorang juru bicara departemen mengatakan kepada TASS bahwa badan tersebut “tidak dapat mengomentari status paspor warga negara AS.”
Richard Medhurst, seorang jurnalis independen warga negara Inggris keturunan Siria yang dikenal membela hak Palestina untuk melawan apartheid, pendudukan, dan kejahatan Israel lainnya, mengatakan pekan ini bahwa dia baru-baru ini ditangkap di Bandara Heathrow London dan ditahan selama hampir 24 jam karena diduga bertentangan dengan undang-undang anti-terorisme yang sangat kontroversial yang menurut para kritikus digunakan untuk membungkam perbedaan pendapat yang sah.
Medhurstjurnalis muda yang dikenal karena karyanya menentang kejahatan perang AS, Inggris, dan Israel di Timur Tengah dan karena advokasinya untuk pendiri WikiLeaks Julian Assange yang sebelumnya dipenjaramengatakan di media sosial : “Saya mengkritik Undang-Undang Terorisme sebelum naik pesawat, kemudian ditangkap di bawah Undang-Undang Terorisme saat mendarat.”
Martin Jay seorang wartawan terkenal yang pernah tinggal di Kenya, Belgia, Libanon dan sekarang di Maroko waktu ditanya reporter TV Rusia RT tentang penangkapan Pavel Durov pendiri dan CEO Telegram itu apakah itu keputusan pemerintah Perancis saja. Martin menjawab tidak!; dia yakin bahwa hal itu atas desakan Amerika Serikat dan Israel karena Telegram dianggap merugikan negara barat dan Israel.
Jadi kebebasan pers saat ini hanya ilusi belaka.
Editor : Reyna
Related Posts

Kedaulatan Kompor – Martabat Negara: Orkestrasi Bauran Energi Dapur Rakyat: LPG, DME, Jargas & CNGR

Sedikit Catatan Pasca Pemeriksaan di Polda Metro Jaya (PMJ) Kemarin

Operasi Garis Dalam Jokowi: Ketika Kekuasaan Tidak Rela Pensiun

Penasehat Hukum RRT: Penetapan Tersangka Klien Kami Adalah Perkara Politik Dalam Rangka Melindungi Mantan Presiden Dan Wakil Presiden Incumbent

Negeri di Bawah Bayang Ijazah: Ketika Keadilan Diperintah Dari Bayangan Kekuasaan

Novel “Imperium Tiga Samudra” (11) – Dialog Dibawah Menara Asap

Wawancara Eksklusif Dengan Kol (Purn) Sri Radjasa Chandra (3-Tamat): Korupsi Migas Sudah Darurat, Presiden Prabowo Harus Bertindak!

Wawancara Eksklusif Dengan Kol (Purn) Sri Radjasa Chandra (2): Dari Godfather ke Grand Strategi Mafia Migas

Wawancara Eksklusif dengan Kolonel (Purn) Sri Radjasa Chandra (1): “The Gasoline Godfather” Dan Bayangan di Balik Negara

Republik Sandiwara dan Pemimpin Pura-pura Gila




No Responses