Oleh: M. Isa Ansori
Kolumnis dan Akademisi, Pernah Terlibat Sebagai Aktivis Reformasi 98
Pagi ini sambil mendengar lantunan lagu Ikhsan Sekuter “Bingung” yang berisi kegelisahan sulitnya menjadi manusia yang manusia dinegeri yang katanya beragama dan menempatkan Ketuahanan sebagai pembuka dan keadilan sosial sebagai pamungkas bernegara. Kemudian lagu Iwan Fals “Galang Rambu Anarki” yang menggamabarkan betapa pilu dan susahnya rakyat menanggung beban akibat ulah para pemimpinnya, dan Tausiah Cak Nun tentang rakyat ini salah apa sehingga kalian tega berbuat dzalim kepada mereka serta lagu perjuangan buruh mahasiswa , rakyat dan petani serta masyarakat sipil, takutnya kekuasaan Orba kembali lagi yang mengebiri demokrasi , Lalu mendengar ucapan yang bernada merendahkan rakyat dan demokrasi, meski dimaksudkan sebagai sebuah ungkapan peribahasa, biarlah anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu. Sebuah argumen keliru dan menimbulkan kegaduhan bagi tegaknya demokrasi. Kegelisahan membuncah sehingga lahirlah sebuah tulisan ini. Tulisan ini hanya berusaha merekam peristiwa yang terjadi saat ini.
Dalam khazanah peribahasa, kita mengenal ungkapan “Biarlah anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu.” Namun, di negeri yang katanya demokrasi ini, tampaknya kita harus membalikkan narasi tersebut: “Biarlah anjing berlalu, kafilah tetap menggonggong.” Sebab kini, bukan rakyat yang berhak bersuara, melainkan para penguasa yang menggonggong, menghardik, dan mencap siapa pun yang berani mengkritik sebagai musuh negara. Rakyat harus tetap bersuara karena watak kekuasaan anjing akan tetap berlalu tak peduli suara rakyat.
Demokrasi yang sehat membutuhkan kritik sebagai pupuknya. Namun, apa jadinya jika kritik itu dianggap sebagai hama yang harus dimusnahkan? Rakyat yang mengungkapkan kegelisahannya akan harga sembako yang melambung, kebijakan yang tidak berpihak, atau keadilan yang diperdagangkan justru dituduh sebagai perusuh, penyebar hoaks, atau bahkan musuh negara. Seolah-olah dalam negeri ini, rakyat hanya boleh memuji, sementara menyampaikan keluhan adalah tindakan kriminal.
Watak Anjing Kekuasaan
Mengapa mereka begitu alergi terhadap kritik? Barangkali, ini soal watak. Seperti anjing yang setia pada majikannya, para penguasa yang lupa diri akan setia kepada kekuasaannya sendiri. Mereka tidak peduli dengan jeritan rakyat karena yang mereka dengar hanyalah suara-suara yang memuja dan menyanjung. Mereka tak mau mendengar, karena bagi mereka, kebenaran hanya milik penguasa.
Watak ini bukan barang baru dalam sejarah. Kita pernah melihat bagaimana seorang raja yang dikelilingi para penjilat akhirnya runtuh karena tak mampu mendengar suara rakyatnya. Atau, seorang pemimpin yang begitu haus kekuasaan, hingga menganggap rakyat tak lebih dari angka di kertas suara, yang setelah pencoblosan selesai, mereka dilupakan.
Di negeri ini, kita tak kekurangan contoh. Seorang pemimpin yang saat kampanye begitu manis merangkul rakyat kecil, setelah berkuasa justru sibuk mengamankan kursinya. Kritik para buruh dianggap ancaman, jeritan petani diabaikan, dan demonstrasi mahasiswa dibalas dengan gas air mata. Bukankah ini potret pemimpin yang hanya ingin menggonggong, tapi tak ingin mendengar?
Sebagaimana lagu perjuangan Buruh Tani yang sering dinyanyikan dalam aksi perlawanan, “Buruh tani mahasiswa rakyat miskin kota, bersatu padu rebut demokrasi.” Nyanyian ini adalah simbol perlawanan terhadap ketidakadilan, suara yang tidak bisa dibungkam begitu saja. Begitu pula dengan lagu Galang Rambu Anarki karya Iwan Fals, yang menggambarkan betapa rakyat kecil harus menanggung derita akibat kebijakan yang tak berpihak.
Rakyat Harus Berbuat Apa?
Jika demokrasi adalah panggung, maka rakyat harus tetap menjadi aktor utama, bukan sekadar figuran yang muncul lima tahun sekali. Rakyat harus terus bersuara, meski suara itu dicoba dibungkam. Kita harus tetap menjadi kafilah yang menggonggong, bukan anjing yang patuh tanpa berpikir.
Caranya? Bisa dimulai dari hal sederhana: menyebarkan informasi yang benar, mengedukasi sesama, dan tidak terjebak dalam politik pecah-belah. Gunakan hak suara dengan bijak, bukan sekadar berdasarkan iming-iming sesaat. Jangan biarkan mereka yang tak peduli terhadap rakyat kembali berkuasa hanya karena retorika manis yang diulang setiap musim pemilu.
Sebagaimana ungkapan Cak Nun, “Rakyat ini salah apa ke kamu, sehingga kamu tega berbuat zalim kepada rakyat?” Pertanyaan ini seharusnya menjadi renungan bagi mereka yang berkuasa. Rakyat tidak pernah meminta banyak, hanya ingin hidup layak, aman, dan sejahtera. Namun, mengapa justru mereka yang harus menanggung ketidakadilan?
Saat ini, gelombang perlawanan terhadap pengesahan UU TNI-Polri menunjukkan bahwa rakyat belum mati rasa. Mahasiswa, buruh, tani, dan masyarakat sipil turun ke jalan untuk menolak pengembalian negeri ini ke zaman Orde Baru, yang jelas-jelas merupakan musuh reformasi dan musuh demokrasi. Kita tidak boleh membiarkan sejarah kelam itu terulang. Jika hari ini kita diam, maka esok kita akan kehilangan hak-hak kita selamanya.
Sejarah telah membuktikan bahwa rakyat yang bersatu bisa menumbangkan tirani. Salah satu contoh nyata adalah Revolusi Mawar di Georgia pada tahun 2003. Dengan semangat damai, rakyat Georgia bangkit melawan korupsi dan pemerintahan yang menindas. Mereka turun ke jalan membawa bunga mawar sebagai simbol perjuangan tanpa kekerasan, hingga akhirnya rezim yang tak peduli pada rakyatnya tumbang. Ini adalah bukti bahwa suara rakyat, jika dikonsolidasikan dengan baik, mampu mengguncang kekuasaan yang dianggap tak tergoyahkan.
Reformasi bukan sekadar peristiwa masa lalu, melainkan amanah yang harus terus dijaga. Mereka yang berjuang hari ini adalah penerus semangat 1998, yang tak ingin melihat demokrasi diinjak-injak oleh mereka yang bernafsu menggenggam kekuasaan absolut. Ingatlah, ketika rakyat bersatu, tak ada kekuatan yang bisa membendungnya.
Dalam sejarah, kekuasaan yang mengabaikan rakyat tak pernah bertahan lama. Pemimpin yang menutup telinga akan terkejut saat rakyat yang mereka abaikan akhirnya bersatu dan menuntut haknya. Karena meskipun anjing bisa menggonggong sekeras apa pun, jika rakyat tetap teguh berjalan, maka suara gonggongan itu tak lebih dari sekadar kebisingan di kejauhan.
Maka biarlah anjing berlalu, kafilah harus tetap menggonggong. Dalam demokrasi yang sehat, suara rakyat bukanlah gangguan, melainkan penentu arah bangsa. Sambil beristigfar dan memohon kepada tangan Tuhan untuk tetap menggerakkan semangat rakyat, buruh, tani, mahasiswa, masyarakat sipil dan para cendikiawan agar tetap berada dibarisan menyelamatkan negeri dari ancaman tirani.
Surabaya, 22 Maret 2025
EDITOR: REYNA
Related Posts

Pasang Badan

Relawan Sedulur Jokowi Tegaskan Tetap Loyal Kepada Jokowi

Bobibos: Energi Merah Putih Dari Sawah Nusantara Yang Siap Guncang Dunia

Puisi Kholik Anhar: Benih Illahi

Kepala Sekolah SMA Negeri 1 Patianrowo Nganjuk dan Komite Diduga Lakukan Pungli, Terancam Dilaporkan ke Polres Nganjuk

Aksi Selamatkan Hiu: Pemuda Banyuwangi Kembangkan Aplikasi Berbasis Kecerdasan Buatan untuk Identifikasi Spesies Hiu Secara Akurat

Pemilu Amerika 2025: Duel Sengit AI vs Etika di Panggung Politik Dunia

Jakarta 2030: Ketika Laut Sudah di Depan Pintu

Dari Wayang ke Metaverse: Seniman Muda Bawa Budaya Jawa ke Dunia Virtual

Operasi Senyap Komisi Pemberantasan Korupsi: Tangkap Tangan Kepala Daerah dan Pejabat BUMD dalam Proyek Air Bersih



No Responses