Oleh: Budi Puryanto
Sudah hampir sepekan Cindelaras berada dipenginapan, tanpa aktifitas yang berarti. Kegiatannya, kalau pagi memandikan ayam jagonya, memberi makan, minum, dan sedikit ramuan jamu, agar kesehatannya tetap terjaga. Habis itu sarapan dan minum kopi.
Siang harinya kalau tidak tidur, ngobrol dengan Aryadipa. Kadang dia berjalan-jalan di desa dan disawah sekitar penginapan. Dia tidak ingin cepat-cepat pergi dari penginapan itu.
Pagi itu, sehabis sarapa nasi pecel dengan tempe dan telur goreng, dia minta kepada pengelola penginapan, agar seperangkat gamelan yang ada di penginapan itu dimainkan. lalu beberapa wiyogo penabuh dan sinden didatangkan. Gending-gending Jawa dilantunkan. Cindelaras amat menikmati pagelaran itu. Dilubuk hatinya terdalam, seperti tidak asing dengan gending-gending itu. Memberikan ketenanangan. Juga, jiwanya menjadi tenteram. Gejolak jiwa mudanya yang membara seperti disiram air dingin yang menyegarkan.
Para seniman desa yang tampil memainkan gamelan merasa senang sekali. Mereka diberi imbalan tali asih yang cukup besar oleh Cindelaras. Mungkin yang terbesar dari yang pernah dia dapatkan selama manggung dalam acara hajatan. Mereka juga merasa sangat senang karena bisa bertemu dengan anak muda yang selama ini hanya didengar namanya saja. Nyaris seperti dongeng. Tapi kali ini benar-benar nyata.
Para sinden perempuan yang masih muda-muda terpana dengan wajah ganteng Cindelaras. Sedari tadi mereka sering curi-curi pandang saat melantunkan tembang. Tapi Cindelaras tidak menyadari. Dia hanyut dalam alunan tembang-tembang Jawa yang indah itu.
“Ini titisan Raden Kamajaya. Wajahnya ganteng sekali. Kulitnya kuning bersih tak bernoda setitikpun,” kata seorang sinden kepada temannya. Temannya hanya mengiyakan saja.
“Tidak menduga kita bisa bertemu dengan Cindelaras saat ini. Kamu mimpi apa tadi malam,” kata sinden satunya.
“Aku malu kenapa hanya berpakaian seadanya. Tidak merias wajah sebaik mungkin,” celetuk sinden lainnya.
Mereka benar-benar kaget. Tidak ada dalam mimpinya akan bertemu dengan Cindelaras. Pengelola penginapan itu juga tidak mengatakan apa-apa sebelumnya. Dia hanya minta untuk tampil nyinden menghibur tamu seperti biasanya.
“Uh, kalau saja tahu yang minta Cindelaras…,” gumam para sinden seperti berbisik dengan temannya sesama sinden.
Sesaat kemudian, tetua rombongan seniman itu berbicara.
“Raden Cindelaras, kawula menghaturkan terima kasih atas pemberian anugerah yang besar ini. Tali asih ini amat besar bagi kami. Cukup bagi kami semua untuk hidup bersama keluarga dalam beberapa bulan,” ujar orang yang dituakan dalam kelompok seniman itu.
“Jangan panggil aku Raden, paman. Aku orang biasa seperti paman semua. Kita sama-sama warga negeri Jenggala ini. Kita sama-sama minum dan makan dari bumi Jenggala ini. Panggil saja aku Cindelaras,” kata Cindelaras dengan tenang dan santun
“Tidak, anakmas. Anakmas tidak seperti kami rakyat Jenggala pada umumnya. Anakmas lebih pantas menjadi seorang pangeran. Anak seorang raja dinegeri besar seperti Jenggala ini. Sayangnya pangeran Jenggala tidak seperti anakmas Cindelaras. Memang kalau menilik usianya mungkin seumuran dengan anakmas. Tetapi tabiatnya buruk, bertolak belakang dengan anakmas Cibdelaras,” kata seorang lagi.
Mendengar penjelasan itu, hampir saja Cindelaras “keprucut” omongannya. Namun akhirnya dia bisa menahan diri untuk tidak membuka tabirnya. Dia hanya akan membuka tabir dirinya dihadapan Raja Jenggala secara langsung. Itu pesan ibunya yang harus dipegang erat-arat. Ibunya juga menitipkan barang yang tidak boleh dibuka oleh siapapun, kecuali sang raja.
Baca Juga:
- Cindelaras Nekad Ikut Adu Jago, Meskipun Raja “Cawe-Cawe” Menjegalnya – (Bagian 7)
- Cindelaras Nekad Ikut Adu Jago, Meskipun Raja “Cawe-Cawe” Menjegalnya – (Bagian 8)
Dari penjelasan para seniman itu, Cindelaras menjadi tahu adanya seorang pangeran di istana. Tapi mengapa mereka mengatakan tabiat pangeran itu buruk. Cindelars makin tergoda untuk bertanya lebih jauh.
“Apa maksud paman pangeran Jenggala tabiatnya buruk. Bukankah seorang pangeran akan menggantikan kedudukan raja nantinya. Kalau tabiatnya buruk, dia akan menjadi raja yang buruk,” kata Cindelaras yang tiba-tiba sajai ingin mendengar banyak soal kerajaan Jenggala.
“Itulah anakmas yang menjadi keprihatinan kami. Raja yang sekarang Raden Putra, yang bergelar Prabhu Sri Maharaja Rakai Lokeswara Dharmmawangsa Airlangga Putra, adalah masih keturunan Prabu Airlangga yang terkenal adil dan bijaksana. Tetapi semenjak permaisurinya meninggal, dan diganti oleh permaisuri yang baru, sang prabu sikapnya berubah. Dulunya bijaksana, apalagi didampingi oleh permaisuri cantik dan baik budinya, yang juga masih kerabatnya dari kerajaan Daha,” jelas tetua seniman yang rupanya banyak memahami sejarah kerajaan di telatah Jawa itu.
“Sang paduka raja sekarang hanya “manut nurut” apa kata Permaisuri baru yang diambil dari isteri selir yang sangat cantik, cerdas, tapi juga sangat licik. Dia sudah seperti raja bahkan melebihi raja. Ambisinya adalah menjadikan anaknya sebagai raja Jenggala menggantikan Raden Putra. Maaf anakmas, ini hanya pendapat saya orang desa yang belum tentu benar adanya.Kawula hanya mendengar dari orang-orang saja,” lanjutnya.
“Tidak apa-apa paman, saya senang mendengar cerita-cerita seperti ini. Karena selama ini saya hanya tahu keadaan rayat secara langsung. Kondisi yang memprihatinkan. Sepanjang perjalanan saya saksikan banyak orang miskin. Tanah tidak terurus. Sawah ladang terbengkalai karena kurang air. Saya belum bisa mencari jawaban, apakah ini ada hubungannya dengan sikap raja. Juga sikap permasiuri dan pangeran,” kata Cindelaras.
“Kalau anakmas memang tertarik untuk memahami lebih dalam soal keadaan negeri Jenggala dan para pejabat istana, anakmas bisa bertanya kepada Kiageng Ronggo Pralampito. Dia pernah menjadi pujannga keraton Jenggala dan sekaligus sebagai penasehat raja. Tapi sekarang sudah diberhentikan oleh permaisuri,” kata tetua itu, yang agak terlambat menyebut namanya: Iswara.
“Mengapa dia diberhentika, paman?”
“Saya kurang tahu pasti, anakmas. Tapi dari yang saya dengar, Kiageng Ronggo tidak mau menuruti perintah Permaisuri. Tapi itu yang saya dengar. Tepatnya seperti apa, ya Kiageng Ronggo sendiri yang tahu,” ungkapnya
“Kiageng Ronggo juga yang menyuruh kami untuk mempelajari seni-seni adiluhung peninggalan para leluhur di tanah Jawa ini. Kalau lagi ada waktu, Kiageng Ronggo sendiri mengajari kami belajar menabuh gamelan, belajar tembang mocopat, mengajari anak-anak menari, menggambar, menulis sastra, membaca buku-buku sastra, mengajari ketrampilan bercarita, atau mendongeng,” kata Iswara sambil sesekali minum kopi, dan makan “jadah bakar”.
“Kalau sudah mendongeng tentang kisah-kisah masa lampau kerajaan Jenggala, Kahuripan, Medang Kamulan, Salakanagara, dan sebagainya, kami senang sekali. Tak ada rasa kantuk sama sekali. Pengetahuan Kiageng Ronggo tentang masa lalu kerajaan-kerajaan di Tanah Jawa ini memang luar biasa,” kata Iswara.
“Kami bangga sekali mendengar cerita Kiageng Ronggo tentang kejayaan dan kehebatan kerajaan-kerajaan itu di masa lampau. Banyak kerajaan negeri asing tunduk dan mengakui kebesarannya,” lanjut Iswara.
Cindelaras memperhatikan perkataan orang itu dengan seksama. Dia tampak sangat menikmati perkataan orang itu. Terutama saat dijelaskan tantang Ki Ronggo. Kata per kata diperhatikan sungguh-sungguh seolah tak mau ada yang tertinggal.
“Dimanakah Ki Ronggo tinggal, paman?”
“Di sebuah padepokan dikaki gunung Arjuno. Dari sini bila naik kuda, setelah “surup” sebelum mega di langit barat menghilang, kita sudah sampai disana.”
“Apakah paman mau mengantarkan saya kesana?”
“Dengan senang hati anakmas. Kapan anakmas mau kesana?”
“Sekarang paman agar sampai disana tidak terlalu malam.”
Setelah membereskan urusan di penginapan itu, Cindelaras, Aryadipa, dan Iswara berangkat menuju padepokan Ki Ronggo Pralampito di kaki gunung Arjuno.
Baca Juga seri sebelumnya:
- Cindelaras Nekad Ikut Adu Jago, Meskipun Raja “Cawe-Cawe” Menjegalnya – (Bagian 5)
- Cindelaras Nekad Ikut Adu Jago, Meskipun Raja “Cawe-Cawe” Menjegalnya – (Bagian 4)
- Cindelaras Nekad Ikut Adu Jago, Meskipun Raja “Cawe-Cawe” Menjegalnya – (Bagian 3)
Dua kuda yang besar dan bagus berjalan pelan melintasi desa, hutan, dan sawah. Meskipun masing-masing dinaiki dua orang, kedua kuda itu tak merasa kelelahan sama sekali. Sepanjang perjalanan Cindelaras menanyakan nema-nama desa, dan kehidupan mereka didesa itu. Iswara dengan senang hati menjawabnya. Rasa ingin tahu Cindelaras memang sangat besar.
“Anak muda ini sangat cerdas. Ingin tahunya besar besar. Perhatiannya kepada kehidupan rakyat luar biasa. Baru kali ini aku menjumpai anak muda sehebat ini. Ternyata cerita-cerita orang itu benar adanya. Bahkan aku menyaksikan sendiri, anak muda ini lebih hebat dari cerita yang aku dengar,” bisik hati terdalam Iswara.
“Saya berharap Yang Maha Kuasa mengirim anak muda ini untuk memperbaiki negeri Jenggala yang saat ini mengalami kemunduran dalam segala hal,” kata hati Iswara.
“Mengapa diam, paman. Apa yang paman pikirkan,” kata Cindelaras mengagetkan Iswara.
“Eh, tidak anakmas. Hanya lamunan yang tidak ada artinya,” jawab Iswara.
“Aku bisa merasakan getaran kesedihan hati paman. Memang kehidupan kawula Jenggala menyedihkan. Mereka dilanda penderitaan akibat kemiskinan. Sawah ladang tidak terurus. Tanaman padi, jagung, ketela, tumbuh ala kadarnya. Tentu saja hasilnya tidak akan mencukupi untuk menopang hidup mereka. Padahal aku lihat beberapa sungai, malahan ada sungai besar disini yang airnya sangat melimpah. Kalau air sungai itu dibuat mengaliri sawah ladang petani, pasti tanaman akan tumbuh subur. Dan hasilnya melimpah,” kata Cindelaras.
“Benar anakmas. Anakmas jeli sekali melihat keadaan. Dan juga sangat cerdas. Belum pernah aku mendengar gagasan seperti yang anakmas sampaikan itu. Seandainya…..,” Iswara tidak melanjutkan perkataannya.
“Seandainya apa paman?”
“Eh, cuma lamunan saya saja anakmas. Seandainya anakmas ini yang kelak menjadi raja di Jenggala. Pasti gagasan tadi bisa diwujudkan. Oh, betapa makmurnya kawula Jenggala.”
Mendengar itu Cindelaras hanya tersenyum. Anehnya hatinya berbahagia membayangkan para kawula hidup makmur. Sawah ladang menghijau terus sepanjang tahun. Hasil bumi melimpah ruah. Para kawula hidup sejahtera, guyub rukun, pasti negeri ini akn kuat sentosa.
“Kita sudah dekat anakmas. Sebentar lagi surup”
“Ya paman. Alam di kaki gunung Arjuno ini luar biasa indahnya. Menyegarkan jiwa bagi siapa saja yang memandangnya.”
Dari tempat itu Cindelaras bisa memandang puncak gunung Arjuno yang kelihatan menjulang di langit. Ujungnya diselimuti awan putih. Tipis. Udaranya yang sejuk menyegarkan pikiran dan menenteramkan jiwa.
Tidak lama berselang, dua kuda memasuki sebuah padepokan yang diterangi dengan banyak obor. Obor itu menggunakan minyak pohon jarak yang tumbuh dipekarangan rumah para penduduk. Dari luar padepokan itu tampak sepi. Pintu gerbangnya tidak dijaga. Siapapun boleh masuk, sekalipun sudah larut malam.
Disebelah kiri padepokan ada “gedogan” tempat kuda para tamu diistirahatkan. Iswara menempatkan kuda yang ditungganginya di tempat itu. Juga kuda yang satunya.
Baca Juga:
- Cindelaras Nekad Ikut Adu Jago, Meskipun Raja “Cawe-Cawe” Menjegalnya – (Bagian 2)
- Cindelaras Nekad Ikut Adu Jago, Meskipun Raja Cawe-Cawe Menjegalnya – (Bagian 1)
Mereka berjalan menuju pendopo. Seorang lelaki tengah baya berbaju lurik, jarit coklat, memakai iket coklat kehitaman, berdiri disisi depan pendopo. Seolah-olah sedang menunggu tamu agung yang akan datang.
“Iswara. Ternyata kamu yang datang. Burung prenjak sejak siang tadi berteriak tak henti-hentinya. Baru menjelang surup berhenti. Firasatku mengatakan akan ada tamu agung yang datang,” sambut Ki Ronggo Pralampito, yang perawakannya tinggi pidekso.
Iswara sendiri memang sudah mengenal lama tempat ini. Dia pernah belajar ditempat ini. Tapi tidak lama, karena harus pulang untuk membantu ayahnya menggarap sawah dan ladang.
“Siapa dua anak muda ini. Sepertinya baru kali ini datang kesini,” tanya Ki Ronggo kepada Iswara.
“Salam hormat saya Kiageng. Ini Cindelaras dan temannya Aryadipa,” jawab Iswara.
Cindelaras dan Aryadipa memberikan hormat dengan cara menangkupkan kedua telapak tangannya didada, lalu membungkukkan badannya.
“Jagad pramudito. Saya benar-benar kedatangan tamu agung. Anakmas Cindelaras. Namamu mengguncang bumi Jenggala. Segenap kawula Jenggala mengelukanmu. Aku juga sudah mendengarnya dari cerita orang-orang. Tetapi setelah bertemu langsung dengan kamu, anakmas Cindelaras, hatiku bergetar. Ternyata cerita orang-orang itu bukan bualan. Nyata adanya. Ini anugerah dari Yang Maha Agung kepadaku. Karena mau mendatangi tempat yang jauh ini,” kata Kiageng Ronggo.
“Iswara, ajak anakmas Cindelaras dan Aryadipa masuk,” kata Kiageng Ronggo.
Di Padepokan Kiageng Ronggo itu cukup banyak anak-anak muda yang belajar. Siapa saja diijinkan belajar disitu, asalkan niatnya sungguh-sungguh untuk mencari ilmu. Ki Ronggo juga tidak membeda-bedakan para siswanya. Meskipun anak punggawa kerajaan, anak saudagar kaya, atau anak rakyat biasa. Semua dianggap sama.
Karena itu padepokan ini sangat terkenal di seluruh bumi Jenggala. Bahkan banyak juga siswanya berasal dari negeri lainnya, seperti Daha. Salah satunya adalah seorang putri kerajaan Daha. Dewi Candra Kirana.
Sang raja menitipkan anaknya agar dididik oleh Kiageng Ronggo. Raja Daha mengetahui, Kiageng Ronggo memiliki pengetahuan yang luas. Dia memiliki pengetahuan yang baik tentang tata kelola pemerintahan. Oleh karena itu dia diangkat sebagai pujangga dan penasehat di kerajaan Jenggala. Pengetahuan sastra, seni, sejarah, dan tentu saja seni olah kanuragan. Dia juga dikenal orang yang taat dalam menyembah Yang Maha Kuasa. Sering manjalani tirakat dengan berpuasa. Dimalam hari dia seringkali melakukan puji dengan menyebut-nyebut nama Yang Maha Agung, Yang Maha Kuasa, Yang Maha Kuat, Yang Maha Welas Asih, Yang Maha Hidup, Yang Maha Memberi, Yang Maha Memelihara Kehidupan.
Kiageng Ronggo bukanlah yang pertama membangun padepokan itu. Dia mewarisi dari ayahnya, Arya Bharada atau dikenal dengan nama Mpu Bharada, pujangga kerajaan Kahuripan dan penasehat sekaligus guru spiritual Prabu Airlangga.
Semenjak pemerintahan Prabu Airlangga yang memerintah kerajaan Kahuripaan, padepokan sudah dipenuhi dengan anak-anak muda yang belajar berbagai ilmu. Termasuk putri Airlangga sendiri, Dewi Kilisuci, juga pernah menuntut ilmu di padepokan itu.
Dewi Kilisuci sebelumnya bernama Sanggramawijaya Tunggadewi buah perkawinan Raja Airlangga dengan Putri Dharmawangsa Teguh. Dia sebenarya pewaris tahta Kahuripan, namun ditolaknya. Dia mengundurkan diri lalu menjadi pertapa, memohon kepada Yang Maha Kuasa agar dilimpahkan kesejahteraan bagi seluruh warga negerinya.
Karena tidak pernah menikah selama hidupnya, para kawula Kahuripan menyebutnya sebagai seorang dewi yang suci. Akhirnya dikenal sebagai Dewi Kilisuci. Namanya sangat dihormati. Tempat pertapanya di goa dekat pantai selatan, selalu diziarahi warga negeri Kahuripan.
Sejarah hubungan padepokan itu dengan para penguasa kerajaan terjalin baik sejak dahulu. Kerajaan Kahuripan, Jenggala, maupun Daha, semuanya menghormati keberadaan padepokan itu.
Sampai suatu ketika, Raja Jenggala atas desakan Permaisuri mengeluarkan surat menghentikan Kiageng Ronggo Pralampito dari kedudukannya sebagai Pujangga dan Penasehat Raja.
“Begitulah kisah singkatnya, anakmas. Tetapi saya bersyukur kepada Yang Maha Agung. Dengan begitu waktuku bisa tercurah sepenuhnya untuk mendidik anak-anak muda di padepokan ini. Bagiku itu jauh lebih penting daripada aku bekerja di istana yang bergelimang dengan kemewahan dunia,” ujar Ki Ronggo.
“Anakmas Cindelaras, sekedar mampir berkunjung menengok orang tua sepertiku, atau ada keperluan lainnya,” tanya Ki Ronggo.
“Bila Kiageng mengijinkan, saya ingin tinggal disini beberapa waktu, untuk menuntut ilmu. Agar kepala saya tidak kosong, Kiageng. Agar kepala saya berisi berbagai ilmu yang berguna dalam kehidupanku kelak. Karena hanya dengan ilmu, saya akan menemukan jalan terang. Karena ilmu itu seperti pelita yang akan menerangi kegelapan. Saat ini saya merasa sangat bodoh. Kurang wawasan pengetahuan. Saya pernah memperoleh cerita-cerita sedikit tentang berbagai kerajaan di tanah Jawa, sebagai dongeng menjelang tidur, dari ibundaku,” jawab Cindelaras.
Tutur kata Cindelaras membuat Ki Ronggo tertegun.
“Anak semuda ini sudah memiliki pandangan yang dalam. Tutur katanya runtut dan pandai sekali merangkai untaian kata. Ini anak muda yang cerdas. Pantas saja namanya menjulang di angkasa negeri Jenggala. Belum lagi kelebihan lainnya. Ayam jagonya itu seperti pusaka anugerah Yang Maha Kuasa. Pilih tanding. Tidak pernah terkalahkan. Siapa sebenanrya Cindelaras ini. Misteri apa yang ada dibalik sosok anak muda ini,” teriakan dari lubuk hati terdalam Ki Ronggo menyentak.
Dadanya serasa bergemuruh menahan gelora emosi yang tiba-tiba saja muncul.Sebagai orang yang linuwih, dia memiliki kewaskitaan lebih dibanding orang biasa. Dia merasa ada sesuatu dengan Cindelaras. Tetapi dia belum tahu. Kabut misteri itu masih gelap. Benar-benar gelap.
Setelah lama terdiam, akhirnya Ki Ronggo tersadar diri.
“Oh tentu saja boleh, anakmas. Saya justru merasa terhormat bila anakmas mau belajar disini,” jawab Kiageng Ronggo.
“Tadi anakmas mengatakan, mendapat cerita tentang kerajaan-kerajaan di tanah Jawa dari ibunda. Kalau boleh tahu, siapakan nama wanita agung yang telah melahirkan anakmas Cindelaras ini,” tanya Kiageng Ronggo.
BERSAMBUNG
EDITOR: REYNA
Related Posts
 - Imperium Tiga Samudra (5) — Ratu Gelombang
 - Seri Novel “Imperium Tiga Samudra” (4) – Pertemuan di Lisbon
 - Serial Novel “Imperium Tiga Samudra” (Seri 3) – Penjajahan Tanpa Senjata
 - Novel “Imperium Tiga Samudra” (Seri 2) – Langit di Atas Guam
 - Serial Novel “Imperium Tiga Samudra” (1) – Peta Baru di Samudra Pasifik
 - Api di Ujung Agustus (Seri 34) – Gelombang Balik
 - Api di Ujung Agustus (Seri 33) – Pengkhianat Didalam Istana
 - Api di Ujung Agustus (32) – Hari Cahaya Merah
 - Api di Ujung Agustus (Seri 31) – Bayangan Kudeta Makin Nyata
 - Api di Ujung Agustus (Seri 30) – Jejak Jaringan Tersembunyi



Penis Envy Mushroom Psilocybin for sale Oregon ORDecember 15, 2024 at 11:38 pm
… [Trackback]
[…] Information on that Topic: zonasatunews.com/budi-puryannto/cindelaras-nekad-ikut-adu-jago-meskipun-raja-cawe-cawe-menjegalnya-bagian-6/ […]
Get More InfoJanuary 5, 2025 at 4:28 am
… [Trackback]
[…] Information to that Topic: zonasatunews.com/budi-puryannto/cindelaras-nekad-ikut-adu-jago-meskipun-raja-cawe-cawe-menjegalnya-bagian-6/ […]