Dua Wajah, Satu Ijazah: Laporan Analisa Morfologi dan Jejak Forensik Wajah Jokowi Pada Album Alumni Vs Wajah Jokowi Sebagai Presiden

Dua Wajah, Satu Ijazah: Laporan Analisa Morfologi dan Jejak Forensik Wajah Jokowi Pada Album Alumni Vs Wajah Jokowi Sebagai Presiden
Agus Muhammad Maksum ahli IT alumni ITS

Catatan Oleh: Agus Maksum

Saya selalu percaya bahwa setiap kegaduhan nasional bukan berdiri sendirian. Ia selalu punya “gerbong”—serangkaian tanda-tanda yang terserak seperti pasir di meja kaca. Tinggal kita mau memetakannya atau memilih pura-pura rabun.

Dan entah mengapa, dari sekian banyak kegaduhan republik, soal foto ijazah ini adalah yang paling aneh. Aneh karena terlalu lama. Aneh karena terlalu sederhana untuk dibiarkan berlarut. Dan aneh karena mereka yang harusnya bisa menyelesaikan, justru memilih diam.

1. Kesaksian Dr. Zul: Badai pun dimulai dari sebuah foto

Awalnya sederhana: Dr. Zulkifli — seorang dokter yang terbiasa membaca gejala — melihat foto di album alumni UGM. Foto dengan nama “Joko Widodo”.
Foto yang jadul, hitam-putih, buram, dan tidak terlalu menarik perhatian siapa pun sebelumnya.

Tapi kalimat Dr. Zul membuat saya berhenti membaca.

“Ini foto Joko Widodo… tapi bukan orang yang selama ini kita lihat jadi presiden.”

Di titik itu saya tahu, badai sudah datang. Karena pernyataan ini bukan kalimat orang iseng. Ini kalimat seorang dokter yang terbiasa membedah gejala menjadi penyakit.

Ia mengulangi: “Orangnya palsu. Ijazahnya palsu. Presiden itu bukan Joko Widodo yang asli.”

Apa pun pendapat Anda terhadap Dr. Zul, satu hal pasti: klaim sebesar itu wajib diperiksa, bukan ditertawakan.

2. Lalu kami turun ke wilayah paling sunyi: wajah

Saya memilih jalur yang paling sepi: analisa wajah, bukan politik.

Wajah adalah sidik jari kedua. Ia tumbuh, ia berubah, tetapi rangka utamanya tidak pernah bohong.

Karena itu, saya melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan di ruang publik Indonesia: analisa morfologi wajah, age-progression analysis, pola pertumbuhan remaja–dewasa, struktur tengkorak, jarak antar mata, bentuk nasal bone, rasio wajah, jawline, hingga kemungkinan foto kolase atau tempelan.

Saya ingin tahu: Betulkah foto di album itu bisa berkembang menjadi wajah Jokowi yang dewasa?

Tidak untuk menuduh. Tidak untuk menghukum. Hanya untuk memahami.

3. Hasil analisa morfologi: dua jalan yang tak pernah bertemu

Saat kita menghilangkan semua emosi politik, menyisakan hanya sains yang dingin, temuan itu terasa seperti membaca laporan autopsi.

A. Jarak antar mata
• Foto album: sempit
• Jokowi sekarang: lebih lebar

Ini struktur paling stabil. Tidak berubah dari usia 13 sampai 60.

B. Bentuk hidung (nasal bone)
• Foto album: batang pendek, bulbous.
• Jokowi: batang panjang, nasal bridge tinggi.

Tulang hidung tidak pernah “mengulur” sepanjang itu tanpa operasi.

C. Dagu (chin)
• Foto album: dagu pendek & bulat.
• Jokowi: dagu panjang, pointed.

Dagu adalah fitur paling sulit berubah.

D. Rasio wajah
• Foto album: wajah pendek & lebar
• Jokowi: wajah panjang & sempit

Ini bukan soal kurus-gemuk. Ini soal anatomi.

E. Age-progression test

Kami menghitung kemungkinan foto mahasiswa (FA) berkembang menjadi wajah Jokowi dewasa.

Hasilnya: Compatibility Score: 27,5% (sangat rendah)

Artinya: Secara morfologi, keduanya tidak kompatibel.

4. Lalu bagaimana dengan kemungkinan foto itu kolase/editan?

Saya periksa memakai: Error Level Analysis, raster noise pattern, edge inconsistency, pixel compression signature

Dan hasilnya: Foto album tidak menunjukkan tanda-tanda manipulasi digital
(minimal pada versi scan yang ada sekarang).

Artinya: Tidak tampak bekas tempelan digital. Tidak tampak compositing wajah. Tidak tampak layering yang tidak seragam.

Jadi kalau pun ada permainan, itu pasti terjadi di hulu — sebelum buku itu dicetak, bukan pada file PNG yang kita lihat sekarang.

5. Kesimpulan Sementara: Dua Wajah, Dua Riwayat

Di sinilah publik harus jernih.

Analisa wajah tidak pernah membuktikan identitas seseorang. Ia hanya menjawab satu pertanyaan: “Apakah wajah A mungkin berkembang menjadi wajah B?”

Dan jawabannya — dengan metode paling dingin dan objektif — adalah: Tidak, keduanya tidak selaras sebagai satu individu. Perbedaan struktur anatomi terlalu besar untuk dijelaskan oleh usia.

Ini tidak otomatis berarti presiden palsu. Tidak otomatis berarti album itu palsu. Dan tidak otomatis berarti siapa pun benar.

Yang pasti hanyalah: Ada dua wajah berbeda. Ada satu nama yang sama. Ada satu republik yang berhak tahu kebenaran.

6. Pada titik ini, bola berpindah tangan

Setelah rangkaian analisa ini, saya menyimpulkan: Kita harus meninggalkan perdebatan receh soal “mirip atau tidak mirip”.

Kita butuh audit forensik profesional, bukan video debat di televisi. Kita perlu bukti primer, bukan scan yang dilempar di media sosial. Dan pada akhirnya, hanya ada satu lembaga yang bisa menentukan: Lembaga forensik negara — di bawah mandat presiden yang berkuasa.

Karena kalau benar terjadi kesalahan identitas — sekecil apa pun — implikasinya bukan sekadar akademik.

Ia menyentuh: keabsahan keputusan negara, legitimasi hukum, keuangan negara, sampai perjanjian internasional.

7. Penutup: Jalan kembali pada akal sehat

Saya menulis ini bukan untuk menghakimi siapa pun. Saya menulis ini karena saya percaya: “Bangsa besar bukan bangsa yang menutupi kesalahan, tetapi bangsa yang berani membongkarnya.”

Dan jika memang dua wajah ini adalah dua orang yang berbeda, kita tidak boleh takut pada kebenaran.

Kalau berbeda, mari kita benahi. Kalau tidak berbeda, mari kita tutup isu ini selamanya.

Tapi jangan dibiarkan menggantung. Negara tidak boleh hidup dari kabut. Dan publik tidak boleh dibiarkan menjadi penonton drama yang tak pernah selesai.

Itulah laporan saya. Sebagai warga, sebagai peneliti, sebagai orang yang masih mencintai republik ini.

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K