Geneologi Politik dan Kosmologi Politik Indonesia (Bagian 4)

Geneologi Politik dan Kosmologi Politik Indonesia (Bagian 4)
Dr. Mulyadi (Opu Andi Tadampali), Dosen Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia

Oleh: Mulyadi (Opu Andi Tadampali)
Dosen Ilmu Politik Universitas Indonesia

 

IV. Pengaruh Jawa

Sebelum masuk pada bagian yang sensitif politik ini, perlu saya tegaskan bahwa saya tidak sedang meninggikan langit untuk merendahkan bumi sehingga apa yang semula tampak baik berubah menjadi buruk. Saya hanya ingin mengajak kaum Republik untuk memahami masa sekarang dan masa yang akan datang dengan cara mengingat masa lalu. Mengambil apa yang baik di era bangsa-bangsa lama dan negara-negara lama untuk diteruskan ke masa depan melalui rantai pasok sejarah politik yang sudah begitu mengagumkan. Sekali lagi tujuan saya tak lebih dari sekedar hanya ingin mengajak kaum Republik untuk menghargai apa yang baik dari warisan masa lalu untuk mencegah semuanya menjadi obyek modernisasi: menghilangkan yang lama dengan cara mengganti yang baru. Sebab, tidak semuanya yang baru itu lebih baik dari yang lama. Dalam konteks peringatan dini, generasi baru adalah orang-orang baru yang cenderung mengganti yang lama meski penggantinya terkadang jauh lebih buruk, seperti yang terjadi dalam kasus penggantian UUD1945 menjadi UUD2002.

Di era bangsa-bangsa lama dan negara-negara lama, misalnya, masalah kebebasan, persamaan, dan kesetaraan politik sudah menjadi kesepakatan politik bahwa itu baik dan berguna untuk semua. Kesetaraan gender, misalnya, sudah tuntas dibicarakan, sehingga bukan lagi masalah baru yang harus diributkan seperti yang masih berlangsung dewasa ini. Bahwa perempuan begitu sangat dihormati dan dimuliakan bukanlah sesuatu yang mengada-ada. Ada banyak artefak politik yang masih tersisa berupa para perempuan terdidik dan ternama masih bisa disebut-disebut saat ini.

Di ujung Barat Nusantara tepatnya di Kesultanan Aceh, tercatat tiga nama besar perempuan yang pemimpin pasukan dalam perang melawan VOC dan Belanda, yaitu Keumalahayati yang populer dengan Laksamana Malahayati (1550-1615), Tjoet Nyak (1848-1908), dan Tjoet Nyak Meutia (1870-1915). Di Nusantara bagian tengah tepatnya Kesultanan Gowa dan Kedatuan Luwu di Sulawesi Selatan, tercatat dua nama besar yang mengemuka sangat gigih malawan VOC-nya Belanda, yaitu: I Fatimah Daeng Takuntu Karaeng Campagaya, putri Sultan Hasanuddin (I Mallomasi daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangape, Raja Gowa Ke-16) dan Opu Daeng Risaju . Di Nusantara bagian Timur tepatnya di Maluku, cukup populer nama Martha Christina Tiahahu (1800-1818), yang pada usia belia, menginjak 17 tahun sudah membantu laki-laki di medan pertempuran melawan Belanda. Dalam perjalanannya menuju pembuangannya di Jawa tahun 1818, Martha Christina Tiahahu menghembuskan napas terakhirnya untuk menyusul kepergian ayahnya, Kapitan Paulus Tiahahu yang dijatuhi hukuman mati oleh Belanda. Di Laut Banda mayat Martha Christina Tiahahu disemayangkan secara militer oleh Belanda.

Mengingat hanya bermaksud menunjukkan sebagian saja, saya persilahkan kepada pembaca untuk menelusuri nama-nama besar lainnya. Di Kerajaan Samudera Pasai ada Ratu Sultanah Nahrasiyah. Di Sumatera Barat ada Siti Manggopoh, Hajjah Rangkayo Rasuna Said, dan Rohana Kuddus. Di Jawa Tengah ada Raden Ayu Adipati Kartini Djojoadhiningrat (Raden Ajeng Kartini), Nyi Ageng Serang, dan Siti Walidah (Nyai Ahmad Dahlan), dan di Jawa Barat ada Raden Dewi Sartika. Di Sulawesi Barat ada Andi Depu Maraddia Balanipa, dan di Sulawesi Utara ada Maria Walanda Maramis. Sekilas saya hanya singgung Laksamana Malahayati, Tjoet Nja’ Dhien, dan Cut Nyak Meutia yang ketiganya dari Aceh, dan I Fatimah Daeng Takuntu Karaeng Campagaya dan Opu Daeng Risaju (Famajjah) dari Sulawesi Selatan, serta Maria Ulfa dan Siti Sukaptinah Soenarjo Mangoenpoespito di BPUPKI untuk menegaskan bahwa para perempuan hebat tersebut bukan hanya visioner, strategis, dan taktis dalam hal pemikiran, tapi juga sangat taktis dan cekatan dalam memegang senjata melawan penjajah VOC dan Belanda.

Di Aceh, Laksamana Malahayati adalah cucu Sultan Salahuddin Syah yang berkuasa pada 1530-1539 dari putranya Laksamana Mahmud Syah. Kemahiran militer Malahayati diperolehnya dari akademi Baitul Maqdis Jurusan Angkatan Laut. Sedangkan Tjoet Nja’ Dhien (Cut Nyat Dien) yang ditangkap dan meninggal dalam perlawanannya di tempat pembuangannya, di Sumedang Jawa Barat. Cut Nyat Dien mengikuti jejak suami pertamanya Teuku Ibrahim Lam yang gugur tahun 1878 dalam perang melawan Belanda, dan suami keduanya, Teuku Umar, yang menikahinya pada 1880 juga gugur tahun 1899 dalam perang melawan Belanda. Sama dengan Cut Nyak Dhien yang tak kenal menyerah, Cut Nyak Meutia (1870-1910) yang dihukum mati oleh pasukan Marechausee pada 1910 juga mengikuti jejak suami pertamanya, Teuku Muhammad (Teuku Tjik Tunong) yang gugur dalam pertempuran melawan Korps Marechausée pada tahun 1910, dan suami keduanya Pang Nanggroe yang juga gugur pada tahun 1910 melawan pasukan khusus penjajah, Marechausee.

Di Sulawesi, I Fatimah Daeng Takuntu Karaeng Campagaya setara dengan nama besar ayahnya Sultan Hasanuddin Raja Gowa Ke-16 di mata VOC. Jika ayahnya digelari ‘Ayam Jantan Dari Timur’, maka Daeng Takuntu digelari ‘Garuda Betina Dari Timur’. Gelar yang disandangnya itu lantaran keberaniannya memimpin Pasukan Balira Kerajaan Gowa melawan VOC. Pasukan Khusus Perempuan Kerajaan Gowa ini sangat terkenal karena senjata perangnya dari Balira (walida: alat tenun yang terbuat dari pohon lontar), disamping senjata cadangan yang terselip di pinggangnya. Di daratan Sulawesi Selatan, senjata ini sudah menjadi lagenda dan mitos yang sangat ditakuti oleh para pemberani mengingat kemampuannya dapat penaklukkan semua jenis ilmu kebal yang mampu membunuh siapa saja secara perlahan tapi pasti.

Dalam Perang Makassar: perang antara Kesultanan Gowa bersama sekutunya melawan VOC bersama sekutunya yang berakhir pada perjanjian Bungaya bulan November 1667 membuat perselisihan internal di Kerajaan Gowa. Lima elit Kerajaan Gowa: Karaeng Karunrung, Manninrori Karaeng Galesong, Daeng Mangalle, Syek Yusuf, dan termasuk I Fatimah Daeng Takuntu menolak perjanjian tersebut yang ditandatangani oleh Sultan Hasanuddin. Kecuali Karaeng Karunrung yang ingin pertempur habis-habisan melawan VOC di Makassar, I Fatimah Daeng Takuntu memilih tidak berhadapan langsung dengan ayah kandungnya. Ia berkangkat ke Jawa bergabung dengan Karaeng Bonto Marannu, Manninrori Karaeng Galesong, dan Syekh Yusuf yang lebih duluan meninggalkan Makassar menuju Jawa untuk tujuan bertempur melawan VOC. Daeng Mangalle yang menolak perjanjian tersebut berangkat ke Thailand hingga meninggal di sana. Dari Jawa I Fatimah Daeng Takuntu berangkat ke Kalimantan Barat hingga meninggal dan dimakamkan di pulau Tumaju Mempawa, Karaeng Galesong yang meninggal di Jawa di makamkan di Ngantang Malang, dan Syekh Yusuf yang ditangkap dan dibuang di Afrika Selatan meninggal dan dimakamkan di Cape Town Afrika Selatan.

Selain I Fatimah Daeng Takuntu di Kesultanan Gowa, juga ada Opu Daeng Risaju (Famajjah) di Kedatuan Luwu. Pahlawan nasional yang lahir tahun 1880 ini masih cicit langsung Raja Bone ke-22 Temmasonge Matimoe Rimatimongeng (1749-1775) yang didik khusus oleh ahli agama dan dibesarkan dalam politik. Sebelum meninggal tahun 1964 hidupnya dihabiskan untuk berjuang melawan Belanda. Wanita besi ini tidak kenal menyerah meski pernah disiksa habis oleh Belanda yang menyebabkan kehilangan pendengaran. Di bidang politik, ada penulis yang menyebutnya kalau ia bukan hanya pahlawan nasional, tetapi juga adalah perempuan pertama di Indonesia yang memimpin Partai Syarekat Islam Indonesia (PSII) yang kariernya di partai dimulai di Pare-Pare sejak tahun 1927.

Begitu pula dalam mendirikan Republik ini, tercatat dua perempuan hebat yang menjadi anggota BPUPKI, yaitu: (1) Maria Ulfa, sarjana hukum pertama di Republik ini yang berpendidikan Barat, lulusan Universitas Leiden Belanda. Di kalangan aktivis Muhammadiyah terutama aktivis perempuan perserikatan Muhammadiyah, nama Maria Ulfa tidak asing lantaran ia adalah pengajar di Perguruan Rakyat dan Perguruan Muhammadiyah sebelum Republik ini berdiri; dan (2) Siti Sukaptinah Soenarjo Mangoenpoespito, perempauan guru di Taman Siswa dan Ketua Fujinkai Pusat: sebuah organisasi perempuan era Jepang.

Kembali ke pokok yang ingin saya bicarakan pada bagian ini, yakni pengaruh Jawa terhadap politik Republik. Sepertinya saya harus memulainya dengan mengatakan bahwa sangat sulit memahami politik Republik ini, bahkan para aktor-aktor awalnya sekalipun, bila tidak banyak tahu tentang Jawa. Agar memahami politik Republik ini, sedikit banyaknya harus tahu tentang Jawa. Sebab, tak bisa dipungkiri kalau Jawa memiliki pengaruh penting terhadap politik Republik ini memalui dua aspek, yakni mitos dan realitas. Melalui mitos dan realitasnya, Jawa menjadi pusat kekuasaan para penguasa baik di internal maupun dan di eksternal Nusantara.

Secara historis, bagi internal Republik, aspek mitosnya lebih penting daripada aspek realitasnya. Sebaliknya, bagi pihak eksternal: pihak asing, aspek realistasinya lebih penting daripada aspek mitosnya. Lewat mitosnya, konsepsi dan pemikiran tentang Nusantara dibuat sedemikian rupa hingga melampaui teritori Jawa dan diserbarluaskan dari generasi ke generasi sebagaimana tercermin dalam pemikiran Nusantara I Sriwijaya, Nusantara II Majapahit, dan Nusantara III Indonesia. Melalui artefak religiusnya, misalnya, Candi Borobodur dijadikan penghubung dari periode Nusantara I Sriwijaya, periode Nusantara II Majapahit hingga pada periode Nusantara III Indonesia. Sedangkan lewat realitasnya telah memungkinkan semua penjajah asing menaklukkan Nusantara dengan terlebih dahulu menundukkan Jawa.

Dari aspek realitasnya, Jawa secara geopolitik, geoekonomi, dan geostrategi, sejak dulu memiliki daya tarik bagi penguasa negara-negara lama dan para penjajah. Di era-era negara-negara lama, Jawa menjadi tempat berdiri dan runtuhnya sejumlah kerajaan besar dan kecil. Di Jawa Timur tercatat sejumlah kerajaan yang pernah berdiri, antara lain: Kanjuruhan (700-789 M), kerajaan tertua yang bercorak Hindu-Budha berada di Malang; Medang (929-1016 M) pindahan kerajaan Mataram di Jawa Tengah oleh Mpu Sindok; Kahuripan (1019-1045 M) yang didirikan Airlangga menantu Dharmawangsa; Jenggala (1045-1136 M) yang memisahkan diri dari Kerajaan Kahuripan; Panjalu (1045-1222 M); Singosari (1222-1292 M) bercorak Hindu-Budha yang didirikan oleh Ken Arok; Majapahit (1292-1478 M) bercorak Hindu-Budha yang berada di Trowulan; Blambangan (1365-1771 M) kerajaan Hindu terakhir berada di Bayuwangi; dan Kedatuan Giri Kedaton (1487-1636 M) kerajaan bercorak Islam yang didirikan oleh Sunan Giri dimana eksistensinya kurang lebih sama dengan Vatikan di Roma. Di Jawa Tengah berdiri Kerajaan Kalingga, Kerajaan Mataram Hindu, Kerajaan Demak, Kerajaan Pajang, Kerajaan Mataram Islam: Kesultanan Yogyakarta dan Kesunanan Surakarta. Di Jawa Barat berdiri Kerajaan Tarumanegara, Kerajaan Sunda, Kerajaan Galuh, Kerajaan Kawali, Kerajaan Pajajaran (923-1597 M), Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten.

Hal yang sama tampak pada para penjajah Asing: kolonialisme VOC (1602-1799), imperialisme Belanda (1800-1942), dan pendudukan Jepang (1942-1945) semuanya lebih memilih Jawa sebagai pusat penyelenggaraan politik, pemerintahan, dan ekonomi dibanding tempat-tempat lainnya di Nusantara. Di era VOC, seluruh kerajaan-kesultanan di wilayah Nusantara dikontrol dan dikendalikan dari Jawa (Batavia: Jakarta). Demikian juga di era imperialisme Belanda, seluruh teritori Hindia Belanda yang mencakup seluruh wilayah Nusantara dikontrol dan dikendalikan dari Jawa (Jakarta). Begitu pula di era pendudukan Jepang, wilayah Hindia Belanda yang dirampas adari tangan ke Belanda dikontrol dan dikendalikan dari Jawa (Jakarta). Pilihan yang sama terus berlanjut sejak berdirinya Indonesia tahun 1945 hingga berakhir tahun 2019 saat Presiden Joko Widodo mengumumkan pemindahan ibu kota negara dari yang lama: DKI Jakarta ke ibu kota negara yang baru: Otorita Ibu Kota Nusantara (IKN).

Dari aspek realitas, terutama dari sudut pandang geostrategi, geopolitik, dan geokonomi, pilihan penguasa negara-negara lama dan para penjajah asing menjadikan Jawa sebagai pusat kekuasaan, karena letaknya strategis sebagai titik penghubung antar pulau. Secara taktis, Jawa juga berada di tengah-tengah “benteng kepulauan” Nusantara: pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Bali, dan Madura. Secara realitas, posisi strategis dan taktis ini memberi banyak kemudahan bagi penguasa dalam melakukan kontrol dan kondali termasuk konsolidasi kekuasaan.

Secara kultural, Jawa mencakup pulau Jawa di bagian Timur (Jawa Timur) dan pulau Jawa di bagian Tengah (Jawa Tengah). Sedangkan pulau Jawa bagian Barat (Jawa Barat) masuk ke dalam kultur Sunda, disamping Banten dan Jakarta (Batavia) yang memperlihatkan perbedaan kultur, yang nantinya menjadi salah satu latar pembentukan provinsi dikemudian hari. Dalam konteks agama dan politik, Jawa tak terpisahkan dari Bali. Ada keyakinan yang sangat mengakar bahwa kerajaan yang bercorak Hindu di Jawa Timur berkaitan erat dengan Bali lewat perantara: (1) Airlangga, pendiri dan pemersatu Kerajaan Kahuripan, Panjalu, dan Jenggala berasal dari Bali; dan (2) Gajah Mada, Mahapati Kerajaan Majapahit sebagai pencetus sekaligus operator Sumpah Palapa.

Selain itu, dari sejumlah kerajaan yang ada di Jawa, Kerajaan Singosari dan Kerajaan Majapahit telah menanamkan mitos yang sangat mempengaruhi kepercayaan politik Kaum Republik di kemudian hari bahwa orang-orang bangsa Jawa adalah ras penakluk sekaligus pemersatu Nusantara. Dari Kerajaan Singosari menurun kepercayaan yang sangat mendalam tentang ide penyatuan dan kedaulatan bangsa Jawa, dimana ide ini telah melahirkan kepercayaan kuat bahwa sebagian negara kerajaan di luar pulau Jawa: Madura, Bali, dan Kalimantan telah ditaklukkan. Sementara Majapahit menurunkan mitosnya dari generasi ke generasi bukan hanya sebagai penakluk tak terkalahkan, tapi juga mitosnya tentang penyatuan nusantara yang mewariskan bendera merah putih, wawasan nusantara, dan bhinneka tunggal ika.

Tentu ada dan sangat mungkin banyak sanggahan tentang hal itu, namun saya telah membiarkannya dengan cara memasukkannya ke dalam bagian dari mitos, sehingga kepercayaan dan keyakinan yang sedemikian kuat itu tidak perlu membutuhkan persetujuan atau kesepakatan dari siapapun. Berhubung sejarah, lagenda, dan mitos memiliki relasi timbalik, maka mengingkari salah satunya berarti mengingkari ketiganya. Ambil saja satu contoh, apakah benar bendera merah-putih yang digunakan Republik ini adalah bendera yang pernah digunakan Majapahit? Jika realitasnya benar, maka mitosnya benar, karena mitos berasal dari realitas. Akan tetapi bagaimana dengan pendapat yang mengatakan bahwa itu hanya klaim karena negeri tetangganya saja di Jawa Barat tak pernah resmi ditaklukkan. Begitu pula dengan pendapat lain bahwa bendera Republik ini justru diilhami oleh peristiwa penurunan bendera Belanda dalam perang rakyat melawan sekutu di Surabaya pada bulan Nopember yang dikobarkan oleh komando religius Sutomo (Bung Tomo). Bagaimana dengan imajinasi pengrobekan warna birunya untuk dikibarkan kembali? Ini tentu tak mudah dijawab karena yang pertama datangnya dari masa lampaui yang tampak sebagai mitos, sedang yang kedua berasal dari setelah masa lampui yang tampak sebagai realitas.

Anggaplah bahwa bendera merah-putih dan konsepsi nusantara adalah hasil penaklukan dan penyatuan Majapahit merupakan mitos atau bukan realitas. Tetap saja tak seorangpun yang bisa membantahnya kalau pengaruhnya terhadap politik Republik ini sangatlah besar. Berdasar mitos itu, kekuasaan kenegaraan dan kekuasaan pemerintahan ditata baik sedemikian rupa agar semuanya berada di tangan Pemerintah Pusat yang berkedudukan di Jawa. Agar mitos itu mendapat justifikasi dari realitas, maka bentuk negara Republik adalah kesatuan, bukan persatuan seperti yang ada dalam Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Tidak berhenti sampai di situ, di DKI Jakarta dimana pusat ibu kota negara berada, dua nama jalan: Jalan Majapahit dan Jalan Gajah Mada didekatkan dengan Istana Negara untuk menghubungan ingatan masa lampau dengan masa sekarang.

Begitu pula agar Daerah di luar Jawa semuanya terikat dan terserap masuk ke Pusat yang ada di Jawa, maka kontrol dan kendali kekuasaan pemerintah Pusat dirancang sedemikian rupa ke dalam dua wajah kembar: di tangan Pemerintah Pusat vulgar sentralisme dan konsentralismenya, sedangkan di tangan Pemerintah Daerah mencolok dekonsentralisme dan medebewingnya. Akibatnya, tuntutan otonomi daerah dan daerah otonom lebih tampak sebagai konflik Pusat-Daerah ketimbang terlihat sebagai upaya sungguh-sungguh membangun Republik. Kecurigaan semakin meruncing ketika federalisme (persatuan) dipojokkan sedemikian rupa lewat propaganda politik dan agitasi politik sebagai penyebab bangsa terbelah dan negara terpecah. Pemikiran bersih tak pernah muncul bahwa Daerah terbelakang dan pemberontakan daerah justru disebabkan oleh cengkeraman Pusat atas Daerah lewat politik desentralisme yang tampak sesuka hatinya. Pada suatu waktu Pusat “melepas kepalanya sambil memegang erat buntutnya” lalu di waktu lain Pusat “melepas buntutnya tapi memegang erat kepalanya”.

BACA JUGA :

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K