Oleh: Mulyadi (Opu Andi Tadampali)
Dosen Ilmu Politik Universitas Indonesia
IV. Republik Oligarkis
Nasib buruk menimpa warga republik dimulai di era rezim paternal Soekarno lalu berlanjut pada era Soeharto yang juga rezim paternal. Soekarno pemimpin rezim paternal Orde Lama yang gagal berkuasa seumur hidup, dan Soeharto pemimpin rezim paternal Orde Baru yang gagal berkuasa sepanjang masa, keduanya dipaksa mengakhiri kekuasaannya secara mengenaskan setelah sistem politik yang dibangunnya gagal gagal meindungiunya. Kapabilitas responsif, kapabilitas regulatif, kapabilitas distributif, kapabilitas simbolik, kapabilitas ekstraktif, kapabilitas domestik, dan kapabilitas internasional sebagai indikator dari sistem politik kuat tidak mampu beradaptasi dengan tuntutan perubahan politik yang datang secara tiba-tiba. Tujuh unsur kapabilitas sistem politik kedua rezim ini bersamaan melemah yang berakibat hilangnya adaptasi, integrasi, dan stabilitas politik yang menjadi penyebab kejatuhannya. Tentang rezim paternal Soekarno dan Soeharto sudah saya bahas secara padat pada Bagian 5.
Di penghujung rezim paternal Orde Baru, Gerakan Reformasi Mei 1998 memenuhi jalan-jalan kota-kota besar sentero negeri, untuk mendesak otoritas sipil segera mengambil langkah-langkah penyelamatan republik dari lilitan otoritarianisme politik. Namun tak ada yang menyangka kalau gerakan yang bersemangat ini tidak membuahkan hasil apa-apa selain kerusakan politik sistematis (deformasi). Hal ini terjadi karena pihak Asing melalui tangan para politisi asuhan rezim Orde Baru dan tangan organisasi proxy-nya diam-diam melakukan dekonstruksi politik dengan cara mengganti UUD1945 dengan UUD2002 berkedok amandemen untuk membajak pemerintahan dan menyandera republik.
Pada periode rezim pertama (1999-2004), rezim politik Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang diberhentikan di tengah jalan (1999-2001) lalu diteruskan oleh Megawati Soekarnoputri (2001-2004), kerusakan politik belum terasa karena proses penggantian UUD1945 dengan UUD2002 masih tengah berlangsung (1999-2002). Baru pada dua periode rezim kedua, rezim politik Susilo Bambang Yudhono (SBY) periode 2004-2014, mulai muncul tanda-tanda kerusakan politik namun belum terasa, yang disebabkan oleh belum terkonsolidasinya secara penuh kekuatan politik ‘oligaki kembar tiga’: oligarki politik (badut politik), oligarki ekonomi (bandar politik), dan oligarki sosial (bandit politik).
Secara kasat mata, kerusakan politik berlangsung pada dua periode rezim ketiga, rezim politik Joko Widodo (Jokowi) periode 2014-2024. Pada dua periode rezim politik ini, semua ciri-ciri praktek kekuasaan buruk (power over) sudah dipentaskan secara vulgar dan meluas, seperti menindas, anti-kritik, anti-perubahan, status quo, dan korup. Juga semua ciri-ciri pemerintahan buruk dipraktekkan tanpa sedikitpun rasa ragu dan rasa segan, seperti tidak transparan, tidak akuntabel, tidak kredibel, dan tidak partispatif. Selama rezim politik Jokowi berlangsung, republik betul-betul berada di bawah kendali penuh ‘oligaki kembar tiga’. Jokowi yang kemunculannya dicitrakan sebagai pemimpin politik populis ternyata tampil dengan watak sebaliknya, sangat personal dan elitis. Gaya politiknya yang tampak sopan tapi menyimpan kebengisan memicu resistensi politik hingga membuatnya disematkan ‘boneka oligarki’ untuk mendeskripsikan sosoknya yang pro-oligarki dan anti-demokrasi. Tidak cukup sampai di situ, kebencian politik terhadap Jokowi semakin menguat setelah terbukti memperatikkan politik dinasti (kinship politics). Di penghujung rezim politiknya 20 Oktober 2024,, gerakan anti-Jokowi bukannya melemah. Jokowi secara personal dikejar tanpa ampun hingga di ruang pengadilan dengan tuntutan ganti rugi, dan dengan seruan pidana politik penjara. Sungguh tragis, takdir power over segera menjemputnya untuk mengantarkannya pada hukuman tanpa belas kasihan dan tiada akhir, ‘kebencian abadi’.
Kembali ke judul Bagian 6 ini, republik oligarki. Rezim politik Jokowi harus dilihat dalm konteks produk sempurna dari tiga motif politik di balik berlakunya UUD’2002. Silahkan baca tuntas teks UUD’2002, membaca cepat pasal-pasalnya tanpa pikiran kritis, sekilas isinya sangat baik karena dipenuhi komitmen politik terhadap kemerdekaan, kebebasan, persamaan dan kesetaraan politik. Akan tetapi bila dicermati pasal demi pasal dengan pikiran kritis, pasti akan ketemu pada pasal yang mengerutkan dahi, mengandung ketidakwajaran politik. Itu nyata, tiga motif politik buruk dari kapitalisme: kawanan oligarki sengaja diselipkan pada tiga pasal UUD’2002 tentang pemerintahan, politik, dan ekonomi untuk melakukan pengrusakan secara terstruktur, sistematis, dan massif, yaitu:
1. KUASAI PRESIDEN REPUBLIK
Motif pihak asing: kapitalisme dan oligarki menguasai pemerintahan eksplisit dalam Pasal 6 UUD’2002 yang menghapus ‘orang Indonesia asli’ sebagai syarat presiden, dimana sebelumnya pada pasal 6 UUD’1945 tertulis “presiden ialah orang indonesia asli”. Perlu diketahui bahwa ketentuan ‘presiden ialah orang Indonesia asli’ merupakan hak istimewa (privilege) kaum pribumi yang menjadi inti dari bangsa Indonesia Asli. Satu hal yang perlu digarisbawahi adalah mempersoalkan hak istimewa (privilege) ini sama saja kalau mempersoalkan eksistensi bangsa-bangsa lama, seperti bangsa Jawa, bangsa Sunda, bangsa Minang, bangsa Batak, bangsa Aceh, bangsa Dayak, bangsa Bugis (Bugis, Makassar, Toraja, dan Mandar), bangsa Ambon, dan bangsa-bangsa lainnya yang menjadi inti kaum pribumi, inti bangsa Indonesia Asli.
Oleh sebab privilege ini bukanlah bentuk diskriminasi politik, tetapi bagian dari upaya untuk membangun jiwa bangsa Indonesia Asli, kaum pribumi, bangsa asli pemilik negeri untuk memulihkan harga dirinya yang mengalami perendahan, penghinaan, dan penderitaan panjang dalam masa penjajahan yang sangat lama. Dengan menghapus syarat presiden orang Indonesia Asli, terkuak motif politik bangsa Asing yang sangat serius ingin mengambilalih republik ini melalui orang-orangnya yang telah menjadi warga negaranya Indonesia sejak kelahirannya.
Jika bukan untuk motif politik tersebut, lalu apa ugensi politiknya menghampus ‘orang Indonesia asli’ sebagai syarat presiden? Sejenak mari kita menoleh ke belakang untuk melihat upaya serius mengambilalih republik ini dengan cara ‘Kuasai Presiden Indonesia’ (neokolonialisme-neoimperialisme) yang terekam dalam tiga gerakan para proxy loyalnya, yaitu:
(1) Gerakan menolak penggunaan kata pribumi dalam lapangan sosial dan politik. Gerakan ini cukup berhasil hingga mampu mempengaruhi Presiden Habibie dengan lahirnya Instruksi Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tentang Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan Nonpribumi Dalam Semua Perumusan dan Penyelenggaraan Kebijakan, Perencanaan Program ataupun Pelaksanaan Kegiatan Penyelengaraan Pemerintahan. Larangan itu lalu diperkuat oleh Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono melalui UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis;
(2) Gerakan Akademik menolak eksistensi kaum pribumi dan bangsa Indonesia Asli melalui kampanye politik (propaganda politik) terselubung dengan narasi bahwa secara genetik tidak ada orang Indonesia asli, atau nartasi politik bahwa wilayah nusantara itu awalnya tanpa masyarakat tempatan yang lambat laun kemudian diisi oleh para pendatang dari Asia. Propaganda ini disebarkan melalui kedok kajian akademik dengan mengenalkan empat teori asal-usul nenek moyang bangsa Indonesia, yakni: Teori Yunan, Teori Nusantara, Teori Out of Africa, dan Teori Out of Taiwan; dan
(3) Gerakan Demokrasi tentang kemerdekaan, kebebasan, persamaan, dan kesetaraan politik warga negara. Melalui agitasi politik, gerakan ini menyerang pribumi dan bangsa Indonesia Asli dengan cara menyebarkan narasi politik bahwa istilah pribumi dan bangsa Indonesia Asli bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi khususnya kemerdekaan, kebebasan, persamaan, dan kesetaraan politik. Dengan argumennya yang berniat mengecoh warga republik, Jacob Elfinus Sahetapy, seorang China pranakan kelahiran Saparua Maluku Tengah, Guru Besar Hukum universitas Airlangga Surabaya, dan anggota DPR/MPR dari PDIP dalam kapasitasnya sebagai juru bicara proxy Asing berhasil membuat seluruh pribumi anggota MPR setuju layaknya menikmati hidangan Bebek Peking: kulit lebih banyak dari isinya.
2. KUASAI POLITIK REPUBLIK
Motif pihak kapitalisme asing: kawanan oligarki menguasai politik Indonesia implisit dalam Pasal 6A Ayat (2) UUD’2002 tentang klausul ‘gabungan partai’, yang selengkapnya tertulis, “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”. Perlu diketahui bahwa secara teoritis dan praktis, ketentuan ‘gabungan partai politik’ dalam mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden adalah kejahatan politik sistematis. Disebut kejahatan politik sistematis, karena baik konsekuensi politiknya maupun implikasi politiknya dua-duanya menghasilkan kerusakan politik berat dan berantai tanpa akhir.
‘Partai bergabung’ dalam mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden selain bertentangan dengan teori kepartaian dan fatsun politik, juga nyata melanggar seluruh level politik: norma religus, norma moral, nalar ilmiah, nalar etik dan publik etis. Silahkan periksa satu persatu semua negara di dunia, hanya Indonesia di bawah kolom langit ini yang kandidat peserta pemilunya diusulkan oleh ‘gabungan partai’. Ini adalah anomali politik, dimana “koalisi partai” terjadi sebelum pemilu berlangsung hingga membatasi kemunculan pasangan jumlah kandidat. Padahal konsekuensi dari ‘gabungan partai’ adalah munculnya realitas politik berupa ‘koalisi bukan koalisi’, ‘koalisi palsu’, atau lebih tepatnya ‘koalisi kumpul kebo’. Akibat ketentuan ini, suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, partai akan tergiring untuk bergabung ke dalam partai “koalisi kumpul kebo” untuk sebuah niat permufakatan jahat, yakni akan mendukung pasangan kandidat presiden-wakil presiden yang memiliki dana besar, bisa diajak bersekongkol, dan atau tukar tambah kepentingan dalam pasar gelap kekuasaan.
Itu konsekuensi pertama, sedang konsekuensi kedua dari ‘gabungan partai politik’ adalah partai berubah menjadi ‘Partai Rental’. Harapan terbentuknya jenis partai ideologi, jenis partai kader, atau partai gabungan musnah seketika dengan hadirnya jenis ‘Partai Rental’. Melalui metode “koalisi kumpul kebo” dan “partai rental”, persekongkolan politik dalam pemilu sangat mudah menipu para pemilih melalui efek mekanis dan efek psikologis hukum Duverger: pemilih cenderung memilih pasangan kandidat yang didukung oleh jumlah “koalisi” yang besar, kandidat yang mampu ‘memberong partai’. Memang ada kasus dimana kotak kosong bisa menang, tapi itu hanya pada hitungan satu jari. Jelas sekali bahwa ‘gabungan partai’ atau “koalisi kumpul kebo” adalah penodaan terhadap teori koalisi yang menjadi ciri khas sistem perlementer yang berfungsi sebagai jalan keluar dalam memenuhi suara repsentatif minimal bila tidak terdapat partai pemenang mutlak dalam pemilu.
Melalui metode ini, arus kebencian terhadap partai politik tak terbendung setelah terbentuknya ‘kerajaan partai oligarkis’. Ini adalah metode politik paling efektif dalam penghancuran partai politik secara sistematis, dan ini adalah strategi pembusukan politik (political decay) paling jitu dalam proses penghancuran sistematis Politik Indonesia. Dalam membangun “kerajaan partai oligarkis”, UUD’2002 menghapus kedudukan MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara, menghapuas GBHN, dan kemudian melaksanakan Pilpres Secara Langsung oleh rakyat (warga negara) yang rata-rata berpendidikan rendah, yang hasilnya hanyalah pasangan Presiden-Wakil Presiden yang minus legitimasi dan justifikasi politik, serta tunduk pada kontrak ‘Oligarki Kembar Tiga’: oligarki politik (badut politik), oligarki ekonomi (bandar politik), dan oligarki sosial (bandit politik). Kerusakan politik tidak hanya berhenti pada pemilu presiden langsung, tetapi juga terus berlangsung secara masif dalam pemilu langsung pasangan gubernur-wakil gubernur, bupati-wakil bupati, dan walikota-wakil walikota secara langsung.
Agar tetap padat, saya tidak membahas satu persatu kerusakan politik yang ditimbulkan oleh “koalisi kumpul” dan “partai rental’ yang jumlahnya mencapai kurang lebih dua puluh, antara lain: (1) menyuburkan ‘Oligarki Kembar Tiga’: oligarki politik yang berbasis di partai, oligarki ekonomi yang berbasis di bisnis, dan oligarki sosial yang berbasis di kelompok kepentingan; (2) mendorong politisi makin pragmatis; (3) melemahkan hak prerogatif presiden dalam mengangkat menterinya; (4) DPR jadi “juru bicara” Presiden; (5) membuat lumpuh pengawasan DPR; (6) bagi-bagi sumber daya politik; (7) mahar politik bagi kandidat; (8) money politics bagi pemilih; (9) tidak ada kompetisi dalam pemilu; (10) jual-beli suara pemilih dan kecurangan lainnya; (11) pemilu berbiaya mahal; (12) partisipasi politik dalam pemilu memburuk; (13) munculnya ‘relawan pesanan’; (14) relawan minta jatah ekonomi dan politik; (15) memicu konflik internal partai; (16) penyebab umum pembelotan partisan (17), ketidakpastian atau bahkan “mengubur hidup-hidup” karier politik kader partai yang telah lama menapak di anak tangga partai untuk masuk di eksekutif; (18) pembelahan politik; (19) penempatan jabatan yang tidak berdasarkan pada keahliannya; (20) sangat mudah bagi Setan mencarikan pekerjaan orang-orang yang menganggur, dan lain-lain.
3. KUASAI EKONOMI REPUBLIK
Motif pihak kapitalisme asing dan kawanan oligarki menguasai ekonomi Indonesia implisit pada Pasal 33 Ayat (4) UUD’2002 tentang demokrasi ekonomi. Dalam literatur ekonomi politik dan politik ekonomi, demokrasi ekonomi adalah arena kompetisi bebas bagi para aktor sistem ekonomi dalam memenangkan tujuan. Di Indonesia, lapangan demokrasi ekonomi diramaikan oleh tiga aktor sistem ekonomi, yaitu: (1) aktor sistem ekonomi kapitalisme yang diperankan oleh oligarki ekonomi atau konglomerat; (2) sistem ekonomi komando yang diperankan oleh BUMN; dan (3) sistem ekonomi kerakyatan yang diperankan oleh koperasi.
Ketiganya berusaha sekuat mungkin menarik tangan negara dan pemerintah dalam berkompetisi untuk memenangkan tujuan. Akan tetapi apapun batasan yang dibuat Pasal 33 Ayat (4) UUD2002 tetap motifnya untuk menjaga kompetisi ini tetap bebas, sehingga dapat dipastikan bahwa BUMN dan Koperasi akan selalu kalah. Padahal konsekuensi dan implikasi dari kekalahan BUMN dan Koperasi adalah seluruh sumber daya manusia (SDM), sumber daya alam (SDA), dan sumber daya buatan (SDB) milik republik berada di bawah kontrol dan kendali para oligarki ekonomi (bandar politik) yang bersekutu dengan oligarki politik (badut politik) dan oligarki sosial (bandit politik).
Daya tarik kekayaan alam yang melimpah dan pasar produktif potensial merupakan alasan di balik kapitalisme dan oligarki ekonomi untuk menguasai SDM, SDA, dan SDB milik republik menurut hukum mereka. Fakta potensial, faktual, dan aktual ini membuat kawanan oligarkis tidak bisa menikmati tidur malam dan makan siangnya sebelum republik berada dalam genggamannya. Kaum oligarkis merampas republik dari tangan kaum republik tidak lagi mengikuti pola lama seperti yang dilakukan oleh klonialis VOC, imperialis Belanda, dan invansionis Jepang yang mengimplementasikan teori kolonialisme lama, imperialisme lama, dan invasi lama. Melainkan praktik teori kolonialisme baru (new colonialism), imperialisme baru (new imperialism), dan invasi baru (new invasion) setelah berhasil membadari pasangat kandidat pemenang dalam pemilu.
Mengakhiri Bagian-6 ini, saya tidak ragu menegaskan kembali bahwa republik di bawah rezim politik Jokowi telah mengidap patologi politik stadium tiga, republik oligarkis. Pada periode ini, tiga kelompok oligarki sepenuhnya berkembang secara sempurna dalam berbagi tugas untuk mengendalikan tiga dimensi kekuasaan (wewenang, pengaruh, dan kekuatan) di tubuh republik. Oligarki politik (badut politik) yang berbasis di partai oligarkis telah menguasai seluruh kekuasaan yang berdimensi kewenangan berupa pangkat dan jabatan. Lalu oligarki ekonomi (bandar politik) yang berbasis di perusahaan oligarkis menguasai seluruh kekuasaan yang berdimensi pengaruh berupa kekayaan. Kemudian oligarki sosial (bandit politik) yang berbasis di kelompok kepentingan (ormas) oligarkis mengendalikan seluruh kekuasaan yang berdimensi kekuatan berupa otot, senjata, dan massa. Bagi warga republik, stadium tiga atau republik oligarkis saja sudah begitu sangat menyengsarakan hidupnya, apatah lagi jika berada di stadium akhir, republik mobokrasi.
BERSAMBUNG
BACA JUGA:
Geneologi Politik Dan Kosmologi Politik Indonesia (Bagian 5)
Geneologi Politik dan Kosmologi Politik Indonesia (Bagian 4)
Geneologi Politik dan Kosmologi Politik Indonesia (Bagian-3)
Geneologi Politik dan Kosmologi Politik Indonesia (Bagian-2)
Geneologi Politik dan Kosmologi Politik Indonesia (Bagian-1)
Related Posts

Penasehat Hukum RRT: Penetapan Tersangka Klien Kami Adalah Perkara Politik Dalam Rangka Melindungi Mantan Presiden Dan Wakil Presiden Incumbent

Negeri di Bawah Bayang Ijazah: Ketika Keadilan Diperintah Dari Bayangan Kekuasaan

Novel “Imperium Tiga Samudra” (11) – Dialog Dibawah Menara Asap

Wawancara Eksklusif Dengan Kol (Purn) Sri Radjasa Chandra (3-Tamat): Korupsi Migas Sudah Darurat, Presiden Prabowo Harus Bertindak!

Wawancara Eksklusif Dengan Kol (Purn) Sri Radjasa Chandra (2): Dari Godfather ke Grand Strategi Mafia Migas

Wawancara Eksklusif dengan Kolonel (Purn) Sri Radjasa Chandra (1): “The Gasoline Godfather” Dan Bayangan di Balik Negara

Republik Sandiwara dan Pemimpin Pura-pura Gila

Jokowi Dan Polisi Potret Gagalnya Reformasi

Off The Record

Novel “Imperium Tiga Samudra” (10) – Perang Para Dewa



No Responses