Oleh: AA LaNyalla Mahmud Mattalitti
(Ketua Dewan Perwakilan Daerah Repuplik Indonesia)
Ada tiga pertanyaan mendasar yang harus kita jawab dengan jujur terkait Ambang Batas atau Presidential Threshold dalam pencalonan pasangan Capres dan Cawapres pada Pilpres.
Pertama, pertanyaaan tentang apakah pengaturan Presidential Threshold yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017
Tentang Pemilihan Umum sudah sesuai dengan Konstitusi? Mengingat Undang-Undang wajib Derifatif dari Konstitusi.
Kedua, apakah pengaturan Presidential Threshold yang ada di Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 sudah sesuai dengan keinganan masyarakat? Mengingat lahirnya Undang-Undang juga bertujuan untuk mengakomodasi aspirasi masyarakat.
Ketiga, apakah Presidential Threshold dimaksudkan untuk memperkuat sistem presidensiil dan demokrasi atau justru sebaliknya, memperlemah?
Yang pertama, apakah Presidential Threshold sesuai dengan Konstitusi. Jawabnya adalah Tidak. Dan ini bukan hanya jawaban dari saya, tetapi dari semua pakar hukum tata negara mengatakan hal yang sama. Karena memang TIDAK ADA perintah konstitusi untuk melakukan pembatasan dukungan untuk pencalonan presiden.
Yang ada adalah Ambang Batas KETERPILIHAN pasangan capres dan cawapres. Tentang itu kita bisa baca UUD NRI 1945, hasil Amandemen, di dalam Pasal 6A ayat (3) dan (4). Di situ disebutkan perlu ada Ambang Batas Keterpilihan sebagai upaya untuk menyeimbangkan antara popularitas dengan prinsip keterwakilan yang lebih lebar dan menyebar.
Sebaliknya, tentang Ambang Batas Pencalonan tidak ada sama sekali. Justru disebutkan di Pasal 6A Ayat (2) yang tertulis; “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.”
Yang normanya dari frasa kalimat itu adalah; setiap partai politik peserta pemilu DAPAT mengajukan pasangan capres dan cawapres. Dan pencalonan itu diajukan SEBELUM Pilpres dilaksanakan. Tetapi kemudian lahir Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang merupakan pengganti dari Undang-Undang sebelumnya.
Dalam Undang-Undang tersebut, di Pasal 222 disebutkan; “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya”.
Selain memberi ambang batas yang angkanya entah dari mana dan ditentukan siapa, di Pasal tersebut juga terdapat kalimat; “pada Pemilu anggota DPR sebelumnya”. Yang kemudian menjadikan komposisi perolehan suara partai secara nasional atau kursi DPR tersebut diambil dari komposisi yang lama. Atau periode 5 tahun sebelumnya.
Sungguh Pasal yang aneh, dan menyalahi Konstitusi. Apalagi menggunakan basis hasil suara yang sudah “basi”. Karena basis suara
hasil pemilu 5 tahun yang lalu.
Meskipun jelas bahwa pasal dalam Undang-Undang Pemilu tersebut Tidak DERIFATIF dari Pasal 6A UUD hasil amandemen, tetapi Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa pasal tersebut adalah bagian dari Open Legal Policy. Atau hak pembuat Undang-Undang. Sehingga,sampai hari ini, pasal tersebut masih berlaku.
Related Posts

Kedaulatan Kompor – Martabat Negara: Orkestrasi Bauran Energi Dapur Rakyat: LPG, DME, Jargas & CNGR

Sedikit Catatan Pasca Pemeriksaan di Polda Metro Jaya (PMJ) Kemarin

Operasi Garis Dalam Jokowi: Ketika Kekuasaan Tidak Rela Pensiun

Penasehat Hukum RRT: Penetapan Tersangka Klien Kami Adalah Perkara Politik Dalam Rangka Melindungi Mantan Presiden Dan Wakil Presiden Incumbent

Negeri di Bawah Bayang Ijazah: Ketika Keadilan Diperintah Dari Bayangan Kekuasaan

Novel “Imperium Tiga Samudra” (11) – Dialog Dibawah Menara Asap

Wawancara Eksklusif Dengan Kol (Purn) Sri Radjasa Chandra (3-Tamat): Korupsi Migas Sudah Darurat, Presiden Prabowo Harus Bertindak!

Wawancara Eksklusif Dengan Kol (Purn) Sri Radjasa Chandra (2): Dari Godfather ke Grand Strategi Mafia Migas

Wawancara Eksklusif dengan Kolonel (Purn) Sri Radjasa Chandra (1): “The Gasoline Godfather” Dan Bayangan di Balik Negara

Republik Sandiwara dan Pemimpin Pura-pura Gila



Kétamine HCLDecember 4, 2024 at 7:29 pm
… [Trackback]
[…] Information to that Topic: zonasatunews.com/tokoh-opini/lanyalla-mengapa-presidential-threshold-harus-dihapus/ […]
pgslotJanuary 24, 2025 at 6:10 pm
… [Trackback]
[…] There you will find 13774 more Information to that Topic: zonasatunews.com/tokoh-opini/lanyalla-mengapa-presidential-threshold-harus-dihapus/ […]