“Make America Great Again”: Apakah Ini Pertanda Kembalinya “Politik Pribumi”?

“Make America Great Again”: Apakah Ini Pertanda Kembalinya “Politik Pribumi”?
Dr. Mulyadi (Opu Andi Tadampali), Dosen Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia

Oleh: Mulyadi (Opu Andi Tadampali)
Dosen Ilmu Politik Fisip UI dan Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia

Senin, 20 Januari 2025, Donald Trump resmi menjadi Presiden Amerika ke-47 untuk masa jabatan empat tahun ke depan (2025-2029). Mulai di hari pertamanya berkantor di Gedung Putih, ada banyak orang yang tinggal di Amerika berdebar jantungnya menunggu keputusan politik Trump yang akan menentukan nasibnya. Orang-orang yang sedang resah ini dapat diduga kuat bukan dari kelompok mayoritas pemilih Trump. Ini clear jika dilihat dari sudut pandang alasan utama pelembagaan pemerintahan dalam filosofi politik John Locke dalam Treatise on Government (1690) bahwa tujuan pertama dan utama dari orang-orang yang bersatu dalam persemakmuran, dan menempatkan diri di bawah pemerintahan adalah penjagaan hak milik mereka.

Keputusan Trump yang menggelisahkan banyak orang di Amerika itu terkait janji kampanyenya yang akan mengusir imigran gelap yang jumlahnya tidak sedikit, kira-kira 11 juta orang, kurang lebih setara dengan jumlah penduduk Provinsi DKI Jakarta di waktu siang. Jika tidak dibatalkan, itu keputusan politik Trump yang akan mengguncang politik ekonomi Amerika, dan Trump rupanya tidak gentar dengan konsekuensi itu karena akan melibatkan kekuatan militer. Selain itu, Trump juga akan mencabut ketentuan lama tentang warga negara Amerika sejak kelahirannya. Trump tidak ingin lagi bahwa “siapa pun yang lahir di Amerika berhak mendapat warga negara Amerika”.

Kedua janji Trump itu tentu atas pertimbangan yang matang setelah melihat fenomena warga kulit putih Amerika yang perlahan tersingkir dari pentas politik dan ekonomi Amerika.

Trump sangat yakin bahwa pemerintah, dalam pengertian tertentu, harus memiliki hak untuk dipatuhi. Jika merujuk pada inti definisi kekuasaan politik dari John Locke, maka Trump sangat percaya bahwa kekuasaan politik adalah hak untuk membuat peraturan hukum beserta sanksi hukumnya untuk mengatur, menjaga, dan memanfaatkan kekuatan yang ada dalam mempertahankan negara dari serangan asing.

Ada banyak janji Trump yang disampaikan dalam kampanye presiden yang membuat negara lain gelisah, seperti kebijakan pajak 25% terhadap Meksiko dan Kanada, sekaligus kebijakan yang membuat dunia merasa tenang dan damai, seperti penghentian perang Ukraina. Namun dua janji keputusan politik yang saya sebut di awal merupakan yang paling merisaukan bagi para pendatang illegal dan bangsa lain yang lahir di Amerika.

Bagi Trump, dua kebijakan yang berbau “bangsa pribumi Amerika” itu merupakan metode paling stratejik untuk memurnikan tujuan Amerika didirikan oleh bangsa Amerika, sekaligus untuk mengembalikan kejayaan Amerika yang hilang dari tangan white supremacy sebagaimana yang menjadi inti dari payung tema kampanye politiknya, “Make Amerika Great Again (MAGA)”.

Gerakan Politik MAGA

“Make America Great Again” (MAGA) yang mulai dipopulerkan Donald Trump pada saat kampanye presiden Amerika tahun 2016, memiliki tujuan politis lebih dari sekedar memenangkan pemilu. Secara kronologis, istilah “MAGA” sudah digunakan Trump sejak tahun 2012 setelah Mitt Romney kalah dalam pemilihan presiden melawan Barack Obama. Namun baru populer saat Trump menggunakannya sebagai slogan kampanye terutama pada kampanye presiden tahun 2024.

Meskipun Trump mendaftarkan slogan tersebut sebagai merek dagang untuk meningkatkan kesadaran publik tentang isu-isu politik dan penggalangan dana dalam bidang politik, tujuan slogan itu tidak dapat dilihat sebatas itu. Melampui tujuan itu, secara politis MAGA harus dilihat dalam konteks reinkarnasi politik Amerika dalam melawan serangan para pendatang yang mengancam eksistensi “kaum pribumi Amerika” (white nasionalist supremacy). Di balik slogan itu, terdapat kesadaran kritis kaum pribumi Amerika bahwa demokrasinya yang longgar dan toleran telah menyingkirkan “white nasionalist supremacy”. Dulu, misalnya, ^politik kesepakatan diam Amerika^ tentang empat syarat presiden Amerika sangat kuat, sehingga siapapun tidak mudah bermimpi jadi presiden jika tidak memiliki empat kriteria, yakni: (1)memiliki tetesan darah putih asli Amerika (darah Irlandia); (2) tidak memiliki tetes darah hitam (darah Kulit Hitam); (3) memiliki tetesan darah Yahudi; dan (4) beragama Protestan.

Secara historis slogan yang dipopulerkan Trump itu memiliki kesinambungan dengan slogan Ronald Reagan, “Let’s Make America Great Again” yang digunakan selama kampanye pemilihan presiden Amerika tahun 1980. Reagan menggunakan slogan itu untuk membangkitkan semangat patriotisme para pendukungnya yang dijanjikan penurunan tingkat pengangguran dan peningkatkan kepercayaan investor melalui perubahan ekonomi yang saat itu sedang mengalami perpaduan inflasi tinggi dan pertumbuhan ekonomi lambat (stagflasi) di bawah rezim politik Presiden Jimmy Carter. Reagan menggunakan slogan “Let’s Make America Great Again” selain untuk memperoleh dukungan luas, juga karena di bawah presiden Carter mengemuka tiga hal pokok, yaitu: (1) merosotnya kepercayaan publik Amerika terhadap pemerintah; (2) masyarakat Amerika terpolarisasi; dan (3) menurunnya citra Amerika sebagai negara adidaya.

Adanya relasi kompleks antara tagline MAGA dan “politik pribumi Amerika” (white nationalist supremacy) dapat dilihat dari kemunculan para penentangnya dari berbagai pihak. Mulai dari mantan pejabat tinggi Gedung Putih, seperti Barrack Obama, Joe Biden, Hillary Clinton hingga Partai Demokrat dan organisasi HAM. Dari agamawan, seperti Paus Fransiskus dan Bishop Mariann Edgar Budde (Uskup Episkopal Washington D.C.) hingga organisasi agamawan, seperti Council on American-Islamic Relations (CAIR) pendukung hak-hak imigran dan pengkritik kebijakan anti-Muslim Trump. Selain itu juga tampil National Council of Churches (NCC) yang mengkritik kebijakan Trump yang dianggap merendahkan nilai-nilai keagamaan dan memperburuk perpecahan sosial. Dari media mainstream Amerika, seperti The New York Times, dan The Washington Post hingga media online/medsos, seperi Medium (Platform), HuffPost, dan A World Gone Mad (Podcast). Mereka menentang gerakan MAGA karena dianggapnya anti-imigrasi, diskriminatif, tidak adil, serta pro-kebijakan luar negeri yang agresif.

Meskipun Donald Trump menyangkal semua tudingan itu, dan tidak semua pengguna slogan MAGA adalah mendukung white supremacy, interpretasi rasialis dan diskriminasi telah menciptakan relasi yang kuat antara slogan MAGA dengan gerakan white supremacy. Inilah menurut saya yang menjadi faktor utama kemenangan Trump melawan Hillary yang bersimpati pada kulit hitam dan Kamala Haris yang warga negara Amerika keturunan.

Slogan MAGA memiliki hubungan kompleks dengan gerakan “politik kanan” dan “nasionalisme putih”(white nationalist supremacy). Betul bahwa tidak semua pengguna slogan ini mendukung white supremacy. Namun penggunaan slogan ini oleh kelompok-kelompok ekstrem dan interpretasi rasialis telah menciptakan kaitan yang kuat antara keduanya. Kaitan itu dapat dicermati dari berbagai opini yang diturunkan oleh berbagai pihak, seperti “The Evolution of ‘Make America Great Again” oleh NPR; “The Alt-Right and White Nationalism” oleh Southern Poverty Law Center; “How ‘Make America Great Again’ Became a Rallying Cry for White Nationalists” oleh The New York Time; “The origins of ‘Make America Great Again” oleh CNN.

Bagi orang-orang luar Amerika dan warga negara Amerika pendatang, terpilihnya Obama adalah bukti sehatnya demokrasi Amerika. Namun bagi orang-orang “pribumi Amerika” terutama elit kulit putih pendukung MAGA dan Trump, terpilihnya Obama adalah bukti tolerannya demokrasi Amerika terhadap para pendatang yang datang untuk mengikis white supremacy. Bagi orang yang paham taksonomi politik Amerika, tagline “Make America Great Again” bukanlah tagline biasa. Itu adalah bentuk kemarahan dan perlawanan diam dari “politik pribumi Amerika” (white nationalist supremacy) atas merosotnya kemampuan demokrasinya dalam melindungi eksistensinya di arena politik dan ekonomi.

Baca juga:
Oligarki Kembar Tiga: “Koalisi Kumpul Kebo” dan “Partai Rental” Kejahatan Ganda Partai

Kebangkitan Politik Pribumi Indonesia

Tentang pengakuan “politik pribumi Indonesia” vulgar ditegaskan ole UUD’1945 Asli, tepatnya pada Pasal 6 dan Pasal 26. Pada Pasal 6 Ayat (1) eksplisit ditegaskan bahwa hanya orang Indonesia Asli yang boleh menjadi presiden Indonesia. Bangsa lain tidak boleh sekalipun telah menjadi warga negara Indonesia sejak kelahirannya. Pasal 6 Ayat (1) berbunyi, “Presiden ialah orang Indonesia asli”. Sedangkan pada Pasal 26 Ayat (1) eksplisit ditegaskan bahwa yang otomatis mejadi warga negara Indonesia hanyalah bangsa Indonesia Asli, sedang bangsa lain (bangsa Asing) yang menjadi warga negara Indonesia harus terlebih dahulu disahkan oleh Undang-Undang. Pasal 26 Ayat (1) berbunyi, “Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara”.

Kejatuhan “politik pribumi Indonesia” dimulai pada era Presiden B.J. Habibie yang melarang penggunaan “kata pribumi” dalam urusan politik dan pemerintahan. Larangan itu termuat dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 26 Tahun 1998 tentang Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan Non Pribumi. Lalu secara eksplisit juga dipertegas oleh Pasal 6 UUD’2002 hasil amandemen yang mengganti syarat Presiden dari yang tadinya hanya boleh bagi orang bangsa Indonesia Asli menjadi boleh bagi bangsa lain sepanjang ia WNI sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain di luar kehendaknya.

Secara kronologis, politis dan yuridis, puncak kematian “politik pribumi Indonesia” berlangsung di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang dikukuhkan oleh UU Nomor 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras Dan Etnis. Lalu kebangkitan “politik pribumi Indonesia” secara vulgar berlangsung sejak turunnya Presiden Jokowi. Selama dua periode rezim politik Jokowi memerintah, pribumi Indonesia berada dalam penindasan sempurna yang dilakukan oleh tiga aktor politik, yakni badut politik (oligarki politik) berupa elit pejabat politik hitam, bandar politik (oligarki ekonomi) berupa elit pengusaha hitam, dan bandit politik (oligarki sosial) berupa elit tokoh-tokoh hitam. Dibutuhkan Presiden Indonesia, seperti Donald Trump yang bisa membaca dan memahami sekaligus membela “politik pribumi Indonesia”.

EDITOR: REYNA

Baca juga artikel Dr Mulyadi lainnya:

Geneologi Politik dan Kosmologi Politik Indonesia (Bagian-1)

Geneologi Politik dan Kosmologi Politik Indonesia (Bagian-2)

Geneologi Politik dan Kosmologi Politik Indonesia (Bagian-3)

Geneologi Politik dan Kosmologi Politik Indonesia (Bagian 4)

Geneologi Politik Dan Kosmologi Politik Indonesia (Bagian 5)

Geneologi Politik Dan Kosmologi Politik Indonesia (Bagian 6)

Geneologi Politik Dan Kosmologi Politik Indonesia (Bagian 7)

Last Day Views: 26,55 K