Menyingkap Serangan Balik Mafia Migas dan Tambang

Menyingkap Serangan Balik Mafia Migas dan Tambang

Penulis : Sri Radjasa, MBA
(Pemerhati Intelijen)

Gelombang pemberantasan korupsi yang tengah didorong Kejaksaan Agung membuka kembali satu bab lama dalam sejarah politik sumber daya Indonesia, bab tentang bagaimana kekayaan alam kerap menjadi sumber kekuasaan gelap. Korupsi di sektor migas dan pertambangan bukan lagi sekadar pelanggaran hukum, melainkan bentuk grand corruption yang melibatkan elite politik, sebagian aparat penegak hukum, dan jejaring bisnis bayangan. Inilah yang oleh para akademisi disebut sebagai state capture, ketika kebijakan negara dibajak oleh kepentingan privat.

Ketika Kejagung mulai menyentuh akar-akar persoalan tata niaga yang sarat rente, tanda-tanda perlawanan pun muncul. Laporan terhadap Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus ke KPK, disertai aksi demonstrasi bertema delegitimasi Kejagung, memperlihatkan pola yang sangat dikenal dalam kajian intelijen sebagi operasi kontra untuk menggoyang proses hukum.

Fenomena ini mengingatkan kita pada dinamika serupa di negara-negara yang berhadapan dengan mafia sumber daya seperti di Brasil pada kasus Petrobras, atau Nigeria dengan kejahatan minyak mentah, dimana para pelaku kejahatan terorganisasi menggunakan opini publik dan celah politik untuk menghambat penegakan hukum.

Di Indonesia, pola itu kini terlihat terang. Informasi tentang dugaan keterlibatan makelar kasus kelas kakap, jaringan tambang ilegal, dan pendanaan oleh bandar judi online memberi sinyal bahwa rangkaian aksi tersebut bukan spontanitas massa, melainkan operasi terstruktur. Bahkan disebut bahwa Riza Chalid menggelontorkan dana hampir satu triliun rupiah untuk menghalangi proses hukum yang menjerat keluarganya, angka yang mencerminkan betapa mahalnya harga impunitas dalam ekosistem korupsi Indonesia.

Dalam perspektif hukum, tindakan-tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai obstruction of justice, sebuah upaya penghalangan proses hukum yang berdampak langsung pada kewibawaan negara. Karena itu, rapat koordinasi lintas lembaga yang kini dilakukan pemerintah menjadi langkah krusial. Negara tidak bisa membiarkan para pelaku memanfaatkan institusi penegak hukum untuk saling dibenturkan. Jika hal itu dibiarkan, luka yang ditimbulkan akan merusak legitimasi negara jauh lebih dalam daripada kasus korupsi itu sendiri.

Ancaman terhadap Kewibawaan Negara

Dalam Why Nations Fail, Acemoglu dan Robinson menjelaskan bahwa negara melemah ketika elite predatori menguasai institusi-institusi kunci. Indonesia kini menghadapi ujian serupa. Sektor migas dan tambang, yang selama puluhan tahun menjadi tulang punggung ekonomi, juga menjadi ladang subur bagi rente, persekongkolan, dan infiltrasi kepentingan gelap.

Ketika jejaring ini merasa terancam oleh penegakan hukum, perlawanan yang mereka lakukan bukan lagi sekadar taktik individual, tetapi serangan balik terorganisasi.

Serangan terhadap Kejagung tidak hanya menyasar individu pejabat, tetapi juga kredibilitas institusi. Ketika kepercayaan publik digoyang melalui narasi, hoaks, dan demonstrasi pesanan, negara masuk ke wilayah paling berbahaya berupa delegitimasi otoritas hukum. Inilah strategi klasik yang dipakai kelompok-kelompok kriminal di berbagai belahan dunia untuk melemahkan negara dari dalam.

Dalam konteks Indonesia, ancaman ini semakin nyata ketika Presiden Prabowo menyatakan secara tegas agar siapa pun yang melindungi koruptor ditangkap tanpa pandang bulu. Pernyataan tersebut bukan sekadar instruksi, tetapi political signal yang penting untuk mempertegas posisi negara dalam pertarungan melawan mafia sumber daya. Ketegasan politik diperlukan agar proses hukum tidak berubah menjadi arena kompromi atau barter kepentingan.

Namun, ketegasan saja tidak cukup. Penegakan hukum memerlukan dukungan publik yang kuat. Ketika masyarakat terpapar informasi yang terdistorsi, ruang manipulasi terbuka lebar. Dalam teori social resilience, ketahanan negara sangat bergantung pada literasi masyarakat, apakah publik mampu membedakan kritik yang sah dari operasi informasi yang dirancang untuk merusak legitimasi institusi. Jika tidak, negara akan mudah digoyang oleh opini yang direkayasa.

Pada akhirnya, pertarungan melawan mafia migas dan tambang adalah ujian besar bagi masa depan penegakan hukum. Negara tidak boleh kalah. Jika mekanisme hukum dapat dipatahkan oleh uang dan tekanan, kita akan kembali terjebak dalam lingkar keputusasaan, di mana korupsi menjadi norma dan keadilan menjadi barang mewah.

Ujian ini akan menentukan arah sejarah, apakah negara mampu menegakkan wibawa dan menempatkan hukum sebagai panglima, atau justru tunduk di bawah tekanan para pemburu rente. Publik harus tetap waspada, sekaligus berdiri di belakang institusi yang sedang berupaya memberantas korupsi sistemik. Tanpa dukungan publik, tak ada institusi yang kuat. Tanpa keberanian negara, tak ada masa depan yang dapat dibangun di atas fondasi keadilan.

Pertarungan ini belum selesai, tetapi satu hal pasti, bahwa hanya negara yang teguh dan konsisten yang dapat memenangkan perang melawan mafia migas dan tambang. Dan kemenangan itu bukan sekadar kemenangan hukum, melainkan kemenangan moral bagi Indonesia sebagai negara hukum yang bermartabat.

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K