Oleh: M. Isa Ansori
Di peta negara, Morowali masih diberi warna merah putih. Di atasnya masih berkibar bendera, masih ada kantor pemerintahan, dan masih ada aparat yang berjaga. Tetapi seperti kata orang Jawa, rupane isih ana, nyawane ora ketara—raganya ada, tetapi jiwanya entah di mana. Morowali adalah tanah Indonesia yang tampak merdeka, tetapi perlahan kehilangan kemerdekaannya.
Menteri Pertahanan Syafri Samsudin mungkin tidak bermaksud membuat kehebohan ketika mengatakan bahwa “Bandara Morowali telah beroperasi layaknya negara dalam negara.” Namun ucapan itu langsung memecahkan sunyi yang selama bertahun-tahun menutupi kenyataan: ada wilayah di republik ini yang hidup dengan aturan seperti di luar republik itu sendiri. Dan ironi itu terjadi bukan di perbatasan, bukan di pulau terpencil, melainkan di jantung industri nikel yang selama sepuluh tahun terakhir dielu-elukan sebagai simbol kebangkitan ekonomi nasional. Dan lebih ironi lagi ini diresmikan oleh Presiden ke 7 Jokowi.
Satire terbesar republik ini justru berada di sana: tempat negara merasa paling berjasa, tetapi paling tidak berkuasa.
Bandara Morowali Sebagai Negara Terselubung
Bandara Morowali, apabila dilihat dari udara, tampak seperti fasilitas negara yang rapi. Jalurnya jelas, bangunannya tegas, dan benderanya berkibar dengan sopan. Tetapi seperti rumah mewah yang ternyata disewa oleh orang lain, bandara itu berdiri megah namun jiwa republik di dalamnya kabur.
Syafri mengatakan dengan tegas: “Tidak boleh bandara dikelola seperti itu. Ini seolah negara di dalam negara. Pengawasan tidak ada, standar keamanan tidak berjalan.”
Jika seorang Menteri Pertahanan saja kebingungan membedakan mana kewenangan negara dan mana wilayah industri, kita patut bertanya: siapa sebenarnya yang berkuasa di Morowali? Dan lebih penting lagi: sejak kapan negara mulai merasa asing di tanahnya sendiri?
Pertanyaan itu tentu tidak jatuh dari langit. Ia lahir dari sebuah pola yang sudah lama berdiri.
Negara Menjadi Budak Korporasi
Sejak tahun-tahun awal pemerintahan Jokowi, Morowali berubah menjadi panggung spektakuler bagi industrialisasi berbasis nikel. Jalan dibuka, pabrik berdiri, investor datang seperti arus musim hujan. Presiden meresmikan banyak fasilitas, memuji percepatan, dan mengklaim investasi sebagai “arah besar bangsa”.
Namun dalam euforia itu, negara perlahan mengambil posisi baru yang aneh: bukan lagi pengatur panggung, tetapi justru penonton kehormatan. Penonton yang tepuk tangannya paling keras, tetapi tidak ikut menentukan jalan cerita.
Dalam satu dekade, negara seolah terbiasa tunduk pada segelintir korporasi besar. Negara rela menjadi budak dan pelayan korporasi. Pada setiap proyek hilirisasi, oligarki menjadi pusat orbit, dan negara berputar mengelilinginya seperti satelit yang terlalu patuh.
Tidak heran banyak pengamat mengatakan Jokowi berubah menjadi administrator kepentingan oligarki—pemimpin yang sibuk meresmikan pintu, namun lupa memastikan siapa yang menguasai ruangan setelah ia pergi.
Dan Morowali adalah tempat di mana kebiasaan itu paling telanjang terlihat.
Jokowi Pemimpin Yang Kehilangan Wahyu
Orang Jawa mengenal istilah wangsa ilang wahyune: ketika pemimpin kehilangan cahaya kebijaksanaannya. Cahaya itu biasanya padam ketika seorang pemimpin terlalu dekat dengan kekuasaan yang semu, atau terlalu tunduk kepada kepentingan yang bukan kepentingan rakyat. Jokowi rela “menjual” wahyu demi korporasi dan keuntungan pribadi dan kelompoknya.
Morowali adalah gambaran paling jelas dari kehilangan cahaya itu. Negara hadir, tetapi tidak bercahaya. Aturan ada, tetapi tidak tegak. Bandara berdiri, tetapi yang menguasai bukan institusi publik.
Kita seperti sedang menonton pewayangan di mana punakawan yang jujur berteriak memperingatkan, tetapi para ksatria justru sibuk memuja tamu agung yang menaburkan emas.
Syafri Samsudin, dengan gayanya yang terus terang, seolah menjadi Semar yang mengingatkan: “Jangan sampai negara dalam negara dibiarkan berkembang. Ini tanah Indonesia, bukan daerah khusus kapital.”
Namun suara Semar baru muncul setelah bertahun-tahun panggung dikendalikan pihak lain.
Morowali dan Penjajahan Gaya Baru
Apakah Morowali sedang dijajah? Tentu tidak. Tidak ada kapal perang, tidak ada bendera asing, tidak ada deklarasi pendudukan. Tetapi penjajahan hari ini tidak membutuhkan meriam. Ia datang melalui investasi, perjanjian, dan kata-kata manis tentang pembangunan.
Penjajahan baru lebih senyap, tetapi jauh lebih dalam. Ia menguasai infrastruktur, ritme sosial, dan pola hidup. Dan ketika bandara sebagai simbol kedaulatan pun dapat berjalan lebih dekat pada kepentingan industri daripada negara, maka itu bukan lagi sekadar ironi—itu alarm.
Mengembalikan Kemerdekaan Yang Terkoyak
Morowali tidak perlu dinasionalisasi. Tidak perlu disterilkan dari investor. Pembangunan tetap harus berjalan. Tetapi negara harus kembali menegakkan dirinya sebagai negara. Bukan pelayan modal. Bukan juru bicara korporasi. Dan bukan penonton terhormat yang hanya bertepuk tangan.
Bandara adalah wilayah negara.
Kedaulatan adalah hak negara.
Morowali adalah tanah negara.
Dan tanah negara tidak boleh berjalan seperti kerajaan industri yang kebetulan masih memakai bendera Merah Putih.
Kemerdekaan bukan sekadar tanggal 17 Agustus. Kemerdekaan adalah ketika negara benar-benar berkuasa atas setiap jengkal tanahnya. Dan kini, Morowali sedang memanggil negara untuk kembali. Karena tanah itu masih Indonesia—ia hanya sedang tidak merasa merdeka.
Surabaya, 27 November 2025
Tentang Penulis :
Kolumnis dan Akademisi, Fokus pada Psikologi Komunikasi dan Tarnsaksional Analisis, Dewan Pakar LHKP PD Muhammadiyah Surabaya, Pengurus Forum Pembauran Kebangsaan ( FPK ) Kota Surabaya dan Wakil Ketua ICMI Jatim. Aktif menulis essay politik, sosial, budaya dan pendidikan untuk bebrgai media cetak maupun online
EDITOR: REYNA
Related Posts

Wanita Pengusaha Nganjuk Dan Rekannya Tewas Dibunuh Di Kamar Kos

Tuhan Mengirim Air Untuk Membuka Aib Kita

Rehabilitasi Ira ASDP dkk, Hotman Paris Puji Pesiden: Bravo, Hebat, Excellent, Akan banyak Kasus Seperti Itu!

Sistem MinerbaOne Kementrian ESDM Sering Error, CERI Dorong Kejaksaan Agung dan KPK Menyelidiki

Yusri Kecam Dua Pimpinan Pertamina Batal Temui Keluarga Korban Rig AU-17 Duri Field

Sri Radjasa: Ketika Akar Kita Mulai Lepas dari Tanahnya

Makna Pernyataan Hotman Paris: Dari Kasus Ira Puspadewi ke Potensi Rehabilitasi Karen Agustiawan

Bandara Morowali dan Banditisme

Kasus Bandara IMIP Morowali Dalam Perspektif Geopolitik Dr. Anton Permana

Faizal Assegaf: “Tutup Semua Pintu Mediasi, Jalur Pengadilan Harus Ditempuh Roy CS”



No Responses