Oleh: Muhammad Chirzin
Pada tanggal 3 Januari 1946 Prof. Dr. H. Muhammad Rasyidi diangkat menjadi Menteri Agama Republik Indonesia pertama berdasarkan maklumat Pemerintah Republik Indonesia tentang berdirinya Kementerian Agama RI. Tanggal tersebut diperingati sebagai Hari Amal Bakti Kementerian Agama RI.
Prof. Dr. H. Muhammad Rasyidi lahir di Kotagede, 20 Mei 1915, dengan nama Saridin bin Atmosudigdo. Nama Muhammad Rasyidi diperoleh dari tokoh Persis Ahmad Syurkati yang digunakan setelah ia menunaikan haji.
Prof. Dr. H. Muhammad Rasyidi menempuh Pendidikan di Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta, Fakultas Filsafat Universitas Kairo Mesir pada tahun 1938, dan Universitas Sorbonne, Paris tahun 1956.
Prof. Dr. H. Muhammad Rasyidi ditetapkan menjadi Guru Besar Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia bidang Hukum Islam dan Lembaga-Lembaga Islam pada 20 April 1968.
Masalah utama setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada tahun 1945 adalah pengakuan kedaulatan. Tanpa pengakuan dari negara lain yang berdaulat, proklamasi sebuah bangsa dianggap tidak berkekuatan hukum di mata internasional.
Memenuhi kebutuhan itu, Haji Agus Salim, H.M. Rasyidi, dan Abdurrahman Baswedan bertandang ke dunia Arab sebagai tim delegasi Pemerintah Indonesia. Bersama mereka Nazir St. Pamuntjak dan Abdul Kadir sebagai anggota.
Misi diplomatik H.M. Rasyidi dkk selama April-Juli 1947 itu berhasil menggaet dukungan dari Mesir, Suriah, Lebanon, Arab Saudi, dan Yaman. Perjuangan yang berliku dan penuh risiko itu terangkum dalam catatan A.R. Baswedan, “Misi Diplomatik Republik Indonesia di Mesir” dalam buku Seratus Tahun Haji Agus Salim (1984).
H.M. Rasyidi menegaskan bahwa berdirinya Kementerian Agama bertujuan merealisasikan pasal 28 UUD 1945 tentang asas inklusivitas dan mengakhiri pemecahbelahan umat beragama di Indonesia pada masa Belanda dan Jepang. “Supaya dalam negara Indonesia yang sudah merdeka ini janganlah hendaknya urusan agama hanya disambil-lalukan dalam tugas Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan atau departemen-departemen lainnya, tetapi hendaknya diurus oleh suatu Kementerian Agama tersendiri.” Dia membantah pendapat J.W.M. Bakker bahwa berdirinya Kemenag adalah sebagai batu loncatan untuk membentuk negara Islam.
Kebutuhan mengisi lembaga peradilan Islam pada dekade pertama Indonesia merdeka membuat Rasjidi bersama M. Natsir, Hatta, dan Wahid Hasyim mendirikan Sekolah Tinggi Islam pada tahun 1948. Lembaga pendidikan inilah yang kemudian berubah menjadi IAIN/UIN.
Penamaan aula dalam gedung Kementerian Agama RI lantai pertama di bilangan Thamrin Jakarta Pusat dengan namanya untuk mengenang kiprah H.M. Rasyidi sebagai sosok pejuang kemerdekaan dan pembela umat.
Pasca Konferensi Meja Bundar 1949 H.M. Rasyidi ditunjuk oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta untuk mengambil alih bekas kedutaan dan konsulat Belanda di Jeddah dan Mekkah, lalu ditugaskan menjadi Duta Besar Republik Indonesia untuk Mesir dan Arab Saudi pada 1950-1951. Pada tahun berikutnya, ditugaskan menjadi Duta Besar RI untuk Iran sampai tahun 1954 dan Duta Besar RI untuk Pakistan pada 1956-1958.
Karakter paling kentara H.M. Rasyidi adalah keteguhannya di dunia akademik dalam melawan paham sekularisme dan liberalisme, saat mengkritik gagasan Harun Nasution dan Nurcholis Madjid dengan menulis buku Koreksi Terhadap Drs. Nurcholis Madjid Tentang Sekularisasi (1977), dan Koreksi Terhadap Dr. Harun Nasution Tentang Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya (1983).
Sikap konfrontatif H.M. Rasjidi secara ideologis tidak lepas dari masa kecilnya yang berasal dari keluarga Kejawen kental dan pengembaraan akademiknya sebagai mahasiswa filsafat di berbagai universitas bergengsi Al-Azhar dan Universitas Kairo Mesir, serta Universitas Sorbonne Perancis, dan pengajar di universitas McGill Kanada.
Pergaulan H.M. Rasyidi dengan tokoh Ikhwanul Muslimin Sayyid Qutb selama di Al-Azhar mempengaruhi corak revivalisnya. Selama di Mesir pada 1931-1938, H.M. Rasjidi juga rajin bertukar pikiran dengan murid Muhammad Abduh yakni Mustafa Abdul Raziq yang kemudian menjadi rektor.
H.M. Rasjidi terkesan dengan gurunya, orientalis ternama Louis Massignon, yang kemudian merekomendasikannhya untuk melanjutkan kuliah di Sorbonne University, Paris–Perancis dengan biaya dari Yayasan Rockfeller. Pada tahun 1956 H.M. Rasjidi berhasil menjadi orang Indonesia pertama lulusan Sorbonne dan meraih gelar doktor secara Cum Laude lewat disertasi berjudul L’evolution de I’lslam en Indesie ou consideration critique du livre Tjentini (Kajian kritis Serat Centini).
Keberaniannya mendebat pernyataan ahli hukum Islam Columbia University J. Schacht dalam ceramah di McGill membuat Rasyidi dituduh oleh beberapa pihak sebagai ortodoks. Pembelaan guru besar Toshihiko Izutsu menyelamatkan posisi Rasyidi di McGill. H.M. Rasyidi juga mendebat Majid Khadduri saat ia menjabat sebagai Direktur Pelaksana Pusat Islam di Washington DC tahun 1963.
H.M. Rasyidi menghargai orientalis Snouck Hurgronje, sekaligus bersikap konfrontatif pada mereka yang mendistorsi makna ajaran Islam, terutama setelah menemukan pernyataan Hurgronje kepada misionaris di Nusantara yang sering mengkritik Islam, sementara melupakan sejarah mereka di Eropa.
H.M. Rasyidi wafat dalam usia ke-85 tahun pada penghujung tahun 2001. Almarhum dimakamkan di tanah kelahirannya, Kotagede, Yogyakarta.
Karya tulisnya antara lain, Filsafat Agama (1965), Bibel, Qur’an dan Sains Modern, terjemahan buku Dr. Maurice Bucaille La Bible, le coran et la science, (1978), Kebebasan Beragama, Media Dakwah (1979), Humanisme dalam Islam terjemahan karya Dr. Marcel Boisard (1980), Strategi Kebudayaan dan Pembaharuan Pendidikan Nasional (1980), Janji-janji Islam, terjemahan karya Roger Garaudy, Bulan Bintang (1982), dan Persoalan-Persoalan Filsafat terjemahan buku Titus cs, The Living Issue of Philosophy (1984).
“Tiga kesan yang melekat pada sosok H.M. Rasyidi: diplomat, menteri agama, dan mujahid di dunia pemikiran.” (Nurcholish Madjid)
“H.M Rasyidi sosok penjaga akidah umat yang langka.” (Dawam Rahardjo).
“Rasjidi adalah The Guardian dunia pemikiran Islam Indonesia yang selalu cemas bila melihat gejala ‘penyimpangan’ atau ‘penyelewengan’ dalam kegiatan intelektual.” (Lukman Hakiem)
Selamat Hari Amal Bakti ke-78. Indonesia Hebat Bersama Umat.
EDITOR: REYNA
Related Posts

Tandem Pernyataan Sikap FPP-TNI Dan Forum Kebangsaan DIY

Nilai-Nilai Al-Quran Dalam Pancasila

Ummat Islam Makin Terpuruk Secara Politik

Kedaulatan Kompor – Martabat Negara: Orkestrasi Bauran Energi Dapur Rakyat: LPG, DME, Jargas & CNGR

Mengapa OTT Kepala Daerah Tak Pernah Usai?

Sedikit Catatan Pasca Pemeriksaan di Polda Metro Jaya (PMJ) Kemarin

Operasi Garis Dalam Jokowi: Ketika Kekuasaan Tidak Rela Pensiun

Jejak Kekuatan Riza Chalid: Mengapa Tersangka “Godfather Migas” Itu Masih Sulit Ditangkap?

Penjara Bukan Tempat Para Aktifis

FTA Mengaku Kecewa Dengan Komposisi Komite Reformasi Yang Tidak Seimbang



No Responses