Muhammad Chirzin: Lebih Dekat Dengan Bung Hatta

Muhammad Chirzin: Lebih Dekat Dengan Bung Hatta
Prof. Dr. H. Muhammad Chirzin, M.Ag, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Oleh: Muhammad Chirzin

 

Dr. (HC) Mohammad Hatta pejuang kemerdekaan, negarawan, ekonom, Wakil Presiden RI pertama, proklamator Kemerdekaan Indonesia bersama Bung Karno pada 17 Agustus 1945.

Bung Hatta lahir dari pasangan Muhammad Djamil dan Siti Saleha dari Minangkabau. Ayahnya keturunan ulama Naqsyabandiyah di Batuhampar, Sumatera Barat, dan ibunya dari keluarga pedagang di Bukittinggi. Ia lahir dengan nama Muhammad Athar pada tanggal 12 Agustus 1902, yang artinya harum. Sejak kecil dididik dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang taat melaksanakan ajaran agama Islam.

Mohammad Hatta mengenyam pendidikan formal di sekolah swasta, lalu pindah ke sekolah rakyat, kemudian pindah ke ELS di Padang, dan melanjutkan ke MULO. Di luar pendidikan formal, Hatta belajar agama kepada Muhammad Jamil Jambek, Abdullah Ahmad, dan beberapa ulama lainnya. Perdagangan ikut memengaruhi perhatian Hatta terhadap perekonomian.

Hatta mulai terjun dalam pergerakan politik sewaktu bersekolah di Belanda dari 1921–1932 pada fakultas ekonomi Universitas Erasmus Rotterdam. Ia masuk organisasi sosial Indische Vereeniging yang kemudian menjadi organisasi politik atas pengaruh Ki Hajar Dewantara, Cipto Mangunkusumo, dan Douwes Dekker.

Pada tahun 1923 Hatta menjadi bendahara dan mengasuh majalah Hindia Putera yang berganti nama menjadi Indonesia Merdeka. Pada tahun 1924 organisasi ini berubah nama menjadi Perhimpunan Indonesia.
Pada tahun 1926 Hatta menjadi pimpinan Perhimpunan Indonesia. Akibatnya, ia terlambat menyelesaikan studi. Di bawah kepemimpinannya, Perhimpunan ini lebih banyak memperhatikan perkembangan pergerakan di Indonesia dengan memberikan komentar dan ulasan di media massa di Indonesia. Hatta dipilih kembali menjadi pimpinan PI hingga tahun 1930.

Setelah kembali dari Belanda, Hatta bersama Syahrir ditangkap Belanda pada 25 Februari 1934 dan dibuang ke Digul, dan selanjutnya ke Banda Neira. Baik di Digul maupun Banda Neira, Hatta banyak menulis di koran-koran Jakarta, dan majalah di Medan. Ia banyak membahas pertarungan kekuasaan di Pasifik.

Semasa diasingkan ke Digul, Hatta membawa semua buku-bukunya. Pada saat membaca, ia tak mau diganggu, sehingga, beberapa kawannya menganggapnya sombong. Hatta juga peduli terhadap tahanan. Ia menolak bekerja sama dengan penguasa setempat.
Sewaktu di Banda Neira Hatta bercocok tanam dan menulis di koran Sin Tit Po, Nationale Commantaren (Komentar Nasional), dan di koran Pemandangan yang isinya supaya rakyat Indonesia jangan memihak, baik kepada ke pihak Barat ataupun fasisme Jepang.

Pada tanggal 8 Desember 1941, Angkatan perang Jepang menyerang Pearl Harbor Hawaii, yang memicu Perang Pasifik. Setelah Pearl Harbor, Jepang segera menguasai sejumlah daerah, termasuk Indonesia. Pemerintah Belanda memerintahkan untuk memindahkan orang-orang buangan dari Digul ke Australia, karena khawatir bekerja sama dengan Jepang. Pada Februari 1942 Hatta dan Syahrir dipindahkan ke Sukabumi dengan menginap sehari di Surabaya dan naik kereta api ke Jakarta.

Saat-saat mendekati Proklamasi pada 22 Juni 1945, Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonbesia (BPUPKI) membentuk panitia kecil yang disebut Panitia Sembilan dengan tugas mengolah usul dan konsep para anggota mengenai dasar negara Indonesia. Panitia kecil itu beranggotakan 9 orang, yakni Bung Karno, Bung Hatta, Mohammad Yamin, Achmad Subarjo, A.A. Maramis, Abdul Kahar Muzakir, Wahid Hasyim, H. Agus Salim, dan Abikusno Tjokrosijoso.

Pada 9 Agustus 1945, Bung Hatta bersama Bung Karno dan Radjiman Wedyodiningrat diundang ke Dalat, Vietnam, untuk dilantik sebagai Ketua dan Wakil Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Badan ini bertugas melanjutkan hasil kerja BPUPKI dan menyiapkan pemindahan kekuasaan dari pihak Jepang kepada Indonesia.

Pada 16 Agustus 1945 Bung Karno bersama Bung Hatta diculik dan dibawa ke rumah salah seorang pimpinan PETA di Rengasdengklok dekat Karawang, Jawa Barat. Penculikan dilakukan oleh kalangan pemuda, dalam rangka mempercepat tanggal proklamasi kemerdekaan Indonesia. Malam hari, mereka mengadakan rapat untuk persiapan proklamasi Kemerdekaan Indonesia di kediaman Laksamana Tadashi Maeda di Jalan Imam Bonjol 1 Jakarta.

Sebelum rapat, mereka menemui kepala pemerintahan umum Mayjen Nishimura untuk mengetahui sikapnya mengenai pelaksanaan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Pertemuan tersebut tidak menghasilkan kesepahaman. Hal itu meyakinkan mereka untuk melaksanakan proklamasi kemerdekaan tanpa kaitan lagi dengan Jepang.

Pada 17 Agustus 1945, hari yang sangat ditunggu-tunggu oleh seluruh rakyat Indonesia, Bung Hatta bersama Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta pada hari Jumat, pukul 10.00 WIB. Keesokan harinya, pada tanggal 18 Agustus 1945, Hatta resmi dipilih sebagai Wakil Presiden RI pertama mendampingi Presiden Soekarno.
Pada 18 November 1945, Hatta menikah dengan Rahmi. Tiga hari setelah menikah, mereka bertempat tinggal di Yogyakarta. Mereka dikaruniai 3 anak perempuan: Meutia Farida Hatta, Gemala Rabi’ah Hatta, dan Halida Nuriah Hatta.

Bung Hatta amat gigih menyelamatkan Republik dengan mempertahankan naskah Linggarjati di Sidang Pleno KNIP di Malang yang diselenggarakan pada 25 Februari – 6 Maret 1947. Hasilnya Persetujuan Linggarjati diterima oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sehingga anggota KNIP menjadi agak lunak pada 6 Maret 1947.

Pada era Kabinet Hatta yang dibentuk pada 29 Januari 1948, Bung Hatta menjadi Perdana Menteri dan merangkap jabatan sebagai Menteri Pertahanan. Suasana panas ketika timbul Pemberontakan PKI Madiun dalam bulan September 1948, dan memuncak pada penyerbuan tentara Belanda ke Yogyakarta pada 19 Desember 1948. Bung Hatta bersama Bung Karno diangkut oleh tentara Belanda pada hari itu juga. Pada tahun yang sama, Bung Hatta bersama Bung Karno diasingkan ke Menumbing, Bangka.

Pada tahun 1949, terjadi perundingan penting, Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag. Sesudah berunding selama 3 bulan, pada 27 Desember 1949 kedaulatan NKRI kita miliki untuk selamanya. Ratu Juliana memberi tanda pengakuan Belanda atas kedaulatan negara Indonesia tanpa syarat kecuali Irian Barat.

Pengakuan Kedaulatan diserahkan kepada Bung Hatta sebagai Ketua Delegasi Republik Indonesia di Amsterdam dan di Jakarta. Di Amsterdam dari Ratu Juliana kepada Mohammad Hatta, dan di Jakarta dari Dr. Lovink yang mewakili Belanda kepada Sri Sultan Hamengku Buwono IX.

Indonesia menjadi negara Republik Indonesia Serikat (RIS). Bung Hatta terpilih menjadi Perdana Menteri RIS, merangkap sebagai Menteri Luar Negeri RIS, berkedudukan di Jakarta, dan Bung Karno menjadi Presiden RIS. Pada 17 Agustus 1950, Indonesia menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan ibu kota Jakarta dengan Perdana Menteri Mohammad Natsir.
Mohammad Hatta mendapatkan gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada pada 27 November 1956. Pada tahun yang sama Bung Hatta mundur dari jabatan wakil presiden, karena tidak sejalan dengan ide Presiden Sukarno. Hatta dikenal akan komitmennya pada demokrasi Pancasila.

Pemikirannya di bidang ekonomi dan sumbangannya terhadap perkembangan koperasi membuatnya diberi gelar Bapak Koperasi. Bung Hatta tak pernah menyesal atas keputusan yang telah ia buat. Kegiatan sehari-hari Bung Hatta setelah pensiun menambah penghasilan dari menulis buku dan mengajar.

Pada 31 Januari 1970, melalui Keppres No. 12/1970 dibentuk Komisi Empat yang bertugas mengusut masalah korupsi. Untuk keperluan itu Hatta diangkat menjadi Penasehat Presiden dalam masalah pemberantasan Korupsi. Hatta dipercaya oleh Presiden Soeharto untuk menjadi Anggota Dewan Penasehat Presiden.

Pada 15 Agustus 1972, Bung Hatta mendapat anugerah Bintang Republik Indonesia Kelas I dari Pemerintah Republik Indonesia.
Pada tahun 1975, Bung Hatta menjadi anggota Panitia Lima bersama Prof Mr. Soebardjo, Prof Mr. Sunario, A.A. Maramis, dan Prof Mr. Pringgodigdo untuk memberi pengertian mengenai Pancasila sesuai dengan alam pikiran dan semangat lahir dan batin para penyusun UUD 1945 dengan Pancasilanya.

Pada Tahun 1978 bersama dengan Jenderal Abdul Haris Nasution, Bung Hatta mendirikan Yayasan Lembaga Kesadaran Berkonstitusi yang bertujuan mengkritik penggunaan Pancasila dan UUD 1945 untuk kepentingan rezim otoriter Suharto.
Hatta wafat pada tanggal 14 Maret 1980 pukul 18.56 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta. Keesokan harinya disemayamkan di kediamannya Jalan Diponegoro 57, Jakarta dan dikebumikan di TPU Tanah Kusir, disambut dengan upacara kenegaraan yang dipimpin oleh Wakil Presiden Adam Malik.

Mohammad Hatta ditetapkan sebagai Pahlawan Prolamator pada tahun 1986, dan pada 7 November 2012, Bung Hatta bersama dengan Bung Karno secara resmi ditetapkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Pahlawan Nasional.

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K